"Ngelamun too, ati-ati setan lewat!"
"Enggak Pak!" Aku mengelak. Kataku, aku cuman terkesima dengan kesibukan kota. Banyak yang orang kerjakan, suara-suara dirantau -- sekali lagi -- tak sanggup aku terjemahkan, kecuali kabut-kabut asap tipis menyergap kejernihan berpikir dan bertindak.
Si Bapak membuang muka, tak menjawab. Aku membuka tangan saja lebar-lebar. Samalah mungkin dimaksudkan, sama ingin mengusung harapan, hanya saja dalam bentuk berbeda, dalam entitas dan jumlah yang tidak sama, tapi aku yakin dalam keyakinan yang sama.
"Jika Senin gak terbit, harus ngutang nih!"
Beralaskan tikar di trotoar aku memepetkan punggung beserta bahu pada bahu tembok. Sementara, sementara Si Bapak Angkringan...aku tak begitu yakin dengan penglihatanku, pikiranku kosong dan pandanganku mengabur.
Satu dua hari mungkin untuk sementara aku bisa pindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Ikut nebeng, lumayan ngurangin jatah makan sekaligus nambah gizi sambil terus berharap kiriman datang ada lebihnya.
Atau, atau gadein motor butut ini...sayang, aku mungkin aku menangis dan menyesal jika terpaksa menggadaikannya. Emang banget wong sini bilang "Jer Basuki Mowo Bea" Â - Â kira-kira begitulah peribahasa tepat aku mendapatkannya, dua tahun aku sisihkan dari nulisku di majalah, jika mengharapakan kiriman pensiunan bokap...tidak berharap!!!
Angin yang menggoda, kuhirup panjang-panjang udara. Mulut mulai kecut lagi minta smoke. Asam banget, tapi jika aku paksain sama aja mempercepat kesengsaraanku, sama aja bunuh diri!
"Aaahhhhhhhhhhh!"
"Mas, ada apa? Cerita sama Bapak sini, Bapak juga pernah muda. Soal cewek too Mas, Bapak hanya bisa wanti-wanti untuk berhati-hati aja...eling lan waspodo!"
Aku senyum tipis dan refleks "Besuk harus terbit!" nerocos aja terlontar separtan, kira-kira lebih cepat dari waktuku untuk berpikir.