Aku tersenyum dibuatnya. Sumiati bercerita tentang anaknya. Bicaranya tidak terlalu jelas. Ada beberapa kata yang tidak kumengerti. Di tengah-tengah bercerita, kolam bening Sumiati meledak, mengalir deras bak air hujan. Aku menatap Sumiati dalam hati iba. Perjalanan hidupnya sungguh pahit. Bagaimana tidak? Setelah ia ditinggal suaminya, Kang Parjo tewas dalam perjalanan mencari nafkah. Tak lama dari itu, anaknya putus sekolah dan menyusul Kang Parjo ke surga keabadian.
Uang SPP 5 bulan tidak mampu Sumiati bayar, sehingga mau tidak mau Irman harus keluar. Beruntunglah Irman anak yang baik. Ia mampu memahami keadaan Ibunya. Ia juga tidak berontak seperti anak pada seusianya. Irman ikhlas menerima semua itu. Karena ia tidak ingin membuat Ibunya pusing dan sedih memikirkannya, katanya suatu hari ketika kami mengobrol kecil di bawah pohon cersen yang rimbun itu.
Dua bulan lebih dua minggu kira-kira. Ketika kau hendak mencari batu di sungai. Di sana terlihat Irman tengah memandikan kambing-kambingnya. Sepanjang kami di sana, tak lelah kami bercerita hingga terdengar tawa kecil kami yang membuat perut terasa kaku. Tapi sayang, Ibu memanggilku, dan aku pun ikut pulang bersama Ibu. Sedang Irman masih di sungai bersama kambing-kambingnya.
Suara guntur di langit terdengar bertalu-talu. Cahaya kilat dari sudut-sudut langit saling berpacu. Awan menggumpal dari ujung timur hingga barat. Suasana berubah gelap padahal hari masih terlalu siang. Mungkin akan datang hujan, pikirnya waktu itu.
Benar. Air hujan mulai menetes sebutir-butir membasahi bumi. Irman masih ada di sungai tengah mandi setelah bergulat memandikan kambing-kambingnya. Tapi dasar anak seusianya. Ia tidak meghiraukan hujan. Justru ia begitu senang dan menikmati dengan menyibak-nyibak air sembari bernyanyi dolanan --Jamuran.
Irman terlena. Hujan hari itu semakin deras sehingga membuat arus air sungai berubah kecoklatan dan banjir. Kambing milik Irman terbawa banjir. Dengan segera ia berlari mengejar kambing itu. Kambing Irman tak lagi terlihat. Bulunya sama dengan air sunga waktu itu. Irman gelagapan. Ia berteriak minta tolong tapi tidak ada sepasang telinga yang mendengar.Â
Pasalnya letak sungai itu jauhdari perumahan warga. Selang satu jam setelah itu, Irman ditemukan warga dalam kondisi terbujur kaku. Tidak lagi bernyawa. Jenazahnya di bawa ke rumah dan dikuburkan secara islami.
Lagi-lagi hati Sumiati tergoncang. Suaminya meninggal karena air. Begitupula dengan anaknya. Semenjak hari itu, Sumiati sangat membenci yang namanya air. Air adalah malapetaka, celetuknya suatu hari.
***
"Man... Man! Emak mau jalan-jalan. Antarkan Emak!" teriak Sumiati sembari menggaruk-garukkan kepalanya botak.
Tidak ada jawaban.