Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta untuk Cinta (Cahaya)

2 November 2023   08:07 Diperbarui: 2 November 2023   08:15 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CINTA UNTUK CINTA (CAHAYA)

Mbah Har

"Brow, jaga gubug ini....gubug cinta ini!"

Aku harus titipanku ini padamu sebentar, sebentar saja. Tolong jaga untukku. Aku tak mau ada yang mencoba mengusik atau merusaknya. Aku tak ingin ada mencoba memindahkannya dari tanah ini. Semua sudah terpatri begitu dalam. Terlalu dalam hingga sebutir debu sekalipun aku tak iklhas melukai pandangan matanya.

"aku lagi tekan brow....! mesti ngene iki!"

Aku tahu sobat, kamu pasti tahu. Aku tahu pula, kau menunjukan aku. Aku tidak perlu jelaskan. Dan aku tahu, kamu mengerti maksudku.

"Malam ini juga aku turun!" aku menjawab dengan tegas.

Aku hanya ingin mendekat sebentar. Tidak ke barat atau ke timur. Ke lembah terdalam seberkas cahaya lamanya. Jangan khawatir, ambilah di belakang jika membutuhkan. Alam telah menyediakan dari rasa lapar dan haus.

"Tak tinggal yaa brow!" aku nyalakan lampu. Aku pantulkan dalam dalam kaca. Berkilau terpancar cahaya. Dari pohon hati menerangi kekuatan minyak jiwa. Menyala tanpa tersentuh tangan-tangan berdebu.

"Ok brow, tak turu sik. Kesel. Mangkato kono!"

Seperti biasa, aku merasa dia meraih pundakku. Dia melihatku dengan tajam. Sinarnya seolah kebenaran berbisik lembut. Sedangkan aku tak sanggup membalas tatapannya. Dunia batinku terang benderang. Alam mengukir rasa rinduku. Berharap saja memupuk semangat jiwaku melihat, dalam pantulan cahaya lampu kaca sudah cukup.

Di bawah sinar bulan purnama, ombak berayun-ayun. Gitar berbunyi, jauh beribu bintang bertaburan. Langit menghijau, murni pemandangan berpadu malam kemilau.
bergegas aku. Berpacu dengan waktu, menikmati waktu. Aku harus sampai sebelum fajar fokus dan fokus hanya untuk dapat berbagi cerita dengan Cintaku.

Antara cahaya lampu dan laron, aku menghentikan hentakan kakiku. Berkembenkan malam langit, laron mendekati cahaya. Mencoba bertahan dengan hadir terbang mengelilingi dan tentu saja menjaga pijar nyalanya. Tanpa peduli sayap-sayapnya patah dan akhirnya tidak dapat terbang kembali. Sampai lupa arah pulang, sampai harus menghabiskan sisa dihidupnya di tempat cahaya tersebut.

Aku lanjutkan kembali deru nafasku. Berhenti sejenak, menghela nafas panjang. Semakin dekat, semakin terang, semakin silau. Pinjaman cahayamu Cinta, semakin membuatku terang. Maka dari itu, aku makin mendekat.

Dengan bangga aku turun. Turun dengan tetap mendongak ke atas. Tidak ada terlintas penyesalan seutas sekalipun.

Lihat, semakin dekat lagi dekat lagi dan dekat lagi cahaya gemerlap nampak mata memandang. Hirup pikuk kehidupan lebih akrab 

kebisingan sesekali menyeruak. Di depan sini aja aku akan duduk menunggu. Cukup dari sini tak takkan terlupa.

Aku tengok dinding sebelah sana. Api nyala lampu menunjukkan keperkasaan putaran waktu. Terus berdetik, enggan menunggu barang sedetik. Di sinilah aku pertama kali dulu berteriak bebas. Waktu itu membuka mataku dengan luas. Dan sekarang di waktu ini, aku terus bernyanyi laa...laa....laaa...dan selalu aku menyampaikan pada waktu mengulang lagi lagu rindu laa...laa..laa....

Cinta....aku rasa hatiku sekedar berbisik.

"Lihaaat!" seisi jiwa berguncang, lidahku tak bergerak. Deru mesin membuatku mendengar. Menderu-deru mewujudkan posisi dudukku. Seolah ingin berdiri, menyambut dan meminjam tangan lembutmu tak berdebu. "Selamat datang kembali ke rumah...welcome home Cinta!" serasa memeluk hangat.

Serasa begitu dekat. Saat dekat seperti ini, ada perasaan takut bilamana membuat suasana hatimu Cinta berubah. Berkebalikan ketika di atas sana, ada kegelisahan hanya untuk sekedar melihat bayanganmu atau angin sampaikan suaramu bagaikan menyapa dirimu Cinta secara utuh dan sempurna.

Mari...

Sejurus kemudian, begitu indah. Menyatu jiwaku hapuskan gelisah. Perjalanan fajar menyambut dalam pelukakan bidadari kesunyian. Pamit pulang sendiri, dewekan aku menyaksikan laron-laron menggelepar terbaru dari raga malam, sampai pada akhirnya melepaskan diri tanpa menyisakan rasa sakit bersama bintang masing-masing sendiri memeluknya. Begitu indah...

Terang saja, aku hanya rindu dan sekedar merindu.

Perjalananku semalam hanyalah perjalanan waktu.

"Brow, kemarin kowe lewat rumahnya too? Sandalnya kelihatan di teras ora?"

(MasyaAllah, laa quwwata illaa billaah -- sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)....telah menunjuki dan meminjamiku cahaya. Melalui cinta terpantulkan kepadaku)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun