Mbah Har,
BAIT PERTAMA
Duduk bersandar...mengulum senyum. Aku bingung harus memulai dari mana. Tinta warna hitam di tangan kananku. Secarik carik kertas putih aku papah melalui kaki sebelah kananku. Yang aku tunggu untuk memulai adalah sesuatu yang belum pasti.
Terkadang, bahkan pada umumnya hujan akan selalu diawali dengan mendung. Perlahan dimulai dengan rinai gerimis. Tapi, terkadang pula tiba-tiba datangnya. Itulah sesuatu yang membuat sesuatu menjadi tidak pasti.
Yang sedang aku kerjakan saat ini adalah memacu adrenalinku untuk mengingat kembali. Dalam ketenangan dan kesunyiaan suasana, aku harus bisa membuat gerak gaduh memoriku yang terpendam. Memunculkan kembali hujan tanpa air membasahi tanah. Hanya bisikan embun membawa uap air di Kawah Ijen ini untuk kembali menjadi sebuah cerita.
Dalam titik pertama...hatiku tergetar. Apa yang salah dengan titik tulisan pertamaku? Kenapa aku kembali teringat sesuatu. Sesuatu ingatan merasukan getaran jantung dan seolah langkah kakinya kencang berjalan mendekat ke arahku. Amazing...
Sepertinya mendengar ada yang bersinergi bernyanyi. Rasaku menangkap penuh dengan dada yang lapang. Adalah aku ikut bernyanyi. Ke mana ini aku yakin membawaku, membawa melangkah. Dan dengan kesengajaan aku rogoh saku celanaku. Kutemukan dompet foto yang selama ini sembunyi di sisi ruang batinku. Segera mewujudkan pagi.
Aku munculkan foto itu untuk aku gugah dan unggah dalam tautan bahasa tulis ini. Sebagai symbol berlian yang tak using oleh waktu dan hujan itu sendiri.
&&&&&&
Dan kumengerti yang kucari...bertanya pada lubang hati. Kubuka mata dan terlihatlah dunia.
Baru kusadari ternyata hatiku berlubang. Lama kucari dan menanti di sini, menanti jawaban dari pertanyaanku pada lubang hati. Apakah itu?
Kucari sesuatu ini dengan terus melanjutkan perjalanan panjang. Dan kuyakin tak ingin aku berhenti sebelum kutemukan yang kucari.
Obat dimanakah obatnya?
Sambil menunggu jawaban lubang hati, aku lanjutkan ceritaku. Kenapa aku terdampar kembali di harmoninya Kawah Ijen. Selamanya jauh di sana aku memulai kisah yang tak banyak banyak di biaskan malam.
Bait pertama...aku tipe seorang yang simple dan praktis. Aku bukan seorang yang bertele-tele dan suka ambil bagian kusutnya. Jika semua bisa aku sederhanakan, why not!!!
Bicara sengaja ataupun tidak, segala sesuatu hadirnya pasti telah direncanakan. Tidak ada yang kebetulan, sekali lagi aku sederhanakan sudah diatur.
Lalu, siapa yang tidak kenal Kawah Ijen yang aku maksud? Sesuatu yang bisa menjadi sangat popular dan pembeda di mataku, bahkan hati dan jiwaku.
Duduk di sini di tepinya Kawah Ijen. Aku teringat nostalgia. Hatiku kembali diusik dengan namanya terbakar nostalgia.
Ada kawah dengan tingkat keasaman yang tertinggi dunia. Kawah yang mampu melumatkan kakiku untuk beranjak ke lain kawah.
Danau besar hijau kebiruan dengan kabut asap dan asap belerang. Membuat diriku merinding melihat dan menyaksikan dengan mata kepala dan mata hatiku jembar hatimu. Mempesona membuat rinduku sujud berlama-lama dalam terpaan sabar udara dingin alami tanpa dibuat buat dalam rentang hingga 10 derajat, bahkan lebih beku dari es.
Sepanjang mata memandang, sinarmu akan dirindukan. Bunga edelwis dan cemara gunung luruh hijau tangan terbuka membuka hati dan tangan bagi siapapun yang ingin bertutur sapa. Tak ada beda, bahwa semua sama. Tanpa kecuali luruh diantara semak dan belukar. Mataku akan dihijaukan betada teduh lagu yang dinyayikan, antara rumput dan padang rumpur safana membuatku begitu mencita.
Bertahap tiap langkah gemerincing, hatikupun tahu hamparan bunga pohon manisrejo berdaun kemerah-merahan. Gaya salammu yang bertutup sapa tipis manis terpampang dalam kabut asmara. Siapapun ingin memetik pipi kemerahanmu. Siapa yang bakal rela bila mimpinya bakal terbangunkan oleh kokok ayam, kecuali dia sedang goblok.
Yang maha dasyat, yang kau harus tahu dan aku sendiri ingin tahu. Yang pasti agar kau utuh yang tidak ditemukan di kawah lain. Tidak tersentuh di dunia, dan dia adalah Blue Fire atau Sang Api Biru. Mata biru alami untuk dilihat, bersinar terang tetapi tidak menyilaukan pandangan. Memberikan jalan terang, tetapi tidak menyesatkan jalan.
Blue fire hanya akan terlihat bagi mereka yang bisa mengikuti cahaya. Tentu saja temukan langkah dari malam. Pahami langit dan pijaki bumi di atas hati, hanya itu untuk mengenal keteguhan blue fire.
Huu...diatas hatiku, diantara sudut malam mencoba memagari aku dengan kantuk. Semilir angin tanpa terasa menamparku halus memeluk. Tapi aku jamin, seluruh malam telah berkumpul di sini, di atas Ijen sekalipun takkan sanggup mengambil niatku.
Lupa..yang jelas aku lupa seberapa dingin Kawah Ijen ini. Lupa pula, seberapa tinggi jalan terjal untuk mendakinya. Apakah 2000ribu atau 3000ribu dari permukaan laut? Bukan bersoalan untuk ditinggalkan.
Dari awal aku bilang tidak perlu selimut ataupun jaket mantel untuk mendekati puncak kawahnya. Itu semua tidak akan ada artinya jika frekuensi nadamu berbeda.
&&&&
Baris terakhir di bait pertama...apakah ini cinta dan apakah ini cita?
Awan di sini aku pastikan teduh. Seteduh tatapanmu dan ketulusan hati abadi. Di sini, nyamanku mampu mengubah dunia. Sebentuk wajah dan senyuman memberi usapan hati. Di sini kutemukan arti kehidupan. Dan itu yang aku nanti hingga membuat aku mengerti itu yang aku cari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H