Mohon tunggu...
mbak Yun
mbak Yun Mohon Tunggu... Pensiun -

Life is beautiful https://penatajam.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[SuDuk] Konflik Resolusi di Kompasiana

21 Januari 2016   18:59 Diperbarui: 22 Januari 2016   05:26 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Menulis tentang Suka Duka di Kompasiana sangat menarik, karena mengingatkan saya pada masa-masa waktu masih menjadi silent reader. Asyik sekali, seakan saya melihat K-er dari luar jendela, saya tidak kenal mereka, tetapi melihat karakter mereka dari komen dan artikelnya. Mereka begitu antusias menulis tentang politik yg lagi panas waktu itu. Saya senang sekali membaca politik tetapi tidak ingin menulis di kanal politik. Kompasiana seperti lautan ide dan imaginasi. Saya melihat banyak sekali talenta dari K-er di semua kanal, sangat luar biasa, sungguh mereka pantas menerima apresiasi.. semuanya..

 

Akhirnya pada tanggal 8, bulan Oktober tahun 2015 saya bergabung. Namun Beberapa bulan saya bergabung di Kompasiana, saya sudah melihat dua orang pergi dari Kompasiana, bukan karena mereka suka cita, tetapi karena broken heart. Yang pertama Den Bhagoese dan yang kedua mas Hendrik.

 

Gambaran yg tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Kedua kasus teman K-er ini walaupun masalahnya beda, namun ada kemiripan, serupa tapi tak sama, yaitu ada hubungannya dengan “penguasa” di Kompasiana. Yang satu sebagai atau merasa “sebagai penguasa” dan satunya hanya member biasa.

 

Yang sangat menarik adalah pemilihan cara dalam menyelesaikan masalah, sepertinya mirip juga, yaitu “yg berkuasa” memutuskan sesuatu yg dia “anggap benar” tanpa ada konfirmasi terhadap atau dari member biasa. Apakah ini memang style penguasa Kompasiana?

 

Mas Hendrik di dalam tulisannya, yg sayang sekali sudah dihapus, dikatakan bahwa dia menerima email dari seseorang (senior) yg mengatakan bahwa dia tidak punya bakat di fiksi, ada kesalahan EYD dan lebih baik cari kanal lain saja. Ada dua hal yg dipermasalahkan yaitu kesalahan dalam EYD, tidak punya bakat dan tidak cocok di fiksi.

 

Sebenarnya saya tidak melihat adanya masalah yg besar dengan “kesalahan” mas Hendrik, sehingga dia pantas ditendang dari kanal yg dia sukai. Saya yakin pasti banyak K-er lain yg melanggar EYD, silahkan memeriksa semua artikel, bahkan artikel fiksi sekalipun. Kemarin saya melihat satu puisi, ada kesalahan EYD disana. Apakah orang itu juga menerima email yg berisi tendangan?

 

Dalam suatu organisasi konflik sering terjadi, biasanya ini terjadi karena kesalahpahaman atau persepsi yg beda dari kedua pihak atas suatu hal. Solusi yg ideal adalah solusi yg nantinya akan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak, jadi sifatnya win win solution.

 

Beberapa hal yg perlu diperhatikan dalam penyelesaian suatu konflik adalah:

1. Hindarkan asumsi
2. Mendengarkan untuk mengerti
3. Kerja sama

Saya tidak melihat penyelesaian yg digunakan untuk kasus mas Hendrik, memenuhi unsur diatas.

Sebenarnya penyelesaian masalah tulisan mas Hendrik sangatlah sederhana, yaitu:

Pertama, kalau memang kesalahan ada dalam EYD, kenapa di emailnya tidak meminta mas Hendrik untuk mengedit dan kemudian di publish lagi, bukankah ini lebih manusiawi.

Akan lebih bijaksana kalau mau memberi masukan bagaimana untuk memperbaikinya, sehingga memenuhi standard pengirim, atau mengingatkan dia supaya kedepan untuk lebih memperhatikan pemakaian EYD yg tepat, supaya artikel lebih berbobot ( atau apalah alasan yg mau dikatakan). Kesempatan ini juga bisa dipakai untuk saling mendengarkan, sehingga ada unsur dorongan untuk maju dari pada menekan dan membodohkan.

 

Kedua, tentang tidak ada bakat di fiksiana atau tidak cocok di fiksiana.

Tidak ada bakat dan tidak cocok di fiksiana itu jelas beda artinya.

“Tidak ada bakat “ itu berarti orang yg tidak bisa menulis sama sekali. Merangkum kata-kata untuk menjadikan sebuah ceritapun tidak bisa, alur cerita tak karuan, gambaran waktu juga tak karuan, alur pembicaraan dari para karakter tidak sinkron dan banyak lagi. Tapi apakah memang mas Hendrik seperti itu?

 

Kalau pengirim sungguh merasa mas Hendrik seperti itu, tulisan dia tidak memenuhi standard fiksiana. Bukankah lebih manusiawi kalau dia diberi bimbingan atau diberi saran yg membangun, bagaimana menulis dengan baik, diberi masukan, tehnik-tehnik menulis dsb. Supaya bakat dia bisa berkembang.

Sedangkan, “ tidak cocok di fiksiana ”, ini bisa dengan sangat mudah diselesaikan.

Bisa saja pengirim meminta admin untuk memindahkan artikel ke kanal lain, karena admin lah yg pegang tombol. Beres sudah.. nggak ada yg sakit hati, tersinggung, atau merasa dibodohkan. Begitu pula pengirim tidak kelihatan seperti diktator yg mau menang sendiri dan memperlakukan orang lain seperti nothing.

Setahu saya tulisan mas Hendrik juga mendapat apresiasi dari Admin, buktinya ada artikelnya yg ada di kolom Artikel Pilihan. Jadi bilang bahwa dia tidak berbakat adalah kurang tepat. Kecuali itu adalah suatu kesepakatan sebuah team yg menilai sehingga bisa dikatakan suatu keputusan bersama. Jadi bisa saja itu hanya opini satu atau dua orang, dan belum tentu suatu kebenaran.

 

Sungguh sangat disayangkan masalah yg kecil tetapi cara penyelesaiannya sangat berlebihan, dengan bulldozer.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah kedepan akan terus seperti ini? Setiap kali ada hal yg kurang jelas atau salah faham, lalu keluarin saja bulldozer, babat langsung, libas... biar habis...

Kalau benar begitu jalan pemikirannya, sungguh membuat saya semakin ingin bertanya.

Pantaskah orang diberi wewenang atau tanggung jawab atau kekuasaan apabila mereka belum dewasa secara emosi dan belum mempunyai jiwa kebijaksanaan layaknya seorang pemimpin?

 

Siapakah kita semua di Kompasiana?

Said Didu bilang, bahwa kita semua adalah pengangguran dan ibu-ibu yg nggak punya kerjaan hahaha..

Menurut saya, kita semua adalah sama, manusia.. Kesamaan lainnya adalah kita sama-sama tidak dibayar oleh Kompasiana. Ya dari hari ke hari menulis dan berargumentasi, tidak ada yg membayar.

 

Lalu apa bedanya? Nah yg beda adalah selera kita menulis dan cara kita berinteraksi. Tetapi perbedaan itupun tidak membuat yg satu menjadi lebih baik dari yg lain. Belum tentu orang yg menulis artikel di kanal tertentu pasti lebih hebat dari yg lain atau sebaliknya. Karena perbedaan itu hanyalah selera yg dipilih oleh masing-masing individu.

 

Karena itu dalam kesempatan ini saya ingin mengingatkan kita semua, marilah kita (senior dan junior) berempati kepada sesama. Kita tidak tahu bagaimana keadaan pribadi masing-masing K-er. Kita tidak tahu bagaimana lingkungan dia tinggal. Kita tidak tahu bagaimana keadaan sekitar dia. Kita tidak tahu bagaimana kepribadiannya. Kita tidak tahu bagaimana keadaan pikirannya.

 

Saya selalu berharap semoga semua K-er dalam keadaaan damai sejahtera dan dalam limpahan kasih Tuhan. Tetapi kita harus juga ingat, MUNGKIN Kompasiana adalah satu-satunya tempat bagi seorang K-er untuk melepas kelelahan pikiran atau mengisi kerinduan untuk berinteraksi dengan yg lain. MUNGKIN Kompasiana adalah satu-satunya dunia yg bisa dia jangkau, karena suatu alasan.

 

Untuk apa harus bersikap lebih berkuasa dari yg lain?

Toh kita semua sama di sini, tidak ada yg bayar. Jadi untuk apa bersikap seolah-olah orang lain itu anak buah yg bisa diperlakukan dg kasar.

Kita di sini tidak punya hak untuk memperlakukan orang lain seperti pembantu atau karyawan kita. Kita tidak memberi gaji dia, atau memelihara hidupnya. Kita tidak menjamin masa depannya. Kita tidak ikut menyelesaikan masalah hidupnya.

 

Lalu kenapa saya menulis semua ini?

Karena kejadian seperti yg baru lalu menimbulkan rasa shock dan suasana yg diliputi kesedihan. Walaupun masing-masing individu mungkin kadar kesedihan lain. Juga karena saya berharap adanya perubahan. Perubahan sikap dari K-er terhadap sesama. Saya berharap bahwa kejadian yg baru lalu tak akan terulang lagi. Saya berharap khususnya untuk mereka yg mempunya “jabatan” atau “yg berkuasa” supaya setiap masalah diusahakan diselesaikan dengan cara dewasa dan win win solution.

 

Semoga kejadian yg baru lalu menjadi pelajaran dan renungan untuk kita semua, supaya kedepan kita akan menjadi lebih baik, dan suasana di Kompasiana lebih ramah dan positip. Saling menguatkan, mendukung dan bukan menjatuhkan. Lebih indah membangun dari pada merobohkan. SEMOGA

 

Salam damai selalu...

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun