"Hancurlah kita! Air laut masuk. Matilah riwayatku!"
Semua mulut terbuka. Ramainya waktu itu layaknya Perang Dunia Ketiga. Ketakutan menjadi satu. Hari itu nyawa adalah taruhan. Kang Parjo mencoba mengambil baju pelampung di bawah tempat ia duduk. Ia berusaha meraih, tapi terlambat. Seseorang terlebih dulu mengambilnya. Padahal mereka sudah memiliki jatah masing-masing.Â
Mungkin karena panik, jadi mereka asal mengambil untuk menyelamatkan diri. Menit ketiga, awak kapal sudah tak terlihat. Kapal beserta isinya hanyut di dasar laut. Tidak ada lagi bunyi maupun teriakan penumpang. Mereka bagaikan semut yang tenggelam dalam semangkuk bakso. Habis sudah nasib Kang Parjo. Hanyut bersama air laut yang asin.Â
Sudah tak bernyawa. Tubuhnya hilang. Entah dibawa arus laut atau dimakan penghuni laut. Yang pasti jenazah Kang Parjo tidak berhasil ditemukan oleh TNI, Polri, dan Tim SAR.
Berita duka itu, langsung terdengar telinga tua Sumiati. Ia tidak percaya. Berat memang ditinggalkan separuh nyawa dalam suatu kehidupan. Ia harus beralih menjadi punggung keluarga demi anaknya. Semenjak kejadian itulah, setiap pagi ia keliling kampung untuk menjajankan kue basah. Sorenya mengantarkan cucian kering para tetangga. Dan, terkadang malamnya ia masih melayani jasa menjahit. Padahal raganya sudah mengamuk minta istirahat, tapi Sumiati masih dapat menghalaunya. Berat sekali hidup Sumiati. Begitupula dengan anaknya terpaksa putus sekolah karena tidak mampu melunasi uang SPP setiap bulannya.
***
Sinar matahari merambat pelan dari sela ranting pohon cersen yang rimbun tertutup daun. Cahayanya indah membentuk garis tatkala tepat di depan mulut rumah Sumiati.Â
Seperti hari sebelumnya, setiap kali aku pulang dari kampus. Sumiati duduk seorang diri di teras rumahnya yang berdebu. Daun-daun kering bercengkerama menemani balutan sepi suatu kehidupan. Tatapannya dalam, namun kosong. Sumiati semakin hari makin tidak terurus saja. Tubuhnya kecil terlihat semakin kecil dan kurus dimakan waktu.
Dengan baju penuh bercak getah, ia hanyut. Kusam, lusuh, dan kucel baju itu sedikit terbuka sehingga terlihat dada datar Sumiati bergelombang. Tulang-tulang rusuknya seakan-akan ingin keluar terbebas dari tubuhnya.Â
Rambut yang dulu anggun panjang terurai sepantat itu, kini seperti bulu kucing: putih-kecoklatan dan rontok tatkala terkena sentuhan gigi-gigi sisir. Satu per satu rambutnya berjatuhan dengan sendirinya.
"Man, Emak lapar. Ambilkan makanan!" kata Sumiati suatu ketika.