Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obrolan Bapak dan Anak (Bersepeda Bermacam Cerita)

24 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 24 Mei 2023   17:57 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Obrolan Bapak dan Anak (Bersepeda Bermacam Cerita)

Mbah Har - Wahyu

Minggu berikutnya...Nur diajak jalan lagi Bapaknya. Awalnya nolak, tapi sesudah dibilangin pergi ke tempat lain dianya nurut. Mau aja dengan banyak-banyak catatan. Satu diantaranya tidak lagi berpetualang ke sawah, inginnya lihat pemandangan lain yang lebih menyejukkan daripada bermandikan lumpur yang menjengkelkan.

Bapak Nur setuju, dengan catatan naik sepeda GL alias genjot langsung.

Salaman...kata sepakat sebagai tanda jadi. Jam itu pula, menit dan detik itu pula jaga mereka, mereka Bapak dan Anak bersiap. Tambatkan sepeda keluar dari istalnya dan digayuh menaiki bukit berbatu.

Ngoss-ngossan man, bikin tenaga terkuras. Habis energi, apalagi Nur yang di depan, babe nangkring manis di belakang. Hanya saja sedikit meringankan adanya trend satu kayuh berdua.

Cukup lumayan, lumayan melelahkan. Bikin miring lagi, Nur terpental kembali dari persaingan. Lumayan juga memakan dan menyita perhatian.

Makanya berdampak lain ikutan kacau dibautnya. Cara menggayuh sepeda berpaling juga pada caranya agak ugal-ugalan. Agak miring dan zig-zag ke kanan-kiri. Lantas terpental ke luar jalur menasaki dan menabrak kerikil tak tertata rapi. Terkadang agak tergelincir sebab dan musababnya dikit kehilangan keseimbangan.

Lagi-lagi si Bapak hanya tersenyum, tersenyum ramah tak ke mana-mana dari bibirnya. Salah sedikit terjatuh tak merasa membuat si Bapak terganggu, kalau takut yaa tidak usah naik sepeda.

"Nur capek...Nur ingin istirahat!"

Apa mau bisa dikata lagi, rasa hormat dan senyum ndak bisa dipaksakan untuk berontak. Seorang anak ini yang tiada lain Nur selalu turut dan menurut pada orang tuanya.

"Kalau tahu begini. Mendingan Nur tadi tidur di rumah!"

Pulang...? Salah besar. Berarti telah gagal dan tak kembali. Kau tak terangkan, melainkan kau hanya akan tersesat di persimpangan. Mundur rasanya pengecut dan pecundang, terlanjur kau ucap kata. Hanya ada kata sisa maju dan terus laju untuk melejit ke puncak ujung sana.

"Mau minum?"

Sruput...sruput...sruput. Satu cangkir botol mineral, setengah literan. Lagi sruput Nur sisakan botolnya doang. Dikocok-kocok isinya nggak nambah juga, lagi dikocok tetap tinggal botolnya saja, botol dari plastik rincinya.

"Sudah?"

"Kurang Pak, minta lagi!"

Lagi? Maaf saja habis. Hanya ada itu satu-satunya dan dalam satu tempo Nur habiskan. Bukan saja dihabiskan, untuk seteguk hangatnya di tenggorokan...sayang sekali wujudnya juga tak pernah berbekas.

Sebenarnya itu baik dengan mengguyurkan di kepala, mendinginkannya tentu saja. tapi di sini, Nur masih belum mengerti jalan menuju ke sana masih panjang dan berliku. Cukup terjal penuh pendakian, hanya dia dia belum mengerti dan belum siap untuk itu. Temporari aja dalam benak Nur, entah nanti kemudian.

"Habis...?"

Bapak tersenyum lagi, lalu bisikkan di telinga Nur. Terus mengangguk dan jangan mengeluh, bahwasanya kau akan lakukan tugas dengan baik tanpa mengeluh. Teruslah ke tepi bilamana tak temukan tempat berlabuh, berarti kau tetap telah berjuang dan pernah melakukan usaha.

Singsingkan lengan, apa yang dilihat sekarang adalah batu-batu kerikil menambang di jalanan tak pernah goyah. Kau injak dengan dengan panas ataupun hujan tak pernah berkeming, kecuali jika kau lempar dengan tanganmu jauh-jauh ke sana atau  remuk dengan alat pemukul. Itu sudah merupakan cerita yang lain dalam lain cerita.

Bisakah kau lumatkan kerikil dan bebatuan menjadi lebur? Dengan jari-jari tangamu sendiri adalah sesuatu yang perlu dicatat. Jawab Nur menggeleng, dengan sekali gelengan bilang dan bicara tidak. Tidak mungkin sekali sentuh lebur jadi tanah pasir.

Sebaliknya, untuk seorang Nur dengan berkali-kali sentuh akan tetap demikian, kecuali alamlah yang akan mengujinya menata dan menempatkannya bareng-bareng sebagaimana mestinya. Penting untuk terus melihat perubahannya dalam hujan deras dan panas yang menyengat.

Selang waktu berganti, bergantilah pandangan mata Bapak dan anak. Terus dibuatkan kisah-kisah sebagai mana cerita-cerita banyak yang hadir dimanapun berada dan keberadaannya diada-adakan.

Satu diantaranya untuk tak mengingatkan song-song hari yang penuh tanjakan dan turunan. Mencoba perpanjang akal dan angan dalam sesaat datang menjemput kesendirian. Dan bila esok pagi datang, tahu telah taklukkan dengan tanpa terasa, tanpa kita sadari kita di sini.

"nur...Nur tentunya lihat pohon-pohon itu!"

"Saya lihat, Pak!"

Bagus...manis bila melihatnya. Artinya lebih baik daripada tak melihatnya, artinya masih bisa diantar dan dibingkiskan untuk pengisian kepekaan jiwa, karena banyak diantara mereka tak bisa lihat lagi hijaunya pohon dan pepohonan.

"Tahu nggak Nur?"

"Apanya?"

Tahu nggak...berapa banyak mereka tak bisa lihat pepohonan yang hjau dan rindang. Sebaliknya, ketahui pula sekian banyak orang bukannya nggak bisa melihat pohon dan pepohonan, tapi katanya enggan dan tak bisa dapatkan apa-apa. Paling dapatkan daun-daun kering dan ranting-ranting berserakan, tinggalkan saja biarkan angin berserakan membawanya ngabur.

Namanya juga manusia, di atas kerendahan jiwanya melihat yang tinggi. Sudah begitu tinggi lupa merendah dan merunduk. Mau terus menjulur hingga akhirnya menyentuh langit-langit.

Pahami...bandingkan bagaimana dengan rerumputan terlihat, apa bedanya dan bedanya apa dengan pepohonan yang tinggi? Sesederhanakah bedanya, ternyata bisa sama bilamana bisa berbagi ceritanya, hanya antara berpayung tidaklah membedakan.

"Kamu ngerti maksud Bapak?"

Menggeleng...Nur banyak menggeleng, sedangkan sang Bapak terus tersenyum. Ditambahkan lagi, inilah realita bila masing-masing tak saling pahami. Bilamana sebaliknya, mungkin ini takkan pernah terjadi. Semua akan dapat saling berbagi cerita saat-saat mentari bersinar ataupun sedang redup menatap mega.

"Nur makin nggak ngerti."

"Nanti...kita sedang belajar, Nak!"

Dengan sendirinya kelak dewasa, kelak waktu jualah menguji kedewasaan berpikir, juga kecermatan dalam bertindak serta tingkah laku yang akan diambil.

Kejar lagi setoran...lagi lihat dan terus pandangi bukit hijau di depan sana. Apa yang dapati dan dapatkan tertanam di sana jauh hari sebelum kita bertanya, entah itu kepada siapa.

Bukit sana tak hilang seandainya kita hilang tak kembali. Tapi, bila dia yang menghilang mungkin kita juga akan hilang. Kita nggak ngerti apa yang ditanamnya dan untuk apa tumbuh gundukan tanah itu, kok bukannya di sini di tanah yang lebih rendah?

"Apa yang kau lihat, Nur?"

Cuman itu...cuman itu ada pada tatapan mata Nur. Dengar jawaban anaknya, sang Bapak mengiyakan senyum manis. Ditebarkan seantero penjuru bumi sebagaimana diceritakan si Bapak untuk belajar senyum itu sebagian dari mereka. Sebagian lagi dari sempat yang terpungut sembarang tempat berikan, sungguh berikan bukan sekedar berikan, tapi sungguh berikan.

Tanpa terasa siksa hati Nur lenyap perlahan. Perlahan tergantikan dengan khayalan menuju atas bukit. Remang nada senyum tak perlu cari laju, sesaat kemudian akan terenggut di hati.

"Lelah...lapar!"

"Yaapp!"

Nanti...sesampainya di ujung bukit sana, nanti sembari kita tonton alam seputar kita, nanti bilamana kita telah menggapai di puncak....nanti.

Sekarang memang ada di sepanjang jalan, jangan lupa itu hanya bayang semu yang akan enggan mencari. Tetaplah tenang dan terus cari, jangan lupa masih ada satu rengkuh lagi untuk menggapai. Jangan pertaruhkan disaat tak harus memilih, cukuplah ketenangan dan tak pernah lupa kita akan sampai ke seberang ujung bukit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun