Mohon tunggu...
Mursyid Burhanuddin
Mursyid Burhanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur

Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Talenta Mas Menteri

29 Oktober 2019   09:00 Diperbarui: 29 Oktober 2019   12:02 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tak ada yang menyangka Nadiem Anwar Makarim akhirnya terpilih menjadi Mendikbud RI. Nama-nama yang sebelumnya sering muncul di media, praktis tenggelam oleh reaksi netizen sejak CEO Go-Jek itu diumumkan sebagai Mas Menteri oleh Presiden Jokowi.

Pemilihan Nadiem sekaligus mematahkan tradisi. Bahwa Kemdikbud tidak selamanya harus dipimpin oleh orang yang memiliki track record panjang di bidang pendidikan. Juga jabatan Mendikbud bukan jaminan bagi kader Muhammadiyah atau NU.

Besarnya harapan kepada sosok Nadiem sepadan dengan kekuatiran banyak orang terhadap kemampuan Mas Menteri ini.

Akan dibawa ke mana pendidikan nasional nanti?

Apakah output pendidikan (formal) hanya disiapkan untuk memasuki dunia kerja? Yang jenis pekerjaannya, bisa jadi berbeda dengan yang diajarkan di kelas?

Atau, Nadiem akan lebih perhatian terhadap sistem aplikasi pendidikan saja?

Yang dengan sistem aplikasi itu urusan pendidikan menjadi kian efisien dan pelaksana pendidikan bisa lepas dari belitan birokrasi? Yang dengan kepiawaiannya itu pula, pada tahun 2012 Nadiem mendapat penghargaan: "Asian of The Year" dari The Straits Times. 

Setidaknya kita bisa memperoleh jawaban atas pertanyaan itu dari statemen Presiden Jokowi. Dari pesan-pesan yang telah disampaikannya. Dari visi-misinya.

Anda tahu, para menteri hanya bertugas menerjemahkan dan menjalankan visi-misi presiden. Tidak ada visi-misi menteri.

Tugas yang diberikan kepada Nadiem, saya rasa sangat berat. Tapi, juga menantang. Apalagi urusan Perguruan Tinggi saat ini menjadi tanggung jawab Kemdikbud.

Sebagai pelaku usaha, Nadiem sudah terbiasa menghadapi tantangan besar. Itu modal yang bagus untuk membuatnya berbeda dengan menteri-menteri sebelumnya.

Kita akan melihat, bagaimana cara ia mengembangkan SDM yang berkualitas. Yang siap kerja, atau siap berusaha.

Bagaimana pula, ia mewujudkan link and match yang sesuai dengan era industri 4.0?

Banyaknya jurusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri harus menjadi perhatiannya. Nadiem dianggap lebih bisa melihat jenis pekerjaan yang dibutuhkan di masa mendatang.

Anda tahu, ketidaksesuaian yang terjadi selama ini adalah kemubaziran. Bisa jadi itu sebagai sebab tingkat pengangguran masih tinggi.

Pengembangan SDM unggul sebuah keniscayaan yang menjadi tanggung jawabnya. Bahkan, itu menjadi prioritas utama Kabinet Indonesia Maju.

Kehadiran Nadiem diharapkan bisa menjawab tantangan itu. Dengan menggunakan cara yang tidak biasa-biasa saja. Dengan cara yang berbeda.

Itulah mengapa pemilik perusahaan decacorn ini dipercaya untuk membidani kementerian yang memiliki kompleksitas masalah dan rentang kendali yang sangat luas.

Program link and match yang disampaikan Presiden Jokowi sebenarnya bukan hal baru.

Tahun 1993-1998 Mendiknas, Wardiman Djojonegoro pernah melakukannya.

Jokowi menganggap program itu masih relevan. Justru inilah saat yang tepat untuk mengangkat kembali program itu.

Di tangan Nadiem bisa jadi program itu akan segera diwujudkan. Naluri bisnisnya akan mendorongnya untuk bergerak lebih cepat.

Tapi, jika program itu ia lakukan tergesa-gesa, bukan tanpa risiko. Setidaknya akan menimbulkan tiga implikasi yang tidak sederhana.

Pertama, masalah kurikulum.

Kurikulum 2013 (K-13) yang digunakan oleh sekolah saat ini, tidak melulu menyiapkan para siswa untuk mengisi lowongan kerja. Sementara itu, program link and match mensyaratkan kompetensi dan keterampilan yang spesifik untuk memasuki dunia kerja.

K-13 sebenarnya sudah memuat kecakapan yang dibutuhkan pada abad 21. Tapi, tidak dijabarkan secara detail. Jadi belum bisa dipastikan apakah masih sesuai dengan kebutuhan era industri 4.0.

Untuk menciptakan link and match itu, pemerintah tampaknya perlu menyelaraskan kurikulum. Bila perlu dari PAUD hingga perguruan tinggi. Risikonya tentu akan ada pergeseran. Akan ada perubahan atau penambahan.

Kedua, masalah perbukuan.

Dampak dari penyelarasan kurikulum itu, hampir pasti merembet pada urusan perbukuan. Buku-buku yang digunakan di persekolahan harus disesuaikan. Bila perlu diganti.

Melalui dana BOS dan DAK, pemerintah telah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk penyediaan buku teks utama, teks pendamping dan buku nonteks.

Buku-buku yang sudah terlanjur dibeli itu tidak selamanya bisa digunakan oleh sekolah. Karena beberapa bagian akan menjadi tidak relevan.

Belum lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 tahun 2019 tentang Pelaksanaan UU Sistem Perbukuan. Yang menegaskan bahwa buku teks utama (terbitan pemerintah) berbeda dengan buku teks pendamping (buatan penerbit). Kemdikbud harus melaksanakan PP itu.

Sejauh ini kedua jenis buku itu masih sama "jenis kelaminnya."

Maka cepat atau lambat penerbit, dan atau Kemdikbud mesti merevisi atau bahkan, merombak buku teks terbitannya sesuai kehendak PP dan disesuaikan dengan hasil penyelarasan kurikulum.

Ketiga, masalah adminitrasi dan manajemen.

Kemdikbud telah memanfaatkan beberapa sistem aplikasi untuk berbagai keperluan administratif. Salah satunya aplikasi: Sistem Informasi Pengadaan Barang/Jasa di Sekolah (SIPLah).

Tujuan dari SIPLah agar belanja sekolah dilakukan dengan lebih transparan dan akuntabel. Dapat dipantau secara real time dan terpusat.

Namun, kendala klasik masih terus terjadi. Mayoritas sekolah belum menggunakan aplikasi itu.

Aplikasi SIPLah masih dianggap sebagai benda asing yang merepotkan.

Kendala teknis juga masih sering kita jumpai. Sehingga SIPLah belum terbukti handal. Dan, SDM di lapangan masih kesulitan menggunakannya.

Mestinya akses internet saat ini bukan menjadi masalah berarti bagi SIPLah? Karena proyek Palapa Ring telah beroperasi di atas langit 514 kabupaten dan kota.

Nadiem tampaknya juga tak akan membiarkan situasi itu terus begitu. Ia tentu tidak menginginkan sistem yang digunakan di sekolah kembali ke masa silam.

Bisa jadi perhatian dan talenta Nadiem sebenarnya bukan pada sistem aplikasi itu saja.

Tapi, juga pada kemampuannya memimpin organisasi sebesar dan se-kompleks Kemdikbud. Yang pada titik itu kebanyakan orang masih meragukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun