Nandar pun langsung menganggukkan kepala. Dia sangat memahami jalan pikiran Hartanto yang sudah selama bertahun-tahun ia kenal dan menjadi rekan kerja. Namun, Nandar menjadi begitu risau setelah mendengar berita tentang Rena. Walau hanya pendapat yang singkat namun baginya sudah cukup menjelaskan tentang perjalanan panjang yang sudah Rena jalani. Perasaan Nandar menjadi kacau.
Dulu, waktu yang dulu sekali Nandar pernah mencintai Rena dengan semua kesederhanaan, ketaatannya pada agama dan ilmu pengetahuan yang Rena miliki. Tapi, Nandar selalu menghindari Rena untuk tetap menjaga perasaannya dan agar pekerjaan yang baru dijalani tidak hancur begitu saja karena perasaan emosional yang baginya tidak berarti apa-apa. Kemudian, ia menceburkan diri semakin dalam pada dunia tasawuf dan sufistik. Dulu sekali, Nandar cukup berhasil menepis perasaan sentimentilnya sampai tadi sebelum ia mendengar berita tentang Rena. Kini, Rena kembali menjadi pengganjal bagi ketenangan hatinya. Nandar merasa tersiksa ketika tahu, bahwa orang yang dia cintai sudah tidak lagi seperti dulu.
Bukan kecantikan secara fisik yang selalu Nandar harapkan dari Rena. Bukan cantik seperti yang dibilang banyak orang, cantik yang terlihat saat matahari bersinar dan hilang ditelan kegelapan malam. Tapi setidaknya, cantik yang selalu dibilang oleh Hartanto, cantik yang samar terlihat saat matahari bersinar dan menjadi terang benderang saat malam tiba. Cantik yang mampu memberikan cahaya bagi orang-orang yang didekatnya. Cantik yang jarang sekali dilihat oleh orang lain kecuali mereka yang tidak tertidur.
"Apa Rena tidak menanyakanku, Har?" tanya Nandar penuh dengan harapan. Di dalam hati, Nandar berharap kalau Rena menyebut dirinya dalam percakapan antara Hartanto dan Rena.
Hartanto tersenyum, "Rena bilang, kalau dia merindukan nasehat-nasehat sufistikmu!"
Mendengarnya hati Nandar menjadi sedikit lega. Setidaknya, Rena masih ingat pada dirinya, dengan nasehat sufistik yang akan selalu dia ingat dalam perjalanannya di dalam dunia penuh dengan kenikmatan dunia. Surga dunia! "Rena selalu berlebihan," kata Nandar dengan tenang sambil tersenyum bahagia. "Lalu, Rena bilang apa lagi?"
"Tentang semua pengalamannya memasuki dunia itu. Dunia yang dari dulu selalu kita jauhi. Dunia yang kita takuti."
"Aku tidak pernah takut dengan dunia itu! Aku hanya menjaga diriku sendiri dari jeratan kawat berduri yang panas." Bantah Nandar.
"Rena banyak bercerita tentang perjalanan hidupnya, yang kadang indah dan kadang pula menyakitkan. Katanya, dunia itu penuh dengan tantangan yang sungguh menggoda. Dunia yang sungguh menggoda." Hartanto tersenyum kecil mengingat masa lalu, "Kita sama-sama tahu bagaimana dulu Rena memulai perjalanan hidupnya. Keinginannya untuk mencoba, melihat, merasakan sebentar dan keluar dengan banyak pengalaman yang akan membuat kita menjadi iri hati." Hartanto menghela nafas. Ia menundukkan wajahnya begitu dalam sampai tidak tersentuh oleh cahaya lampu bohlam.
"Tidak selamanya rencana yang dibuat manusia berjalan dengan mulus. Berjalan sesuai kehendak yang diinginkan oleh manusia." Kata Hartanto dengan lemah. "Nasi sudah menjadi bubur! Kaca sudah terlanjur pecah berserakan. Harus bilang apa lagi kalau akhirnya Rena masuk ke dalam tanpa ia tahu di mana dia harus menemukan pintu untuk keluar. Sedangkan dunia yang di sana, terus menariknya ke dalam, semakin ke dalam sampai benar-benar dia tidak akan mampu untuk keluar lagi."
Tubuh Nandar menjadi lemas. Cahaya mata yang tadi bersinar telah menjadi pudar. Wajahnya pucat tanpa tenaga, "Dulu, aku sudah berusaha memperingatkannya soal ini." Kata Nandar dengan suara yang bergetar. Ia menahan air mata. Nandar pun menundukkan kepala, menyesali atas ketidakmampuannya dalam menjaga orang yang dia cintai. "Aku sudah berusaha!" lanjutnya putus asa.