Lalu, kenapa saya masih saja menyarankan agar terus mencermati Wijayakusuma sampai ke dalam? Cerita masa lalu (sejarah dan bisa saja dongeng) yang bersemayam di tanah ini, maksud saya adalah Jawa, dapat dijadikan sebagai uraian akan jawaban. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana NJ menghadirkan semangat dan mimpi akan Ratu Adil yang diramalkan Jayabaya. Kita juga mendapati semangat untuk membacai lembaran kitab lama demi meraih syarat pemahaman akan bagaimana sebenarnya hakekat seorang raja. Wijayakusuma untuk mengobati luka hati yang merebak (Ranggasutrasna dkk, 1992: 12), air bengawan sebagai laku pengetahuan kalau sungai menuju pada muara laut yang lapang menerima segala tanpa membedakan dan mencaci. Tarian pulang menjabarkan mengenai ajakn untuk mencermati hati sendiri, dan kemudian sejarah membawa kita pada pengolahan rasa akan asal-muasal kehidupan. Sejarah yang dalam ayat XX surat Muqaddimah KPM lebih menjorokkan pengertian pada hakekat kehidupan manusia, seperti dalam pandangan hidup masyarakat Jawa mengenai: “Sangkan paraning dumadi.”
Menilik sejarah sangkan paraning dumadi yang dapat diuraikan sebagai dasar atas perjalanan batin manusia dalam usaha memahami asal kehidupan itu sendiri. Konsep ini, menurut Maqnis-Suseno (1985: 117), sebagai inti dari spekulasi kegiatan mistik masyakat Jawa (Agama Jawi), yang mana memiliki tujuan untuk mencapai kesatuan antara mati di dalam hidup dan hidup di dalam mati. Menjalani laku dalam usaha memahami sangkan paraning dumadi, berarti melakukan perjalanan batin tingkatan spiritual yang paling tinggi. Keadaan ini, yang oleh NJ, dituang dalam ayat XXI surat Muqaddimah di bawah ini:
Mengagungkan rahmatNya sejauh menimba sumur terdalam,
jikalau bersemedi di dalam gua nurani [XXI]
Menjalani laku untuk mencapai sangkan paraning dumadi akan mengajak manusia mencapai pemahaman akan hidup, dimana terjadinya penyatuan yang materi dan yang batin. Dalam konteks ini, seringkali disebut sebagai proses penyatuan antara Tuhan dan hamba. Memahami untuk mengerti (ngerti dalam bahasa Jawa) karena sebagian manusia Jawa menyatakan kalau sebenarnya Tuhan tidak dijumpai di Mekah, melainkan dalam batin sendiri (Mulder, 1984: 24). Usaha yang perlu dilakukan untuk mencapai kemanunggalan ini, seperti kata Mulder di atas bahwa, Tuhan ada di dalam hati, maka manusia (Jawa) harus memahami keberadaan diri sendiri. Pencapaian ini terlebih dahulu perlu memahami nilai dari sangkan paraning dumadi, sebagai pengetahuan mengenai manusia (Beatty, 2001: 268).
Tujuan ini, jelas menuntut untuk menjalankan etika kebatinan, yang oleh Mulder (1984: 39), disebutkan sebagai “Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Memayu hayuning bawana.” Ayat XXI surat Muqaddimah juga mengandung unsur ini. Benar-benar membentangkan aspek pemaknaan atas simbolisme yang NJ bangun bersamaan dengan aura jalan kebatinan Jawa. Tentu saja, ini sebagai hasil yang bukan karena faktor kebetulan, melainkan tumpukan dari kerja keras yang terarah karena laku yang dijalankan.
Tapak perjalanan batin masyarakat Jawa yang (sepertinya) telah dilalui NJ membawa pada penyaksian yang termaktub dalam ayat XXII surat Muqaddimah. Atas penyaksian itu, NJ memberikan pemastian dengan ayat XXIII dan XXIV surat Muqaddimah. Sampai pada ayat XIV surat Muqaddimah ini, NJ menjabarkan pada kita mengenai ruang batin yang selama ini mendarah daging dalam kehidupan (masyarakat Jawa).
Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat, mungkin saja sebagai gambaran keseluruhan atas Kitab Para Malaikat yang terdiri dari 20 Surat (judul). Perempuan, seperti dalam surat Membongkar Raga Padmi juga dibahas di sini. Penjelmaan sosok pendamping kaum Adam yang sungguh kharismatis, sekaligus misterius akan memancing setiap kita untuk bertanya. Atau mencari tahu sendiri tentang peran perempuan dalam “Hikayat di bawah sadar penciptaan [XXVI]” maupun sesuatu “yang mengalir di bawah hati senantiasa berabadi [XXVII]”. Kemisteriusan dalam bingkai penuh pesona itu yang mungkin saja mendorong NJ untuk berkelana (kalau tidak boleh dikatakan berburu) medan keperempuanan.
Sejauh apa pun kita mencoba menyisik babak akhir dari surat Muqaddimah ini, melulu kita akan menemukan aroma cinta. Aroma yang entah untuk diri sendiri, Nabi, Katuhanan, atau pada jalan hidup itu sendiri. Cinta hadir dalam berbagai macam produk, kalau dimisalkan meja makan, di sana akan kita temui nasi cinta, es cinta, air minus cinta, sayur cinta dan sederet yang lain dalam aneka produk dan rasa.
Lalu bagaimana cinta di dalam KPM dan kehidupan itu tersuguh untuk kita? Pun, NJ telah menjawabnya, seperti yang dia tuliskan di ayat terakhir: Ragamu menghantui, tekatmu berjembatan, ia di sisihmu disetiap engkau rebah [XXXIX].
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 22 Desember 2010.
http://sastra-indonesia.com/tag/md-atmaja/