Begitu membaca buku berjudul Guru dalam Proses Belajar Mengajar karya Muhammad Ali, kita diajak untuk menganalisis proses belajar mengajar, khususnya dalam pendidikan formal (sekolah), yakni bagaimana guru melakukan proses belajar yang efektif yang dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan belajar. Menurut William H Burton, mengajar adalah upaya dalam memberi perangsang (stimulus), bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar (Chauhan, 1977:4).Â
Pendapat tersebut, menyadarkan kita jika dalam artiannya mengajar itu tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga merangsang siswa agar mau belajar. Guru bertindak sebagai director & facilitator of learning---pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar. Namun, yang namanya belajar tidak semudah yang kita bayangkan. Karena ada faktor-faktor yang memengaruhi proses belajar untuk menghasilkan belajar yang lebih matang.Â
Pertama, kesiapan (readiness), yaitu kapasitas baik fisik maupun mental untuk melakukan sesuatu. Kedua, motivasi, yaitu dorongan dari dalam diri sendiri untuk melakukan sesuatu. Dan ketiga, tujuan yang ingin dicapai. Dan, ketiga faktor di atas dibutuhkan suatu proses perubahan perilaku individu yang mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan lainnya.
Menurut Kimble & Garmezy, perubahan perilaku belajar bersifat permanen. Karena itu dibutuhkan adanya kemampuan melakukan sesuatu secara berulang dengan hasil yang sama. Sedang menurut psikologis, teori belajar sendiri karena adanya proses mengamati, mengingat, menanggapi, menghayal, dan berfikir.Â
Tujuanya untuk meningkatkan kemampuan melalui latihan yang berulang sesuai perkembangannya. Secara umum, teori ini menekankan pada pencapaian disiplin mental melalui proses berfikir. Seperti mata pelajaran matematika yang banyak menyajikan soal yang sulit sehingga mengajak siswa untuk berfikir.
Sementara itu, sebagai kelangsungan belajar mengajar dibutuhkan yang namanya pendekatan, yaitu sistem atau kerangka yang dapat diterapkan dalam bidang pengajaran. Komponen pengajaran sendiri meliputi atas: bahan, metode, alat, alokasi waktu, dan evaluasi pengajaran. Dari beberapa komponen itu saling berinteraksi dan berhubungan bersama-sama untuk mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan.
Guru dalam Mengajar
Efektifitas proses belajar mengajar, selanjutnya didukung oleh desain sistem instruksional, yakni sebagai pola perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi sistem pengajaran, dan desain instruksional dengan memperhatikan perbedaan individual siswa. Ditinjau dari jenjang tingkatannya, desin sistem instruksional diterapkan dalam ruang lingkup luas (level kurikulum), ruang lingkup sempit (level bidang studi), dan ruang lingkup terbatas (level pengajaran).Â
Untuk kepentingan guru dalam pengajaran, desain tersebut sebatas pada penyutingan level pengajaran berdasarkan level kurikulum secara keseluruhan. Guru hendaknya mengembangkan sistem pengajaran dengan berpedoman pada model pengembangan sistem instruksional, seperti Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
Secara umum, PSSI merupakan prosedur sistematis dalam pengembangan suatu pembelajaran. Model pengajaran ini dapat membantu seseorang baik dalam merencanakan, mengembangkan, dan mengevaluasi suatu sistem instruksional. Beberapa langkah PSSI di antaranya merumuskan tujuan instruksional, pengembangan alat evaluasi, merumuskan kegiatan belajar, merencanakan program kegiatan, dan pelaksanaan program. Pertama, seperti yang dikatakan Bloom dalam The Taxonomy of Educational Objective, tujuan pendidikan diklarifikasikan atas: domain kognitif (pengetahuan), domain afektif (sikap), dan domain psikomotor (keterampilan).Â
Secara umum, tujuan pengajaran yang diharapkan guru harus memenuhi klarifikasi tersebut, sebab guru mengajar tidak saja paham dan menguasai kognitif (pengetahuan), melainkan guru juga mumpuni hal-hal yang berkenaan terhadap berlangsungnya belajar mengajar, yakni sikap dan keterampilan dalam pengajaran. Di satu sisi, guru mengajar tidak hanya mendidik tapi juga membimbing. Artinya mengajarkan cara bersikap dan bertindak yang benar secara umum, dan baik secara sosial.
Kedua, pengembangan alat evaluasi, berfungsi untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Evaluasi juga sebagai catu balik (feed back) bagi guru. Karenanya, penyusunan dilakukan setelah perumusan tujuan yang dilakukan setiap akhir pelajaran. Ketiga, menentukan kegiatan belajar, guru menetapkan kegiatan belajar yang efektif dan efisien, bisa di dalam kelas maupun di luar kelas. Keempat, merencanakan program kegiatan.Â
Guru dalam pengajaran harus memikirkan materi dan metode yang digunakan. Selain itu, alat bantu pengajaran dan alokasi waktu juga harus dipertimbangkan, sehingga program perencanaan pembelajaran dapat terlaksana hingga sampai tujuan pengajaran. Kelima, pelaksanaan program. Yaitu tes awal (pre-test), proses, dan tes akhir (post-test).
Setiap guru memiliki cara sendiri dalam mengajar, seperti gaya mengajar klasik, teknologis, personalisasi, dan interaksional. Gaya mengajar tersebut mencerminkan cara pelaksanakan pengajaran sesuai pandangannya. Sebagai landasan, guru berpedoman pada kurikulum dan teori belajar. Dalam proses mengajar, akan terjadi yang disebut interaksi, yaitu hubungan timbal-balik antarguru dan siswa.Â
Menurut Muhammad Ali (2000:65), model mengajar guru tergantung kepada falsafah yang dipegang oleh guru. Berdasarkan falsafah pendidikan itu, guru dapat mencari bentuk penerapannya, baik bersifat kurikuler. Harapkannya guru di sini memiliki pegangan filosofis gaya mengajar bervariasi. Tujuannya untuk menemukan gaya mengajar yang cocok untuk dapat membantu siswa belajar.
Kemudian, barulah setelah gaya dan tujuan pengajaran bersinergis, penerapan kurikulum dan psikologis pengajaran pun dilaksanakan. Penerapan kurikulum berkaitan dengan bahan yang diajarkan, peranan guru, siswa, sumber belajar dan proses pengajaran. Sedangkan psikologi berkenaan tentang teori belajar yang dipegang, motivasi, pengelolaan kelas, dan evaluasi haisl belajar.Â
Kemampuan guru dalam mengolah gaya mengajar tergantung pada sikap mental dan upaya guru sendiri. Di samping itu perlunya konservatifisme guru (berpegang pada satu gaya tertentu) dan kreativitas (selalu mencari bentuk gaya mengajar) dapat berdampak belajar lebih efektif dan efisien.
Aplikasi Mengajar
Seperti yang sudah dijelaskan di awal, bahwa mengajar merupakan serangkaian peristiwa yang dirancang oleh guru untuk memberi dorongan kepada siswa untuk belajar. Dampak dari dorongan belajar yang diterima siswa bersifat individual sesuai kemampuan siswa, tetapi secara nyata proses belajar dilakukan secara kelompok. Karenalah, strategi belajar mengajar yang dapat mengaktifkan siswa belajar kelompok adalah konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif---Student Active Learning). Hakikatnya, CBSA diterapkan krtika guru dalam keadaana aktif mengajar dan siswa aktif belajar. Konsep CBSA bersumber dari kurikulum dengan berpusat pada anak menekankan pentingnya belajar melalui proses pemahaman  atau insight (teori gestalt).
Kurikulum yang berpusat pada anak tersebut seakan-akan siswa sendiri membuat perencanaan, menentukan bahan pelajaran dan corak proses belajar yang diinginkan. Guru hanya bertindak sebagai koordinator saja. Berdasarkan teori Gestalt (insightful learning theory), belajar merupakan hasil dari proses internal; antara individu dengan lingkungan sekitar. Belajar sebagai suatu usaha merespon suatu stimulus. Adapun guna menunjang kegiatan belajar di butuhkan syarat, seperti mengalami, mengerjakan, dan memahami melalui proses belajar.Â
Sederhanya, hasil belajar dapat diperoleh apabila siswa bersifat aktif, bukan pasif dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki setiap individual. Sedangkan fungsi guru adalah pemberi perangsang atau motivasi agar siswa mau melakukan kegiatan belajar, mengarahkan seluruh kegiatan belajar kepada suatu tujuan tertentu, dan memberi dorongan agar siswa melakukan kegiatan sesuai kemampuan individu untuk mencapai tujuan.Â
Tindakan lain, guru menciptakan upaya bagaimana bentuk pengajaran yang mengaktifkan kegiatan baik oleh guru maupun siswa. Guru mengajar mencerminkan strategi pengajaran, sedangkan siswa menggunakan isi khasanah pengetahuan dalam memecahkan masalah, menyatakan gagasan, menyusun rencana satuan pelajaran.Â
Kembali pada konsep CBSA memiliki ciri-ciri, di antaranya (i) adanya keterlibatan siswa dalam menyusun atau membuat perencanaan, (ii) proses belajar mengajar dan evaluasi, (iii) keterlibatan intelektual-emosional siswa melalui kegiatan mengalami, menganalisia, berbuat dan pembentukan sikap, (iv) adanya keikutsertaan siswa dalam menciptakan situasi yang cocok untuk mengajar, (v) guru sebagai fasilitator dan koordinator, (vi) dan menggunakan metode pengajaran bervariasi, alat serta bahannya.
Ragam metode CBSA yang dikembangkan oleh Robert Glaser, jika mengajar mempunyai tujuan melalui kegiatan belajar maupun isi pengajaran berupa perkenalan  pelajaran sebelum terjadi proses belajar mengajar (Entry Behavior) yang akan diberikan sampai sejauh mana penguasaan siswa terhadap bahan yang diajarkan. Yakni apakah siswa menguasai bahan pelajaran yang diberikan guru atau sampai sejauh mana siswa menguasai materi yang diajarkan.Â
Setelah tahap pengenalan ini, barulah beranjak pada strategi pengajaran, meliputi metode dan kegiatan yang dilakukan, alat atau media yang digunakan, dan alokasi proses belajar berlangsung. Langkah terakhir adalah melaksanakan evaluasi atau penilaian terhadap proses belajar. Tujuan, pengenalan siswa maupun prosedur pengajaran ini adalah sebagai catu balik yang sangat penting. Sebab, penempuhan konsep CBSA digambarkan penerapan secara umum berdasarkan pandangan umum kita tentang rangkaian peristiwa proses belajar.
Menurut Gagne dan Briggs (1979:154-155), menggambarkan rangkaian peristiwa proses belajar, sebagai berikut: Pertama, attention (perhatian), yaitu besarnya penerimaan detaganya rangsangan. Kedua, selective perception, yaitu mengubah rangsangan menjadi gambaran objek benda untuk disimpan dalam ingatan jangka pendek. Ketiga, rehearsal, yaitu memelihara dan memperbaruhi apa yang tersimpan dalam ingatan jangka pendek.Â
Keempat, semantic encoding, yaitu proses mempersiapkan penyimpanan informasi jangka pendek. Kelima, retrieval, yaitu mengembalikan informasi tersimpan kepada pembangkit respons termasuk dalam proses mencari. Keenam, response organization, yaitu memilih dan mengorganisasi penampilan. Ketujuh, yaitu peristiwa eksternal yang tersusun dalam penggerakan proses reinforcemen (penguat), dan kedelapan, excutive control, yaitu memilih dan mengaktifkan strategi kognitif. Beberapa rangkaian peristiwa tersebut tidak selalu runtut. Namun sebagai pengajar kita wajib memunculkan peristiwa-peristiwa tersebut.
CBSA, konsep belajar kelompok ini kita mengenal Entry Behavior, yaitu tingkat kemampuan siswa terhadap pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki, yang lebih rendah dari apa yag akan dipelajari. Siswaa kan memiliki kemampuan baik bila telah memiliki kemampuan yang lebih rendah daripada bidang yang sama.Â
Sehingga pada dasarnya entry behavior ini berkenaan tentang bagaimana keadaan pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki terlebih dahulu oleh siswa sbelum mempelajari keterampilan baru. Kemampuan siswa bersifat individual yang hampir mirip dengan readiness (kesiapan) individual. Contohnya, kesiapan membaca, menunjukkan kepada performans yang sudah dimiliki sebelum memulai membaca.
Dalam pengertian umum, readiness sering diartikan dengan maturation (kematangan), yaitu keadaan di mana individu melakukan konsentrasi untuk belajar melakukan sesuatu. Artinya setiap individu dianggap peka melakukan proses belajar kemampuan tertentu tidak sama, karena tergantung pengaruh lingkungan sekitar. Maturation berfungsi sebagai proses pertumbuhan baik fisik maupun mental, sedangkan readiness merupakan hasil daripada maturation dan latihan pengajaran, berarti individu dipandang siap melakukan sesuatu bila sudah matang dan pengalaman tertentu sebagai landasan melakukan perbuatan.
Pengenalan dari entry behavior dilakukan melalui wawancara atau test, dengan mengetahui tingkat kemampuan awal siswa. Selain itu, juga dilakukan melalui analisis instruksionalyag dibuat hirari tingkat kemampuan atau penguasaan bahan. Pengajaran entry behavior ini ketika dilakukan secara individual sangat mudah diidentifikasi.Â
Berbeda dengan kelompok. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan mengidentifikasi kemampuan awal secara pukul rata berdasarkan hasil tes yang dilakukan. Sebagai pendekatan kelompok tersebut, ada beberapa metode yang dianggap ampuh untuk segala keadaan. Metode ini dapat dilakukan secara variasi ataupun berdiri sendiri. Beberapa metode yang dimaksudkan adalah metode kuliah (ceramah), metode diskusi, metode simulasi, metode demonstrasi atau eksperimen, dan metode inquiry dan discovery.
Aplikasi proses belajar mengajar tidak akan berlangsung lancar tanpa ada media pengajaran yang tepat. Media yang dimaksudkan adalah perangkat yang digunakan sebagai penunjang pengajaran sehingga dapat menunjang efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Menurut Gagne dan Briggs (1979), media itu penting sebagai alat merangsang proses belajar.Â
Pengajaran menggunakan media tidak haya sekadar kata-kata (simbol verbal), tetapi pengalaman yang lebih konkrit. Dale menambahkan, pengalaman konkrit ini lebih paling tinggi di antara keduabelas tingkatan, sehingga ia membuat klasifikasi dengan menggambarkan dalam bentuk kerucut yang diberi nama "kerucut pengalaman atau the cone of experiences."
Media pengajaran yang beragam dapat memberikan bantuan besar bagi siswa. Namun, juga diperlukan peran guru dalam menentukan terhadap efektivitas penggunaan media sesuai situasi dan kondisi. Brets berpendapt ragam media pengajaran dapa diklasifikasikanmenjadi tiga, yaitu suara (audio), bentuk (visual), dan gerak (motion).Â
Kemudian Brets membuat delapan kelompok media. Pertama, media audio-motion-visual, yaitu media yang memiliki suara, gerakan dan bentuk objeknya dapat dilihat. Misalnya televisi dan video tape. Kedua, media audio-still-visual, yaitu mendia yang mempuyai suara, objeknya dapat dilihat, namun tidak bergerak. Misalnya, film-strip bersuara. Ketiga, media audio-semi-motion, yaitu media yang mempunyai suara dan gerakan, namun tidak dapat menampilkan gerakan secara utuh. Misalnya, tele-writing. Keempat, media motion-visual, yaitu media yang mempunyai gambar objek bergerak, seperti film. Kelima, media still-visual, yaitu berobjek namun tidak bergerak, seperti film-strio, microform, dan lainya. Keenam, media semi-motion (semi gerak), yaitu media menggunakan garis dan tulisan, seperti tele-autogrof. Ketujuh, media audio, yaitu media menggunakan suara, seperti radio, dan kedelapan, media cetakan, yaitu media yang menampilkan simbol-simbol tertentu, yaitu huruf.
Media pengajaran memang banyak dan bervariasi, namun sebagai guru harus mampu memilih media pengajaran yang tepat dengan mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari kegunaannya, fleksibilitas, keefektifan dengan media lain, dan sebagainya. Berbagai pertimbangan guna menunjang proses belajar mengajar ini, juga memperhatikan soal waktu. Karena sering kali dijumpai pengajar tidak mampu mengendalikan waktu. Terkadang, waktu masih panjang tapi bahan pelajaran sudah habis, begitupula sebaliknya. Untuk itulah, diperlukan perencanaan yang cermat, dengan memperhitungkan: seberapa tujuan akan dicapai, seberapa lama entry behavior membutuhkan waktu, berapa lama waktu yag diperlukan, berapa lama kegiatan evaluasi,dan lain sebagainya.
Di samping itu, agar strategi efektif CBSA dapat mengembangakan proses belajar siswa mencapai tarif penguasaan penuh (mastery), harus diterapkan konsep Mastery Learning (belajar tuntas). Belajar ini berkenaan suatu gagasan bahwa siswa dapat menguasai apa yang diajarkan di sekolah dengan menggunakan tolak ukur taraf "penguasaan penuh atau mastery" dan bagaimana praktek pengajaran yang "sistematis".Â
Kesistematisan pengajaran tercermin dari strategi pengajaran yang ditempuh. Baik dalam penggunaan test formatif dan cara memberikan bantuan kepada siswa yanga gagal mencapai tujuan. Tujuannya untuk menentukan di mana setiap siswa memperolehbantuan dalam mencapai tujuan pengajaran. Test itu disebut diagnostic progress test.Â
Test tersebut menggunakan acuan patokan (Penilaian Acuan Patokan---PAP). Yaitu guru dapat mengetahui siswa mampu mencapai patokan nilai atau gagal. Bahkan guru dapat menetapkan letak kegagalan siswa atas dasar penguasaan bahan pelajaran minimal sesuai patokan yang ditetapkan. Standard patokan dari penguasaan penuh biasanya tinggi antara 75% atau 80%-90%. Nemun, perlu diketahui belajar tuntas tidak menuntut perubahan secara besar-besaran, baik dalam kurikulum ataupun pelajaran. Tetapi, lebih pada mengubah strategi guru, sehingga perhatian guru tidak lagi bertumpu pada waktu yang dibutuhkan tetapi pada penguasaan siswa terhadap bahan yang dipelajari secara penuh.
Strategi belajar tuntas ini sangat memperhatikan terhadap perbedaan individual. Sistem penyampaian pengajaran dilakukan ke arah belajar secara individual. Bloom menjelaskan adapun ciri-ciri belajar tuntas adalah (i) dalam kondisi belajar optimal, sebagian besar siswa dapat menguasai secara tuntas apa yang diajarkan, (ii) tugas pengajar perlu mecari sarana yang memungkinkan siswa menguasai secara tuntas suatu bidang studi, (iii) perbedaan bakat suatu bidang sesuai jumlah waktu yang diperlukan untuk menguasai secara tuntas, (iv) jika waktu cukup, siswa akan mencapai tingkat belajar tuntas, (v) setiap siswa harus mengalami sifat tugas yang dipelajari dan prosedur yang diikuti dalam belajar, (vi) guru menyediakan dan memberikan catu balik dan perbaikan bagi kesalahan atau kesulitan belajar siswa, (vii) guru mencari berbagai cara untuk memperoleh waktu untuk belajar siswa, (viii) proses belajar sebaiknya dipecah menjadiunit-unit kecil, dan memberikan test di akhir pelajaran, (ix) penilaian akhir harus didasarkan tingkat penguasaan yag dinyatakan dalam tujuan instruksional bidang studi, dan lain sebagainya.
Menurut Bloom, strategi belajar tuntas dipergunakan ajaran kelompok dengan waktu yang relatif terbatas, meskipun diterapkan dalam situasi belajar individual. Sistem pengajaran yang digunakan adalah feed back atau corrective technique, yaitu program remidial, dan memberikan tambahan waktu kepada siswa yang membutuhkan.Â
Selanjutnya, langkah-langkah strategi yang dilakukan adalah menentukanunit pelajaran, merumuskan tujuan pengajaran, menentukan standard mastery, menyusun diagnostik progress test formatif, mempersiapkan seperangkat tugas untuk dipelajari, mempersiapkan seperangkat pengajaran korektif, pelaksanaan pelajaran biasa, dan evaluasi sumatif.
Berdasarkan  penelitian yang dilakukan James Block (1971, 1972), strategi tersebut sangat efektif, dapat membangkitkan minat siswa belajar dan bersikap positif terhadap pengajaran. Di samping itu, dapat mempertinggi kepercayaan siswa terhadap kemampuannya untuk belajar melalui pendekatan belajar tuntas. Tahap akhir dari proses belajar mengajar adalah tahap evaluasi atau penilaian. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah tujuanyag dirumuskan dapat tercapai. Selain itu, sebagai dasar umpan balik (feed back) dari proses belajar mengajar yang dilakukan. Di sini guru menyusun alat dan melaksanakan evaluasi belajar mengajar secara keseluruhan. Manfaat yang diperoleh evaluasi ditinjau dari pelaksanaannya, adalah: evaluasi formatif, yaitu evaluasi yanag dilaksanakan setiap kali selesai pelajaran suatu unit pelajaran tertentu. Evaluasi sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan setiap akhir pengajaran suatu program atau sejumlah unit pelajaran tertentu. Evaluasi diagnostik, yaitu evaluasi yang dilaksanakan sebagai sarana diagnose untuk mencari sebab kegagalan pengajaran atau mengetahui kelemahan siswa dalam mempelajari suatu peajaran tertentu. Dan, evaluasi penempatan, yaitu evaluasi untuk menempatkan siswa pada suatu program pendidikan atau jurusan yang sesuai kemampuan dan minatnya.
Selanjutnya, untuk menentukan tingkat keberhasilan dalam melakukan evaluasi digunakan acuan (referrence), yaitu acuan norma dan acuan patokan. Penilaian Acuan Norma (PAN) adalah penilaian yang menggunakan norma keberhasilan kelompok sebagai batu ukuran. Sedangkan, Penilaian Acuan Patokan (PAP) adalah penilaian yang menggunakan suatu patokan (kriteria) sebagai dasar penentuan tingkat keberhasilan dalam evaluasi. Dalam penilaian acuan norma, keadaan hasil kelompok dijadikanukuran menentukan hasil evaluasi. Artinya, berhasil atau tidaknya siswa ditentukan berdasarkan keadaan keberhasilan kelompoknya. Berbeda penilaian acuan patokan, yaitu dengan menggunakan standar yang bersifat mutlak. Keberhasilan pada penilaian ini dilihat dengan membandingkan dengan patokan itu. Tujuan PAP adalah untuk meneliti secara pasti tujuan atau kompetensi yang diterapkan sebagai kriteria keberhasilan. Hal ini diterapkan untuk meningkatkan kualitas belajar siswa dalam mencapai standar yang ditentukan.
Proses dari evaluasi yang dilakukan tersebut, melewati beberapa teknik yang dapat menyebutkan bahwa hasil belajar siswa selama itu. Yaitu teknik tes dan bukan tes. Teknik tes ini biasanya berupa tes lisan, tes perbuatan atau tindakan, dan tes tertulis. Tes lisan dilakukan secara lisan, tujuannya untuk: menilai kemampuan dalam memecahkan masalah, menilai proses berpikir, terutama kemampuan melihat hubungan sebab-akibat, Â menilai kemampuan menggunakan bahasa lisan, dan menilai kemampuan mempertanggungjawabkan suatu pendapat atau konsep yang dikemukakan. Biasanya hal yang perlu disiapkan, seperti pedoman pertanyaan dan penilaian. Tes perbuatan dilakukan dengan menjawab menggunakan perbuatan atau tindakan. Manfaatnya dapat mentest kemampuan melakukan suatu perbuatan berdasarkan petunjuk atau teori tertentu, dapat mentest kemampuan yang sudah dilakukan secara verbalisasi (kata-kata), dan siswa mampu akan menyadari kemampuannya, sehingga menimbulkan motivasi. Biasanya dalam tes ini menggunakan alat, seperti alat tugas yang harus diselesaikan, bahan serta alat yang diperlukan, dan lembaran pengamatan untuk mengamati kegiatan selama menyelesaikan tugas. Dan terakhir, tes tertulis dilakukan secara tertulis baik jawaban maupun pertanyaan.Sementara teknik bukan tes, biasanya pelaksanaannya menggunakan seperti wawancara, pengamatan, skala penilaian, dan daftar cek. Secara umum kedua teknik tersebut mempunyai manfaat dan kegunaan masing-masing.
Nah, itulah bagaimana seorang guru saat melakukan proses belajar mengajar. Ternyata dibutuhkantahapan yang sangat padat guna membangkitkan dan menumbuhkan keberhasilan pendidikan di Indonesia. Karena guru sejatinya, tidak sekadar menguasai kompetensi, tetapi juga ahli dan mampu mengoperasikan media juga metode pengajaran yang beragam agar proses pembelajaran terasa nyaman dan tidak membosankan.
Suci Ayu Latifah, mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo, sekaligus Koordinator Sekolah Literasi Gratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H