Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Di Atas tandu Langitan, Jalan Cinta Penyair I

10 Maret 2011   14:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Penyair (dan sastrawan pada umumnya) menggunakan karya mereka sebagai media penghambaan dirinya pada Tuhan Esa. Karya diciptakan penyair untuk berdoa, mendekatkan diri pada Tuhan, sebagaimana Taufik Ismail (1983: 62) menulis: “Dengan puisi aku berdoa, perkenankanlah kiranya”. Melalui berbagai karya hasil dari cipta, pikir, dan karsa, penyair berkomunikasi secara bebas dengan Tuhan Esa, karena puisi (karya) berangkat dari kemurnian jiwa penyair. Murni yang tidak terkotori hal-hal keduniawian.

Bersebab dari kemerdekaan yang ada di dalam jiwanya, penyair pun mampu berperan sebagai seorang pengamat, saksi sekaligus hakim atas suatu masalah di dalam kehidupan. Dengan puisi yang diciptakan, penyair memberikan kesaksian, bahwa “penyair berdiri dan bersaksi di pinggi” (Linus Suryadi dalam Sayuti, 2002: 6) atau bagaimana Rendra (1993: 99) mengatakan: “Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.

Banyak hal yang bisa dilakukan manusia merdeka karena tiada ikatan pengekang antara dirinya dan kehidupan selain garis vertikal antara penyair dengan Hidup (Tuhan). Penyair mampu menjadi saksi yang jujur, pengamat yang objektive, serta hakim yang adil karena penyair tidak memihak apa pun selain nurani. Ketika dia melakukan sesuatu, penyair melakukannya dengan keikhlasan dan ketulusan hati, memainkan perannya sebagai manusia yang merdeka berbuat apa pun demi hubungan dirinya dan Hidup.
Jadilah hakim adil pertukaran dan jangan ikuti riak gelombang
atau sungguhlah mempersembahkan tanpa mengidam (VIII : LI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 47).
Penyair adalah seorang hakim yang membidik permasalahan dengan nuraninya. Dia tidak memiliki kepentingan apa pun, selain menegakkan keadilan bagi manusia, “Orang-orang harus dibangunkan, kesaksian harus diberikan. Agar kehidupan bisa terjaga” (Rendra, 1993: i). Kesaksian di sini dapat dimaknai sebagai hakim, mengabarkan mana yang baik dan mana yang buruk, mana benar dan mana salah demi menjaga kehidupan manusia yang adil, selaras, dan sejahtera. Penghakiman penyair atas suatu persoalan juga diketengahkan Rendra (1993: 31) yang dengan puisinya “Aku Tulis Pamplet ini”, Rendra mengatakan: “Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam”.

Untuk mampu bisa menjadi hakim yang adil, penyair tidak boleh memihak siapa pun, termasuk hawa nafsunya sendiri, sehingga dia akan “mempersembahkan tanpa mengidam”. Dengan seperti itu, dia manusia merdeka yang bebas mengungkapkan diri di tengah masyarakat. Bersebab dari kebebasan itu juga, penyair mampu berdiri dimana pun, kapan pun, dan bukan untuk siapa pun yang bersinggungan dengan kepentingan duniawi. Karena dunia ini, seperti: perempuan jalang yang menarik pertapa ke rawa mesum dan membunuhnya di pagi hari (Sastrowardjojo dalam Sayuti 2002, 34). Untuk itu, penyair yang menempuhi jalan ini, maksud saya jauh dari kepentingan duniawi, dia adalah penyair yang mencintai-Nya, penyair yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.

PEMBINASAHAN DIRI

Kata pembinasahan diri memang terdengar mengerikan namun hal yang diwakili dari istilah ini justru sebaliknya. Di sana adalah bangunan kata yang mewakili hal yang menyenangkan, seperti pertemuan kita dengan sesuatu yang paling kita cintai di dunia. Suatu waktu dimana yang mampu membuat kita lupa dengan semua isi dunia kecuali yang paling kita cintai itu. Pertemuan itu akan membawa kita untuk melepaskan semua yang tidak berhubungan, hanya ada kita dan yang tercinta, yang selanjutnya akan membawa pada proses penyatuan.

Penyatuan antara pecinta dengan yang dicintai sebagai bentuk tingkatan tertinggi, karena di sana sudah tidak ada pecinta dan yang dicintai tetapi sudah lebur menjadi satu. Dalam kebudayaan kebatinan Jawa, terdapat konsep penyatuan antara manusia dan Tuhan, sebagai puncak spiritualitas manusia Jawa. Keberadaan Tuhan dapat dilihat dalam perwujudan rasa, seperti dalam konsepsi manusia menyatu dalam rasa (Beatty, 2001: 229).

Konteks pembinasahan diri seorang penyair dapat berangkat dari konsepsi Jawa ini. Dimana penyair membutuhkan adanya totalitas diri, dalam berjalan menempuhi jalan kepujanggaan. Totalitas diri adalah pembinasahan diri, dimana sudah tidak ada pembedaan antara penyair, karya, kehidupan, serta alam karena kesemuanya sama-sama berjalan menuju Hakekat Hidup. Babak perjalanan yang hanya bisa dilakukan ketika manusia sudah memiliki kemerdekaan yang murni. Kehidupan yang dilaksanakan untuk mewujudkan proses penyatuan itu, diumpakan seperti Laron yang keluar untuk mencari cahaya.
Bukankah kau mencari gagasan ranum, kepemudaan lebih bayangan laron
yang berputar mendekati lelampu, terpesona-terpedaya magnit sendiri (VIII : IV) (Kitab Para Malaikat, 2007: 45).
Pembinasahan diri, terhadap karya, alam semesta, dan sifat ketuhanan dapat membantu seorang penyair di dalam mencapai kesatuan yang melahirkan suatu “gagasan ranum”. Pembinasahan diri yang dilandasi kesadaran dan cinta diungkapkan melalui perumpamaan simbol laron yang mendekati cahaya. Laron perwujudan simbol dari kehendak rasa sedangkan cahaya adalah nilai kebenaran ketuhanan.

Nilai religius yang tergambar di sini memberikan pengertian yang cukup luas, dimana manusia yang berjalan dalam pembinasahan diri sudah tidak memperdulikan keadaan dirinya. Yang ada hanya mengenai bagaimana dia menyatu, dengan suatu jalan tertentu sehingga rasa yang dirasakan termanifestasikan ke dalam bentuk karya. Kita perlu mengingat hakekat dari karya sastra, puisi sekalipun, sebagai mimesis, tiruan alam semesta. Penyair dalam renungannya mencipta karya yang di dalamnya, terjadi pembinasaan diri.
Fahami kembali selagi kabut pedut menutupi punggung bukit,
memeluk pohon sungai yang mengalirkan mata air hayati (VIII : XIV) (Kitab Para Malaikat, 2007: 45)
KESADARAN ALUR

Perjalanan hidup manusia dapat dipandang sebagai aliran sungai yang diawali dari mata air kemudian berproses menuju lautan. Dalam aliran sungai itu, kita menemukan alur perjalanan yang juga disebut dengan proses untuk mencapai samudra. Kalau sempat kita mengikuti, proses perjalanan air tidak pernah lurus, di sana akan bertemu dengan belokan dimana air tidak mampu menerobos, tapi air terus mengalir sampai pada titik akhir perjalanannya.

Begitu juga dengan manusia. Perjalanan hidupnya tidak pernah lurus, dia akan menemui hambatan-hambatan yang membuatnya berbelok untuk melanjutkan perjalanan hidup. Seperti air, perjalanan manusia tidak selesai dengan batu yang menghadang, ia musti menggumpal menjadi satu untuk menggeser batu itu, atau perlahan-lahan berputar mencari jalan lain. Dan dengan pengertian akan perjalanan seperti ini, manusia yang menapaki akan lebih mudah dan ringan dalam menjalani kehidupannya. Memuat nilai pasrah pada takdir hidup serta tidak berangan panjang yang membuat manusia lebih mampu (bijak) untuk menjalani dan menghayati hakekat kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun