"Mas sampeyan kepriye, matahari besuk tentu terbit, kan belum kiamat...ono-ono wae Mas!"
"Bapak bercanda yaa? Tapi ngomong-ngomong bulan terlambat yaa Bapak, belum nampak!"
Kata mbahku lagi, Jika dibelit masalah, kadang mata tak bisa membedakan, mana yang gelap, mana yang terang, mana pula ditutupi dengan tertutupi
Si Bapak memalingkan muka dengan membawa senyum, sementara aku mengikis keraguan seisis kepalaku.
Apa enaknya pindah ke pojok beteng sana yaa? Barangkali ada cerita bisu yang menelusuri rasa lelahku menghadapi kenyataan yang terasa lama jika sendiri seorang diri. Apa begitu yaa?
"Aneh?"
"Apanya yang aneh, Mas?"
("Jahe siji, Pak-ee!") teriak seorang muda di dorongan. Si Bapak menghampiri dan melayani. Lama Si Bapak tidak balik-balik padaku, entah apa yang mereka bincangkan aku tak mendengarnya. Pula wajah seorang muda tersebut, agaknya langganan Si Bapak hingga terkesan akrab dan dekat. Sekali lagi aku tegaskan, aku ingin tahu si apa dia, dari postur tubuhnya...temaram, lampu teplok kalah gelap dari keterbatasan sinar mataku yang memang lagi sayu.
"Aneh!" Lagi aku berguman. Aneh Karena memang berbeda.
 "Mas rene wae, ngobrol-ngobrol di sini!"
Anggukan aku isyaratkan. Seolah merangkak, aku berjalan searah. Kutengok pekat malam, kurogoh saku celanaku memastikan seberapa larut sekarang, berapa lama telah aku habiskan sisa waktuku di sini. di sini yang aku maksudkan aku tidak bicarakan soal anak mami, di sini diriku sendiri yang harus kenali, bukanlah siapa-siapa.