Di pelataran warung kopi Kedai Cangkir, Â berdiri seorang perempuan cantik di sambing mobil sedan berwarna warna hitam. Perempuan itu begitu cantik, terlihat seksi dan juga mempesonakan. Dengan tidak ia sadari, dirinya telah menjadi pusat perhatian bagi kebanyakan pengunjung Kedai Cangkir. Bahkan hampir semua pengunjung Cangkir memakukan mata pada dirinya.
Perempuan itu masuk dan dengan ragu mendekati Hartanto. "Har!" sapa perempuan itu dengan ramah.
Mendengar suara seorang perempuan memanggil namanya, Hartanto membuka mata yang kemudian mengangkat kepala setegak mungkin. Ia dapati seorang perempuan cantik berdiri di depannya sambil tersenyum dengan ramah. "Rena?" tanya Hartanto memastikan.
"Iya, aku Rena Har!" katanya sambil tersenyum, dengan masih berdiri tegak. Seperti ia ingin mengatakan: Aku memang Rena, cantik bukan! "Sudah lama, Har?" tanya Rena yang dilanjutkan dengan duduk sambil memandangi gelas yang masih penuh.
"Baru saja aku sampai di sini. Bagaimana perjalananmu?"
"Lumayan! Walau aku jarang sekali pergi sendirian, tapi ya, lumayan." Jawab Rena sambil mengibas-ibaskan tangannya di udara.
Hartanto memberikan isyarat kepada Eko atau siapa pun pelayan Cangkir yang melihat isyaratnya. Tanpa harus menunggu lama, Eko datang dengan membawa daftar menu. "Selamat datang, Mbak!" sapa Eko dengan ramah sambil memberikan daftar menu dan sebuah buku tulis. "Karena kedatangan Mbak," diam sebentar menunggu.
"Rena!" sambung Rena jelas saat dia tahu Eko sedang menunggu dirinya untuk menyebutkan sebuah nama.
"Karena kedatangan Mbak Rena, malam ini menjadi malam yang spesial."
"Lho, kenapa bisa seperti itu?" tanya Rena penasaran dengan menyerahkan daftar pesanannya.
"Masalah itu akan dijelaskan oleh Mas Har!" Jawab Eko sambil berlalu membawa pesananan.
"Ada apa, Har?" tanya Rena pelan dengan pandangan menyelidik. Sebuah senyuman manis dan panjang terhadir begitu saja saat itu mengusik Hartanto yang pandangannya tertuju pada bibir merah yang merekah dan menggoda.
"Sudah," kata Hartanto sambil membenahi posisi duduknya. "jangan terlalu ditanggapi dengan serius!" lanjutnya mencoba mengalihkan fokus pembicaraan pada hal lain yang lebih membuat dirinya nyaman.
Rena pun langsung tersenyum lebar. Ia tahu benar dengan apa yang sedang terjadi. Sangat jelas baginya kalau selama ini Hartanto tidak pernah pergi dengan perempuan mana pun. Tentu saja, kecuali hanya orang-orang yang mendapatkan posisi yang baik di dalam hatinya dan perempuan itu memang menjadi perempuan yang spesial, seperti yang Eko katakan tadi. "Malam yang spesial!" kata Rena dalam hati. "Kok bisa menjadi malam yang spesial, ya?" kata Rena pelan tanpa meminta tanggapan.
"Ayolah, Ren, hal seperti itu tidak perlu dibahas lebih jauh." Tepis Hartanto dengan dingin.
Rena tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Waktu sudah jauh sekali berlalu, Har, tapi, kamu ternyata masih sama dengan Hartanto yang dahulu." Ucap Rena sambil memandangi Hartanto dengan pandangan kagum. Pandangan yang sama dengan beberapa waktu yang sudah menjadi kenangan.
"Ada beberapa hal yang memang tidak perlu dirubah. Itu hanya masalah padangan hidup dan sikap. Hidup bagiku adalah perjalanan untuk belajar. Tidak ada gunanya kalau berubah menjadi sesuatu yang tidak berguna." Hartanto membela diri.
"Selama kita tahu dengan apa yang sebenarnya kita cari, semua tidak menjadi soal. Perubahan itu datang soal waktu saja." Kata Rena dengan tidak bersemangat. "Yah, perubahan itu hanya soal waktu saja," lanjut Rena sambil bergumam yang seolah untuk dirinya sendiri sambil menenggok ke dalam diri yang dipenuhi dengan cahaya hitam yang pekat.
Hartanto tersenyum pada dirinya sendiri. "Aku tahu dengan apa yang aku cari selama ini!" ucap Hartanto dengan yakin. Hartanto memang tahu dengan tujuan hidupnya, hanya saja saja, ia tidak pernah tahu di mana dan ke mana harus melangkah untuk mendapatkan keinginannya itu. "Bagaimana perjalananmu?" tanya Hartanto kemudian yang kembali mencoba mengalihkan pembicaraan.
Rena tidak bersemangat untuk langsung menjawab. Ia membuang muka ke kebun singkong yang gelap. Diam sejenak dan kemudian merokok. Tidak lama setelah itu, Eko datang membawa pesanan Rena, "Chococino panas!" kata Eko dan berlalu kembali setelah senyuman manis Rena melayang untuk dirinya.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Har. Dulu, kita sama-sama sebagai nelayan yang mengarungi lautan untuk bertahan hidup. Setiap saat kita berpisah dan setelah perjalanan jauh kita bertemu, kita sudah berbeda jauh. Kapalmu masih sama dengan yang dahulu, namun begitu kuat dan bertambah kuat di setiap saatnya. Kamu juga tidak tersesat dipermainkan gelombang. Tidak juga tersesat dalam keindahan samudra. Bintang-gemintang di langit masih menanungi dan memberikanmu petunjuk. Sedangkan diriku ini?" Rena menatap Hartanto dengan pandangan kosong. "Kapalku begitu indah dengan gemerlap cahaya lampu yang berpendar-pendar. Sepertinya, sejuta peri ikut mengiringi perjalananku. Tidak ada yang tahu, kalau sebenarnya aku sudah jauh tersesat sedangkan kapalku mulai merapuh."
Hartanto menghela nafas. Ia berusaha untuk memasuki alam pikiran Rena tentang kapal dan perjalanannya. Kemudian, Hartanto pun bersuara, "Semua itu proses." Suaranya pelan dan Rena menatapnya dengan penuh harapan. "Tidak ada yang terlihat kuat atau lemah, indah atau buruk. Tidak juga antara tersesat dan tidak tersesat. Semua itu hanya bagian dari proses kehidupan, Ren! Hasil akhir adalah siapa yang mampu menemukan dermaga dan berlabuh di sana. Dan hasil akhir itu, hanya kepunyaan Allah semata!"
Rena tersenyum, "Kata-katamu, Har, memang selalu begitu manis. Ibarat empedu dapat kamu rubah menjadi madu dengan lidahmu. Tapi," Rena menerawang jauh ke dalam diri yang masih saja disinari oleh caya hitam yang pekat, Â "tetap saja itu empedu!" ucapnya sambil menghempaskan pandangan ke tempat jauh. "Tetap saja empedu dan sungguh pahit!"
Kini Hartanto menatap Rena dengan begitu dalam. Ia mencoba untuk menyakinkan perempuan di depannya. "Tidak ada yang bisa menjamin kalau kapal yang dinahkodai seorang ulama tidak akan karam di tengah lautan yang dingin dan gelap." Semakin dalam Hartanto memandanginya. "Selama kita masih hidup, masih banyak jalan untuk terus mencari dermaga itu! Selama kita masih hidup dan terus berusaha, maka tidak akan ada kekalahan itu."
"Memang tidak ada yang bisa menjamin! Kamu benar," sahut Rena ragu dan pelan, seolah-olah kata-kata itu hanya terucap untuk dirinya sendiri.
"Lantas?" sahut Hartanto cepat.
"Hanya saja aku sudah tidak mampu lagi untuk bertahan. Aku sudah terbawa gelombang. Jauh. Terlalu jauh! Kini aku pun merasa putus asa." Ucap Rena yang mulai membawa aroma kesedihan.
Hartanto menggelengkan kepala dengan perlahan-lahan. "Jangan kamu sekali-kali menyerahkan hidupmu pada keinginan-keinginanmu. Sebab, keputus-asaan itu tumbuh dari keinginan."
Rena menggeleng, ada keputus-asaan di dalam dirinya. Kemudian dia merokok. Mereka berdua hanya diam untuk beberapa saat. "Aku mulai bosan dengan duniaku. Segala yang ada di sana seakan-akan membuatku merasa asing dan muntah. Aku ingin bebas seperti dulu, mengembara di lembah-lembah pemikiran dan menaiki gunung-gunung harapan. Menghabiskan waktu di pantai, perpustakaan, dan bercengkrama dengan alam. Atau bergumul mesra dengan kertas-kertas kerja penelitian." Rena membayangkan masa lalunya saat masih bersama dengan Hartanto dan rekannya yang lain di masa lalu yang cerah dan indah.
"Namun, kini keadaan sudah jauh berbeda. Aku tidak lagi memburu tentang pengertian dan ilmu pengetahuan. Waktuku habis di tempat-tempat yang gemerlap dengan duniawi, aroma minuman keras yang menggoda, kenikmatan-kenikmatan dunia yang sungguh menggairahkan. Dulu, aku pusing dengan buku-buku yang tertumpuk berserakan di kamar sampai Ayah dan Bunda sering membangunkanku dengan buku baru. Mereka bangga pada anaknya, dulu. Dan yang ada sekarang, hanya tumpukan baju-baju yang nge-trend yang tidak ada artinya. Dulu, yah, itu dulu. Sekarang sudah berbeda."
"Sekarang, aku adalah anak sah dari keadaan zaman yang berkiblat ke Rumah Mode." Ucap Rena dengan kembali mengusap air mata. "Aku kangen dengan petuah sufistiknya Nandar," ia membayangkan wajah Nandar untuk sejenak. "Kemana dia sekarang?" Rena menggelengkan kepala, seakan sudah tahu dengan jawaban dari pertanyaannya sendiri.
"Kamu menyesalinya?" tanya Hartanto tiba-tiba.
"Tidak!" Rena menggelengkan kepala dengan pasti. "Aku tidak menyesal. Aku tidak akan pernah menyesali apa yang telah aku pilih." Kepastian itu sekelebat saja terdengar di dalam udara namun sesaat kemudian dihempaskan dan menghilang, Rena kembali terkatung-katung dalam kata-katanya sendiri.
Hartanto hanya memandangi Rena dengan bimbang. Ia semakin tidak mampu untuk memahami seorang perempuan yang pernah menjadi orang kepercayaan dalam setiap kerja penelitiannya. Di sisi lain, merasa bosan, takut, bahkan kecewa dengan pilihan yang pernah ia buat di masa lalu. Akan tetapi, di sisi yang lain pula, Rena terlihat menikmati dunia itu. Dunia yang Hartanto pikir telah membawanya pada kegamangan dan perlahan-lahan menghancurkan sahabatnya.
"Tapi, Har, segalanya sekarang seperti berhenti. Dari hari ke hari semakin suram. Matahari seperti telah enggan bersinar saat pagi aku buka mata. Semua yang terlihat hanya awan hitam yang menyelimuti di pelupuk mataku." Rena mengusap air mata kembali. "Mungkin semua itu hanya perasaanku saja. Perasaan yang sesaat karena pengaruh alkhohol. Aku berharap semuanya segera berakhir saat nanti otakku benar-benar sadar."
"Atau sebenarnya aku memang dilahirkan hanya untuk menanggung kesepian dan penderitaan? Aku tidak tahu." Rena menggelengkan kepala sambil mencoba untuk tersenyum. Senyumannya tetap terasa hambar bagi Hartanto yang diam menyaksikan penderitaan sahabatnya. "Kadang aku ingin marah. Kadang merasa sepi dan sendiri, seperti layaknya sampah yang dibuang dan berserakan dipinggir jalan." Ia diam sesaat dan dengan suara rendah ia mulai berkata, "Aku bosan! Aku ingin sekali mengakhirinya. Percuma hidup sekali kalau hanya menjadi sia-sia seperti ini."
Hartanto tidak setuju dengan perkataan Rena. Ia menggelengkan kepala, "Bukan karena luka yang menjadikan hidup manusia menjadi sia-sia!"
"Semua itu tidak berlaku bagi kehidupanku, Har. Kamu tahu itu! Kamu telah menjadi saksi selama bertahun-tahun." Bantah Rena dengan suara keras.
"Ya! Selalu menjadi saksi bagi masa-masa surammu. Tapi di mana kamu berada disaat tersenyum? Aku tidak pernah tahu. Kamu selalu menghilang di dalam kebahagiaan, Ren! Kini kamu datang padaku disaat ketidak-mampuan telah datang dan mengalahkanmu. Kau datang saat jiwamu mengalir darah luka yang amis. Kamu telah menjadi sampah, sedang aku adalah tong sampah yang tidak pernah kau tinggali." Kata Hartanto dalam hati sambil menatap Rena dengan pandangannya yang kuyu.
"Aku mulai letih menjalani semua ini!" kata Rena kembali. Hartanto langsung menundukkan kepala. Ia rasakan malam akan terasa panjang dan meletihkan. Aku juga letih, pikir Hartanto.
"Har, aku minta maaf kalau selama ini selalu membuatmu susah. Aku minta maaf kalau tiba-tiba aku menghilang dan datang lagi dengan membawa luka."
"Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Aku sudah cukup senang bisa bertemu. Lebih senang lagi kalau aku bisa membantumu. Karena itu menjadi tanda, kalau aku ini masih ada gunanya hidup di dunia ini." Ucap Hartanto dengan tersenyum kecil pada dirinya sendiri.
Kemudian Rena bercerita tentang dunianya yang lalu. Perjalanan yang akhirnya meninggalkan luka di atas luka hari kemarin. Terkadang, di tengah-tengah cerita, Rena menangis, seketika tersenyum kembali. Dunia yang telah Rena arungi memang terdengar begitu indah dan menyenangkan. Namun, setiap tetes alkhohol yang ia teguk semakin membuatnya dahaga untuk terus mereguk sampai habis. Dan masih haus. Setiap kenikmatan ia rasakan, semakin ia ingin merasakan lagi, dan lagi. Sampai ia tidak tahu bagaimana harus memenuhi keinginannya itu.
Sementara itu, Hartanto diam terpaku. Ia hanyut dalam cerita Rena tentang perjalanan hidupnya. Hartanto sendiri tidak mampu mengerti, apakah yang didengar adalah cerita yang menyedihkan atau cerita yang membahagiakan. Cerita Rena membawa jiwanya ke dalam suasana yang hingar-bingar dan kemudian terasa sepi, senyap, seakan-akan tidak ada kehidupan yang tersisa. Semakin lama Hartanto ikuti, ia semakin terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh menabrak malam.
"Kamu menyesalinya?" Hartanto mengulang pertanyaannya.
Rena menggelengkan kepalanya dengan samar. "Aku tidak tahu, Har. Aku tidak tahu, apakah aku harus menyesalinya atau tidak. Atau justru aku harus bangga dengan perjalanan hidupku yang seperti ini." Rena menerawang jauh ke dalam kegelapan sambil tertawa kecil tanpa suara. "Lubang yang dahulu kumasuki ternyata begitu dalam. Dan aku telah masuk terlalu dalam. Jauh ke dalam!"
"Sejauh kamu mampu untuk terus menikmatinya," ucap Hartanto tidak bersemangat.
"Aku memang menikmatinya!" sambung Rena tegas.
Hartanto menghela nafas mendengar tanggapan Rena. Harusnya ia tidak mengatakan itu. Sudah begitu jelas, kalau Rena sangat menikmati dunia yang kini membuatnya jatuh dalam kebimbangan, pikir Hartanto. "Lalu, kenapa kamu harus selalu mengeluhkan semua ini?"
"Itulah, Har, saat ini aku merasa kalau ini bukanlah duniaku lagi. Aku merasa asing. Bahkan kadang-kala aku merasa terbuang."
"Kenapa?" sahut Hartanto tanpa semangat.
"Aku tidak tahu," raut wajahnya terlihat letih, "Aku tidak tahu!"
"Ren, dulu kamu pernah menasehatiku seperti ini: Setiap orang harus memilih jalan hidupnya sendiri. Setiap saat kita melangkah, selalu saja akan bertemu dengan persimpangan jalan. Kemudian kita harus memutuskan, jalan mana yang akan kita pilih." Hartanto berdiri kemudian berjalan dan duduk di samping Rena karena dia tidak mau memandangi mata sahabatnya yang basah.
"Aku sudah memilih!" Rena tersenyum, "Mungkin, dulu aku sudah salah memilih. Tapi aku tidak menyesalinya!"
"Mungkin,"
"Aku sungguh tidak menyesalinya!" potong Rena dengan wajah yang mulai bercahaya kembali.
Hartanto tersenyum dengan ragu mendengarnya. Kemudian ia pun menundukkan kepala, begitu dalam seperti sedang menanggung beban yang begitu berat. "Beruntung orang-orang yang bisa mengingat masa lalu tanpa penyesalan dan melihat hari depan dengan penuh keyakinan!"
Rena memandangi Hartanto dengan kebimbangan. Ia merasa kalau kata-kata yang Hartanto ucapkan sebagai suatu pukulan bagi jiwanya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa." Sahut Rena sambil membenamkan diri ke dalam kegelapan. "Aku benar-benar sudah bosan dengan dunia yang aku pijaki selama bertahun-tahun. Aku ingin keluar namun setiap sudut seperti mencengkeramku dengan erat yang membuatku tidak punya kekuatan untuk pergi."
"Dulu kamu menikmatinya," kata Hartanto sambil menghela nafas berat.
"Iya, sekarang segalanya sudah berubah. Tapi sekarang aku ingin segera meninggalkannya walau sebenarnya aku masih begitu menikmati."
"Kalau memang itu yang kamu inginkan, maka lakukanlah!" kata Hartanto tegas, "Tinggalkan dunia itu!" lnjut Hartanto membentak.
Rena tiba-tiba menatap Hartanto dengan tatapan sedih dan kecewa. Ia sangat ingin mendapatkan dukungan secara halus, dengan tutur kata Hartanto yang manis seperti dulu. Rena ingin Hartanto membelai jiwanya dengan sabar, agar ia bisa bermanja di dalam luka-luka. Namun semua tidak seperti yang Rena harapkan. Hari ini, Hartanto tidak lembut seperti yang diharapkan.
"Kamu kenapa, Har?" tanya Rena dengan suara serak menahan tangis yang lain. "Kamu sudah bosan mendengarkan setiap ceritaku? Kenapa tidak dari dulu saja kamu mengatakan seperti ini padaku." Ia nanar menatap Hartanto yang memandang jauh ke jalan.
"Mungkin belum waktunya, Ren! Mungkin hari ini saat yang tepat. Bukan satu bulan yang lalu. Atau bukan empat tahun yang lalu!" jawab Hartanto lirih sambil menggelengkan kepala. Tanpa ia duga, Rena langsung berdiri dan meninggalkannya tanpa sepatah kata. Hartanto hanya diam memandangi kepergian Rena yang sungguh tidak dia sangka.
"Aku bosan mendengarkan semua keluhanmu. Dulu kamu tidak pernah mengeluh. Dulu kamu begitu kuat." Kata Hartanto dengan keras mengiri kepergian Rena yang berlalu seperti angin. "Maafkanlah aku!" lanjutnya dalam gumaman yang sebenarnya tidak mampu dia dengar sendiri dan Hartanto pun menundukkan kepala dengan cemas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H