Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 2)

6 Januari 2010   00:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rena tersenyum, "Kata-katamu, Har, memang selalu begitu manis. Ibarat empedu dapat kamu rubah menjadi madu dengan lidahmu. Tapi," Rena menerawang jauh ke dalam diri yang masih saja disinari oleh caya hitam yang pekat,  "tetap saja itu empedu!" ucapnya sambil menghempaskan pandangan ke tempat jauh. "Tetap saja empedu dan sungguh pahit!"

Kini Hartanto menatap Rena dengan begitu dalam. Ia mencoba untuk menyakinkan perempuan di depannya. "Tidak ada yang bisa menjamin kalau kapal yang dinahkodai seorang ulama tidak akan karam di tengah lautan yang dingin dan gelap." Semakin dalam Hartanto memandanginya. "Selama kita masih hidup, masih banyak jalan untuk terus mencari dermaga itu! Selama kita masih hidup dan terus berusaha, maka tidak akan ada kekalahan itu."

"Memang tidak ada yang bisa menjamin! Kamu benar," sahut Rena ragu dan pelan, seolah-olah kata-kata itu hanya terucap untuk dirinya sendiri.

"Lantas?" sahut Hartanto cepat.

"Hanya saja aku sudah tidak mampu lagi untuk bertahan. Aku sudah terbawa gelombang. Jauh. Terlalu jauh! Kini aku pun merasa putus asa." Ucap Rena yang mulai membawa aroma kesedihan.

Hartanto menggelengkan kepala dengan perlahan-lahan. "Jangan kamu sekali-kali menyerahkan hidupmu pada keinginan-keinginanmu. Sebab, keputus-asaan itu tumbuh dari keinginan."

Rena menggeleng, ada keputus-asaan di dalam dirinya. Kemudian dia merokok. Mereka berdua hanya diam untuk beberapa saat. "Aku mulai bosan dengan duniaku. Segala yang ada di sana seakan-akan membuatku merasa asing dan muntah. Aku ingin bebas seperti dulu, mengembara di lembah-lembah pemikiran dan menaiki gunung-gunung harapan. Menghabiskan waktu di pantai, perpustakaan, dan bercengkrama dengan alam. Atau bergumul mesra dengan kertas-kertas kerja penelitian." Rena membayangkan masa lalunya saat masih bersama dengan Hartanto dan rekannya yang lain di masa lalu yang cerah dan indah.

"Namun, kini keadaan sudah jauh berbeda. Aku tidak lagi memburu tentang pengertian dan ilmu pengetahuan. Waktuku habis di tempat-tempat yang gemerlap dengan duniawi, aroma minuman keras yang menggoda, kenikmatan-kenikmatan dunia yang sungguh menggairahkan. Dulu, aku pusing dengan buku-buku yang tertumpuk berserakan di kamar sampai Ayah dan Bunda sering membangunkanku dengan buku baru. Mereka bangga pada anaknya, dulu. Dan yang ada sekarang, hanya tumpukan baju-baju yang nge-trend yang tidak ada artinya. Dulu, yah, itu dulu. Sekarang sudah berbeda."

"Sekarang, aku adalah anak sah dari keadaan zaman yang berkiblat ke Rumah Mode." Ucap Rena dengan kembali mengusap air mata. "Aku kangen dengan petuah sufistiknya  Nandar," ia membayangkan wajah Nandar untuk sejenak. "Kemana dia sekarang?" Rena menggelengkan kepala, seakan sudah tahu dengan jawaban dari pertanyaannya sendiri.

"Kamu menyesalinya?" tanya Hartanto tiba-tiba.

"Tidak!" Rena menggelengkan kepala dengan pasti. "Aku tidak menyesal. Aku tidak akan pernah menyesali apa yang telah aku pilih." Kepastian itu sekelebat saja terdengar di dalam udara namun sesaat kemudian dihempaskan dan menghilang, Rena kembali terkatung-katung dalam kata-katanya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun