Mohon tunggu...
Rahman009
Rahman009 Mohon Tunggu... Apoteker - Hanya seorang Sarjana Farmasi, yang suka berkarya

Kesehatan, politik, bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pengobatan menurut Fiqih

3 September 2024   11:03 Diperbarui: 3 September 2024   11:04 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kewajiban Berobat dalam Fiqih

Dalam perspektif fiqih, para ulama telah membahas tentang kewajiban berobat dalam berbagai mazhab. Secara umum, fiqih memandang bahwa berobat adalah salah satu bentuk ikhtiar yang dianjurkan oleh syariah, dan dalam kondisi tertentu, dapat menjadi wajib. Pandangan ini berdasarkan dalil dari Al-Qur'an, hadits, serta kaidah maqashid syariah yang menekankan pentingnya menjaga jiwa (hifz an-nafs).

Menurut Imam Al-Ghazali dalam karyanya "Ihya Ulumuddin," menjaga kesehatan tubuh termasuk dalam kewajiban manusia karena tubuh adalah amanah dari Allah SWT. Sementara itu, Imam Nawawi dalam "Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab" berpendapat bahwa berobat umumnya dianjurkan (sunnah), tetapi bisa menjadi wajib dalam kondisi di mana penyakit dapat menyebabkan kerusakan lebih besar atau menular ke orang lain.

Hal ini didukung oleh kaidah dalam ushul fiqih yang berbunyi:

"Segala sesuatu yang menyebabkan hal wajib tidak terlaksana maka hukumnya menjadi wajib."
(مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ)

Oleh karena itu, dalam situasi di mana tidak berobat akan menyebabkan kerusakan atau membahayakan nyawa, maka berobat menjadi wajib secara syar'i.

Klasifikasi Hukum Pengobatan

Dalam fiqih, hukum pengobatan dapat diklasifikasikan berdasarkan situasi dan kondisi pasien:

  1. Wajib (Fardhu): Pengobatan menjadi wajib ketika penyakitnya berpotensi membahayakan nyawa atau dapat menular ke orang lain. Misalnya, dalam kasus penyakit menular seperti COVID-19, berobat atau mengikuti protokol kesehatan menjadi wajib untuk mencegah penyebaran yang lebih luas.

  2. Sunnah (Mustahabb): Pengobatan dianggap sunnah ketika penyakitnya tidak terlalu membahayakan dan berobat tidak bersifat mendesak. Contohnya adalah ketika seseorang menderita penyakit ringan seperti flu atau sakit kepala. Dalam situasi ini, berobat dianjurkan sebagai bentuk usaha untuk menjaga kesehatan.

  3. Mubah (Boleh): Berobat dikategorikan mubah ketika seseorang memiliki pilihan untuk berobat atau tidak berobat, dan penyakit yang dihadapinya tidak membahayakan. Hal ini mungkin berlaku dalam kasus penyakit ringan yang biasanya dapat sembuh dengan sendirinya.

  4. Makruh: Pengobatan dianggap makruh jika penggunaan obat atau metode pengobatan memiliki efek samping yang lebih besar daripada manfaatnya, atau jika terdapat metode alternatif yang lebih baik.

  5. Haram: Pengobatan menjadi haram jika dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan syariah, seperti menggunakan bahan yang diharamkan tanpa adanya keadaan darurat atau menggunakan metode yang melibatkan sihir atau perdukunan.

Penggunaan Obat yang Mengandung Unsur Haram

Dalam fiqih, penggunaan obat yang mengandung unsur haram menjadi salah satu persoalan yang kerap dibahas. Kaidah umum dalam fiqih adalah bahwa penggunaan bahan haram dalam pengobatan dilarang, kecuali dalam keadaan darurat atau tidak ada alternatif lain yang halal. Prinsip ini dikenal dengan kaidah darurat:

"Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang."
(الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ)

Sebagai contoh, obat yang mengandung alkohol atau gelatin babi hanya boleh digunakan ketika tidak ada obat lain yang bisa menggantikannya dan penggunaannya bertujuan untuk menyelamatkan nyawa. Imam Nawawi dalam "Al-Majmu’" menyebutkan bahwa ketika kondisi darurat terjadi, maka hukum haram bisa ditoleransi demi menjaga jiwa yang menjadi salah satu tujuan maqashid syariah.

Dalam kitab "Al-Mughni" karya Ibnu Qudamah, dijelaskan bahwa jika seorang Muslim dihadapkan pada dua pilihan obat, salah satunya halal dan yang lainnya mengandung unsur haram, maka ia wajib memilih obat yang halal. Namun jika tidak ada pilihan lain selain obat yang mengandung unsur haram, maka penggunaannya diperbolehkan selama bertujuan untuk penyembuhan yang mendesak.

Pengobatan dengan Cara Alternatif dalam Fiqih

Fiqih Islam juga membahas tentang pengobatan alternatif seperti bekam, ruqyah, dan penggunaan herbal yang banyak dianjurkan dalam hadits. Menurut para ulama, pengobatan alternatif diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariah, seperti tidak melibatkan unsur-unsur syirik atau perdukunan.

  • Bekam: Bekam adalah salah satu metode pengobatan yang dianjurkan dalam hadits Nabi, dan dianggap sahih menurut fiqih. Ulama dari berbagai mazhab mengakui manfaat bekam selama dilakukan oleh praktisi yang ahli dan tidak menimbulkan bahaya bagi pasien.

  • Ruqyah Syar'iyyah: Ruqyah, atau pengobatan dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, diperbolehkan selama dilakukan dengan bacaan yang sesuai dengan syariah. Rasulullah SAW pernah melakukan ruqyah untuk kesembuhan penyakit, dan hal ini diakui oleh para ulama sebagai salah satu metode pengobatan yang sah dalam Islam.

  • Penggunaan Herbal: Pengobatan dengan herbal seperti habbatus sauda' dan madu juga dianjurkan dalam hadits dan diterima oleh para ulama fiqih sebagai pengobatan yang mubah dan bahkan sunnah.

Konsultasi dengan Ahli Medis

Dalam fiqih, konsultasi dengan ahli medis yang kompeten sangat dianjurkan, terutama dalam pengambilan keputusan pengobatan. Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan, termasuk ilmu kedokteran. Kaidah fiqih menekankan pentingnya berikhtiar berdasarkan ilmu, dan tidak asal memilih metode pengobatan. Oleh karena itu, pengobatan yang tidak berdasarkan ilmu medis yang benar atau dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kompetensi dapat menjadi haram, karena dapat menyebabkan bahaya yang lebih besar.

Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang melakukan pengobatan sementara dia tidak mengetahui tentang pengobatan tersebut, maka dia bertanggung jawab." (HR. Abu Dawud).

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang medis tidak boleh melakukan tindakan pengobatan karena dapat menyebabkan bahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun