Permasalahan ini saya wakili dengan istilah kesadaran alur, dimana manusia yang mau menerima kondisinya mengingat alur perjalanan kehidupan manusia sendiri. Manusia Jawa, memandang pemahaman alur kehidupan tertuang dalam konsep “sangkan paraning dumadi” yaitu suatu pengetahuan yang berusaha memahami asal-usul manusia dan tempat kembali manusia setelah selesai menempuhi perjalanan di dunia (Zoetmulder dalam Magnis Suseno, 1985: 130) sebagai pencapaian dari perjalanan rasa.
Manusia yang memahami alur kehidupannya, dia justru akan lebih berhati-hati dalam proses menjalani hidup. Sebab, di dalam kesadaran akan kehidupan, manusia juga mengetahui berbagai konsekuensi hidup yang lahir dari tindakan manusia. Bahwa, apa yang akan kita terima adalah hasil dari perbuatan kita sendiri. Manusia Jawa, bersinggungan dengan pandangan ini mengetengahkan istilah karma yang mana sebagai hukum ilahi yang memayungi tindak-tanduk manusia (Magnis Suseno, 1985: 153).
Serindu-rindunya petani memetikmu melati adalah ibunda
penjual bunga pada pasar Menganti kembali (VIII : VIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 45).
Sebuah loncatan pikiran yang dapat kita tangkap, bagaimana Nurel Javissyarqi menyuguhkan dua aspek kehidupan yang berbeda, namun sejalan. Di satu sisi menggambarkan mengenai hidup petani dan langsung dilanjutkan dengan penggambaran mengenai perdagangan. Tapi mungkin saja, Nurel Javissyarqi berpendapat kalau seorang petani dapat menyuruh istrinya untuk menjual bunga hasil panennya di pasar. Memang seperti itu kenyataan yang tergambar di kehidupan realitas.
Akantetapi, mari kita kembali mempertimbangkan hukum ilahi yang bernama karma, “apa yang kamu tanam, itu yang akan kamu panen”. Hidup selayaknya petani, perbuatan kita adalah benih yang kita tanam setiap hari untuk kita panen kelak. Hukum tabur-tuai yang purba ini pun dipercayai oleh Stephen Covoey (Darmanto Jatman dalam Jejak Tanah, 2002: 143) yang datang dari masyarakat urban industrial, bahwa: “siapa yang menabur gagasan akan menuai perbuatan/ siapa yang menabur perbuatan akan menuai kebiasaan/ siapa yang menabur kebiasaan akan menuai karakter/ siapa yang menabur karakter akan menuai nasib.”
Hukum yang tentu saja, sampai hari ini terus menggerakkan kehidupan manusia walau keberadaannya seringkali tidak disadari. Oleh diri sendiri seseorang menjadi kotor, oleh diri sendiri seseorang menjadi suci (Dhammapada dalam Narada, 1996: 156) yang mana manusia menentukan bagaimana keadaan dirinya, entah itu nasib baik atau buruk, semuanya ditentukan oleh diri manusia itu sendiri.
Kesadaran alur ini lah yang saya bidik dari ayat VIII puisi Di Atas Tandu Langitan karya Nurel Javissyarqi. Manusia yang menilik kehidupan petani, yang kemudian mendapatkan bahan untuk membawa diri pada perenungan. Secara gambalang saat kita melihat petani menanam padi, jelas tidak mungkin akan tubuh pohon apel dan membuahkan pohon semangka. Akantetapi, padi yang ditanam petani tetap akan menumbuhkan padi, dan menghasilkan padi. Kesadaran akan alur kehidupan manusia yang hanya seperti seorang petani, akan membawa manusia, dalam konteks ini adalah seorang penyair untuk berkata yang baik-baik, mengajak yang baik-baik karena karya itu akan dipanen kelak ketika hari telah tiba.
Selanjutnya, ketika “petani memetikmu melati” dapat dibawa ke pemahaman bahwa bunga melati melambangkan kesucian dan keharuman batin. Penyair, yang telah dengan sadar akan alur kehidupannya akan berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menghadirkan melati di dalam karyanya sehingga karya tersebut mampu membawa pencerahan pada manusia, dalam hakekat sastra sebaga khatarsis. Puisi yang diciptakan penyair dan dibacakan untuk seseorang, diharapkan manusia yang mendengarnya akan mereguk kedalaman makna melati yang sudah disemayamkan di dalamnya.
Berjalan dari hukum petani yang memetik melati, kita menemui lompatan imajinasi Nurel Javissyarqi yang juga membawa kita untuk menuju ke pasar. Ada benarnya juga, seperti yang Nurel Javissyarqi bilang, kalau petani yang sudah memanen melati, istrinya pergi ke pasar untuk dijual. Saya menemukan penggamaran yang lebih jauh, ketimbang hukum jual beli sederhana yang ada di dalam realitas kita.
Jual beli, bahwa setiap manusia pada hekakatnya adalah seorang pedagang. Lalu apa yang manusia miliki sebagai barang dagangan? Dalam salah satu firman-Nya, Tuhan bersabda: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (QS. At-Taubah: 111). Demikian, kita dapat menempatkan diri sebagai penjual yang memiliki barang dagangan perilaku untuk membeli surga yang telah Tuhan janjikan. Barang dagangan perilaku ini bermodalkan kehidupan, yang mana hidup secara keseluruhannya disimbolkan dengan “napas”.
Perniagaan manusia (penyair) dengan Tuhan adalah mengenai bagaimana dia menggunakan napas, menjadikan waktu hidup dalam pengisian akan penciptaan karya. Bagaimana seorang penyair berkarya, bagaimana karya itu ketika berada di lingkungan masyarakat, bagaimana penyair menjalani hidup, di sanalah terjadi perhitungan perdagangan antara penyair dan Tuhan di hari yang sudah ditentukan. Ini mengenai pemahaman akan kesadaran alur seorang penyair, sebab melalui karya yang dihasilkan, mewakili tindakan dari penyair itu sendiri. Esensi dari sebuah karya menghasilkan perilaku untuk penyairnya, yang kelak akan dijadikan sebagai kualitas dari barang yang akan diperdagangkan. Ini, merupakan hasil dari kesadaran alur, tentang “sangkan paraning dumadi”.
Kesadaran alur ini juga, akan membawa seorang manusia (penyair) untuk lebih menyibukkan diri pada aspek rohani (batin) ketimbang urusan badaniah dan keduniawian. Memahami hidup yang tidak hanya sekedar berlaku untuk memburu kesenangan sesaat maka membuat seorang penyair untuk:
Menunggu buah runduk seawan keemasan, cahaya senja membentang lebur
di sebilah keris baja hitam atas purnanya tirakat dalam rahim malam (VIII : XXIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 46).
Kesederhanaan dalam menjalani hidup dengan disertai kerendahan diri, bahwa dirinya merasa “saya tidak bisa apa-apa, saya tidak punya apa-apa” (Mulder, 1984: 41). Masyarakat Jawa, secara sadar menyembunyikan kekuatan diri demi mencapai keutamaan laku untuk hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan diri untuk menghindari kesombongan hati yang memiliki efek buruk terhadap kekuatan batin (rasa). Kesombongan manusia atas manusia lainnya akan melahirkan rasa angkuh yang dapat menjadi penghalang antara dirinya dan kesempurnaan laku untuk mencapai kesempurnaan mati. Untuk itu, tidak heran jika kita seringkali menemukan manusia Jawa dalam ungkapan: “manungso ojo rumangso iso, nanging sing bisa ngrumangsani”.
Kerendahan diri inilah yang menjadikan manusia (penyair) mencapai “seawan keemasan” yang serupa dengan langit sore memberikan manusia umum, maksud saya adalah publik pembaca karya sastra, untuk mencapai renungan yang mengantarkan pada makna terdalam. “Seawan keemasan” merupakan pencitraan dari langit sore yang juga menyiratkan perjalanan kehidupan manusia. Renungan yang dihadirkan penyair melalui karyanya membimbing manusia untuk menyatukan setiap fokus perhatian pada satu titik, yaitu hakekat kehidupan itu sendiri atas “sangkan paraning dumadi”.