Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 2)

6 Januari 2010   00:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hartanto hanya memandangi Rena dengan bimbang. Ia semakin tidak mampu untuk memahami seorang perempuan yang pernah menjadi orang kepercayaan dalam setiap kerja penelitiannya. Di sisi lain, merasa bosan, takut, bahkan kecewa dengan pilihan yang pernah ia buat di masa lalu. Akan tetapi, di sisi yang lain pula, Rena terlihat menikmati dunia itu. Dunia yang Hartanto pikir telah membawanya pada kegamangan dan perlahan-lahan menghancurkan sahabatnya.

"Tapi, Har, segalanya sekarang seperti berhenti. Dari hari ke hari semakin suram. Matahari seperti telah enggan bersinar saat pagi aku buka mata. Semua yang terlihat hanya awan hitam yang menyelimuti di pelupuk mataku." Rena mengusap air mata kembali. "Mungkin semua itu hanya perasaanku saja. Perasaan yang sesaat karena pengaruh alkhohol. Aku berharap semuanya segera berakhir saat nanti otakku benar-benar sadar."

"Atau sebenarnya aku memang dilahirkan hanya untuk menanggung kesepian dan penderitaan? Aku tidak tahu." Rena menggelengkan kepala sambil mencoba untuk tersenyum. Senyumannya tetap terasa hambar bagi Hartanto yang diam menyaksikan penderitaan sahabatnya. "Kadang aku ingin marah. Kadang merasa sepi dan sendiri, seperti layaknya sampah yang dibuang dan berserakan dipinggir jalan." Ia diam sesaat dan dengan suara rendah ia mulai berkata, "Aku bosan! Aku ingin sekali mengakhirinya. Percuma hidup sekali kalau hanya menjadi sia-sia seperti ini."

Hartanto tidak setuju dengan perkataan Rena. Ia menggelengkan kepala, "Bukan karena luka yang menjadikan hidup manusia menjadi sia-sia!"

"Semua itu tidak berlaku bagi kehidupanku, Har. Kamu tahu itu! Kamu telah menjadi saksi selama bertahun-tahun." Bantah Rena dengan suara keras.

"Ya! Selalu menjadi saksi bagi masa-masa surammu. Tapi di mana kamu berada disaat tersenyum? Aku tidak pernah tahu. Kamu selalu menghilang di dalam kebahagiaan, Ren! Kini kamu datang padaku disaat ketidak-mampuan telah datang dan mengalahkanmu. Kau datang saat jiwamu mengalir darah luka yang amis. Kamu telah menjadi sampah, sedang aku adalah tong sampah yang tidak pernah kau tinggali." Kata Hartanto dalam hati sambil menatap Rena dengan pandangannya yang kuyu.

"Aku mulai letih menjalani semua ini!" kata Rena kembali. Hartanto langsung menundukkan kepala. Ia rasakan malam akan terasa panjang dan meletihkan. Aku juga letih, pikir Hartanto.

"Har, aku minta maaf kalau selama ini selalu membuatmu susah. Aku minta maaf kalau tiba-tiba aku menghilang dan datang lagi dengan membawa luka."

"Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Aku sudah cukup senang bisa bertemu. Lebih senang lagi kalau aku bisa membantumu. Karena itu menjadi tanda, kalau aku ini masih ada gunanya hidup di dunia ini." Ucap Hartanto dengan tersenyum kecil pada dirinya sendiri.

Kemudian Rena bercerita tentang dunianya yang lalu. Perjalanan yang akhirnya meninggalkan luka di atas luka hari kemarin. Terkadang, di tengah-tengah cerita, Rena menangis, seketika tersenyum kembali. Dunia yang telah Rena arungi memang terdengar begitu indah dan menyenangkan. Namun, setiap tetes alkhohol yang ia teguk semakin membuatnya dahaga untuk terus mereguk sampai habis. Dan masih haus. Setiap kenikmatan ia rasakan, semakin ia ingin merasakan lagi, dan lagi. Sampai ia tidak tahu bagaimana harus memenuhi keinginannya itu.

Sementara itu, Hartanto diam terpaku. Ia hanyut dalam cerita Rena tentang perjalanan hidupnya. Hartanto sendiri tidak mampu mengerti, apakah yang didengar adalah cerita yang menyedihkan atau cerita yang membahagiakan. Cerita Rena membawa jiwanya ke dalam suasana yang hingar-bingar dan kemudian terasa sepi, senyap, seakan-akan tidak ada kehidupan yang tersisa. Semakin lama Hartanto ikuti, ia semakin terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh menabrak malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun