"Hoooppp!" pasang jangkar, lepas kemudi, aku mendarat. Aku tanahkan kembali kaki, mata mencari-cari saat untuk ambil sikap. Dan sikap diam aku pilih, menyudut dan pesan jahe anget -- menghangatkan tubuh, sekaligus menetralisir hawa pekat di ubun-ubun.
Hawa murni lebih tepatnya, mengalir sejuk dari ubun-ubun turun menyebar menyapa segenap denyut nadi. Akan terasa tenang, kontan sesaat lelah dan cemas berharap tergantungkan dengan harapan baru...tentu saja!
Harapan, begitulah menyambungku. Harapan pula bakal menataku, membawaku berkembang sekaligus bertahan, dan mungkin mengambil posisi ideal puncak tertinggi.
"Rame, Pak?"
"Malam Minggu Mas! Giliran restoran sing panen. Besuk-besuk, Senin Selasa pada nangkring di sini lagi. Duwit habis buat malam mingguanlah, akhir bulan kiriman belum datang, buat SPP kadang-kadang, KTP dititipin."
Ambil penalaran, logika aku pacu. Melambai di congor asap putih bergelombang memutar putih warnai hitam temaram, pikirku saat ini haruskah pulang sekarang? Haruskah? Sudah berjam lamanya perasaanku tak terdetik juga, di sini lama-lama kantongku akan makin cepat kering, kenapa?
Si Bapak tersenyum. Giginya menyeringai kelihatan kuning dan tak teratur. Dahinya mengerut lantaran apa aku sendiri tak tahu kontras dengan di bibir, yang pasti tentu saja  menyiratkan sebuah bahasa pesan yang pesan tersebut aku terjemahkan 'kita tak sedang sendiri dan takkan pernah sendiri!' itulah kenapa Si Bapak ada di sini dengan sering melangut dan melamun bila tidak digongin . Tentu saja selama itu SI Bapak mengobrol dengan dirinya sendiri, dengan angan dan imajinasinya sendiri, dalam pandangan harapan dan keinginannya sendiri...Si bapak punya sendiri.
Kembali dalam diam, tetapi suara-suara dirantau menyergap. Sebut saja deru mesin, pula teriak caci-maki kanan-kiri yang aku tak mengerti apa mereka perdebatkan. Hanya saja yang menjadi fokusku kala itu adalah suaraa alam, perantara angin terus memanggil dan memanggil memaksakan diri dan kehendak. Why?
"Ngak ngapel Mas?"
"Oh...!" terkejut, sontak lamunanku terjaga. Tak terasa pikiranku kosong selama ini, selama kira-kira terbakarnya setengah sebatang rokok. Kau lihat, tinggal filternya saja sejak seruputan terakhit tadi, untung setan nggak masuk ke alam pikiranku, apa jadinya? Rupa segala rupa sekelilingku penglihatanku...!
"Apa Pak?"