Raja-raja di tanah Jawa, kita mendapati mereka sebagai golongan berkuasa yang memiliki banyak perempuan. Namun, permaisuri tetap hanya satu, ia juga hadir sebagai seorang ibu dari semua rakyat di sebuah negeri. Keberadaan yang berperan sebagai Ibu untuk “ngemong” rakyat, pemerintahan, dan di dalamnya termasuk raja itu sendiri. Bagaimana tidak mengagumkan peran dari seorang perempuan seperti ini, yang mungkin saja dia (perempuan) adalah raja yang sebenarnya, seperti dalang yang memainkan lakon. Penguasa tunggal yang tidak disebut ini telah membuat gerakan para kesatria dan dewa berada di dalam genggamannya (maksudnya, seperti peran dalang dalam pewayangan).
Kita pasti pernah mendengar, bahwa raja-raja di tanah Jawa selain beristrikan perempuan dari golongan manusia, juga beristrikan golongan mahkluk ghaib (saya tidak bisa menentukan apakah setan, jin, atau iblis). Hadirnya istri ghaib, semisal Kanjeng Ratu Kidul sebagai salah satu permaisuri dapat dipandang dari berbagai macam sisi. Ratu Kidul (Nyai Roro Kidul) seringkali dipandang sebagai sosok mistis yang luhur dalam kehidupan masyarakat Jawa. Akantetapi, saya secara pribadi sebagai manusia Jawa, lebih senang menyebut Nyai Roro Kidul sebagai sosok simbolis dalam pengertian sempit dan luas. Makna simbol yang hadir bersamaan dengan mitos Nyai Roro Kidul memberikan pengertian yang kompleks mengenai posisi perempuan dalam kebudayaan Jawa. Apa benar, pendapat orang-orang di luar Jawa (pribadi masing lelaki) yang menganggap bahwa peran perempuan berada dalam segitiga setan (setan disini saya artikan sebagai politik) yang telah dikultuskan para lelaki (penguasa) untuk menempati posisi dapur-sumur-kasur?
Bagi saya, Tidak! Pengertian sempit dalam perjalanan simbol ini dapat dipandang sebagai jati diri perempuan itu sendiri, yaitu menyangkut sifat-sifat dan keberadaannya. Perempuan dinisbatkan (dan diumpamakan) dengan lautan. Lelaki sebagai manusia yang berdiri di pantai maknawi dalam rangka menyaksikan keindahan yang menggelora, sehingga dia terkagum-kagum dan jatuh cinta. Pantai yang indah, bergelombang yang kalau manusia (lelaki) tidak berhati-hati, maka akan tergulung dan mati. Dari pantai dan menjorok ke dalam, kita akan mendapati kedalaman yang menyimpan lebih banyak misteri. Di kedalaman itu juga melahirkan kebahagiaan dari hasil laut dan juga murka (amarah) dari badai yang terkandung. Raja menempati posisi ini, lelaki yang menghadapi pantai maknawi dan harus senantiasa berhati-hati dalam tiap langkah, sebab perempuan ikut menentukan laju pemerintahan negara.
Pengertian kedua, saya mencoba mengetengahkan mengenai penguasaan akan perempuan. Penguasaan (menjadikannya istri) secara gamblang menjelaskan mengenai kekuasaan dan perempuan (bisa jadi) merupakan simbol dari keberadaan rakyat (atau wilayah) di dalam negara. Kekuasaan menghadapkan individu pada perempuan cantik yang diwujudkan sebagai Nyai Roro Kidul yang tidak dapat ditolak oleh hawa nafsu (duniawi). Kekuasaan tidak hanya masalah pangkat seorang raja, akantetapi juga menyangkut hal-hal yang dikecapi hawa nafsu, yaitu segala macam kenikmatan. Jika kita menempatkannya dalam khasanah seorang raja, kekuasaan (nafsu tersebut) dapat diartikan sebagai perwakilan dari rakyat yang dengan menguasainya dapat mendatangkan kenikmatan. Baik rakyat, kekuasaan, maupun kesenangan (dan kenikmatan) lain diwujudkan dalam bentuk seorang perempuan yang dijadikan istri (padmi) dengan maksud menjaga diri dari murka perempuan demi menuju pada keselamatan.
Perwujudan simbolisasi ini dapat membantu kita dalam memberikan sedikit penggambaran mengenai peran Padmi (permaisuri yang dalam hal ini diterjemahkan sebagai istri/ ibu) di dalam kehidupan. Sekuat apa pun kita (manusia) hanya mampu menggendalikan hal-hal yang sifatnya badaniah namun teramat sulit merengkuh ruh. Bagaimana pun juga, perempuan telah dijadikan sebagai ruh di dalam dunia kehidupan. Tentang bagaimana sang Adam dijebloskan ke dunia, atau tentang bagaimana Ki Ageng Mangir ditaklukkan Pembayun (Mataharam) atau tentang bagaimana peran perempuan menaklukkan Sunan Giri sehingga tunduk pada Mataram.
Perempuan, bisa saja menjadi awal, pun bisa menjadi akhir. Toh, Kanjeng Nabi pun pernah berpesan kalau seindah-indahnya perhiasan dunia adalah istri (perempuan) yang sholehah. Saya kira, sholeh di sini melingkupi seluruh keberadaannya dengan keluhuran, entah itu batin (di dalamnya pikiran/ akal) atau lahir yang akhirnya terwujud dalam laku. Kita sebenarnya telah menyadari, hal yang diluar batin adalah hal yang sementara dan akan segera menjadi fana.
Perempuan, tentang Hakekat
Dalam perjalanan yang sedikit menanggung letih, secara sekilas saya telah menguraikan menyoal perempuan. Dalam endapan delta renungan, masih juga menyisakan perasaan gamang dan pertanyaan lain. Seperti saat kita berdiri di dalam keremangan sementara warna hitam lebih pekat, lalu di sana kita melihat bayangan yang berlalu cepat. Langsung hilang begitu mata kita mencoba mengamati dengan sadar setelah dimabukkan aroma. Tapi sebentar, bayangan itu bukan hantu melainkan diri kita sendiri yang mawujud ke dalam pandangan. Ini mungkin terlihat tidak nyata, namun NJ telah memberikan penekanan yang lebih nyata ketimbang kita bergulat dengan Nyai Roro Kidul. NJ menyatakan bahwa perempuan sebagai:
Wanita [yang] ditakdirkan [untuk] melahirkan anak-anaknya,
[untuk] menyusui anak lelaki dan perempuan (I : II)
Ayat II surat Membuka Raga Padmi ini terkesan sederhana setelah saya tambahi dalam penandaan kurung. Keserderhanaan yang ternyata telah berhasil menelikung saya. Awalnya memang terkesan biasa, perempuan (wanita) memang ditakdirkan sebagai mahkluk yang memiliki rahim untuk mengandung yang terhubung dengan vagina yang secara bentuk mendukung dalam proses kelahiran. Pernah, kita membayangkan kalau vagina, sebagai kelamin perempuan memiliki bentuk yang hampir sama dengan lelaki? Bagaimana seorang anak bisa keluar dari sana, meskipun dengan kelamin bulat panjang dan memiliki rahim?
Keadaan ini menjelaskan kalau perempuan sebagai mahkluk yang terpilih dengan seperangkat sistem (organ) yang menyertai kelahirannya. Perempuan telah diciptakan dengan sedemikian rupanya dengan menanggung pekerjaan yang bagi kita (manusia) pada umumnya, sebagai pekerjaan yang terkesan remeh-temeh. Perempuan tidak dilahirkan untuk menduduki posisi khalifah seperti posisi yang telah dijanjikan untuk kaum lelaki. Akantetapi, untuk melahirkan anak dan menyusui. Hal ini tekesan remeh, namun kita perlu mengenang kembali bahwa setiap kita, lelaki dan perempuan, pernah merasakan manisnya air susu perempuan (Ibu atau Padmi). Air susu yang diberikan perempuan menjadi makanan pertama dan satu-satunya bagi bibit-bibit kehidupan baru. Air susu ini (dan perempuan) diketika itu hadir sebagai rahmat atas suatu kehidupan. Sedari awal, bagaimana benih tumbuh di dalam rahim, mendapatkan makanan di dalam tubuh perempuan, sampai akhirnya setelah proses kelahiran, peran perempuan tidak berhenti di sana.