"Aku tahu, Ndar! Dulu kita sudah memperingatkan dia. Kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga teman-teman kita. Tapi, setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Sedangkan kita, tidak punya hak sedikitpun untuk menentukan jalan hidup orang lain."
"Dunia itu seperti magnet yang begitu kuat menarik hasrat untuk terluapkan." Ucap Nandar sambil terus menyesali ketidak-mampuannya di waktu yang lalu.
Hartanto diam. Ia memandangi Nandar dengan sedih. Seharusnya dia tidak mengatakan berita Rena pada Nandar. Ia tahu kalau Nandar begitu mencintai Rena. Atau seharusnya, dia memberitakan berita yang baik-baik saja. Berbohong memang kadang perlu untuk menghindarkan orang lain dari penderitaan. "Harusnya aku tidak mengatakan semua ini padamu, Ndar."
Nandar tersenyum sedih sambil menggelengkan kepala. "Sudahlah, Har. Memang tidak ada yang perlu disesali. Aku hanya prihatin mendengar berita tentang Rena. Tapi, ya sudahlah, semua sudah terjadi." Ia tersenyum dan berdiri mengembalikan buku ke dalam rak. "Kamu mau minum kopi apa teh?" tanyanya sambil meninggalkan kamar dan menuju ke dapur. Menyalakan kompor dan kembali lagi untuk memastikan jawaban Hartanto.
"Terserah kamu sajalah, Ndar."
Nandar langsung mengambil dua bungkus kopi kemudian kembali ke dapur dan menyeduhnya. Setelah beberapa saat ia kembali ke kamar, dia dapati Hartanto sudah tertidur. Nandar tersenyum, ia maklum dengan Hartanto sebagai seorang pejalan untuk mencari sesuatu yang tidak ada orang yang tahu di mana, termasuk Hartanto sendiri tidak pernah tahu harus menuju ke arah mana. Nandar pun langsung menyibukkan diri dengan buku Warisan Sufi. Beberapa saat ia membaca, ia pun teringat pada Rena yang merindukan dengan nasehat sufistik, dan Nandar tersenyum sedih, "Di mana sekarang kamu, Ren?" gumamnya gusar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H