"Kalau tahu begini. Mendingan Nur tadi tidur di rumah!"
Pulang...? Salah besar. Berarti telah gagal dan tak kembali. Kau tak terangkan, melainkan kau hanya akan tersesat di persimpangan. Mundur rasanya pengecut dan pecundang, terlanjur kau ucap kata. Hanya ada kata sisa maju dan terus laju untuk melejit ke puncak ujung sana.
"Mau minum?"
Sruput...sruput...sruput. Satu cangkir botol mineral, setengah literan. Lagi sruput Nur sisakan botolnya doang. Dikocok-kocok isinya nggak nambah juga, lagi dikocok tetap tinggal botolnya saja, botol dari plastik rincinya.
"Sudah?"
"Kurang Pak, minta lagi!"
Lagi? Maaf saja habis. Hanya ada itu satu-satunya dan dalam satu tempo Nur habiskan. Bukan saja dihabiskan, untuk seteguk hangatnya di tenggorokan...sayang sekali wujudnya juga tak pernah berbekas.
Sebenarnya itu baik dengan mengguyurkan di kepala, mendinginkannya tentu saja. tapi di sini, Nur masih belum mengerti jalan menuju ke sana masih panjang dan berliku. Cukup terjal penuh pendakian, hanya dia dia belum mengerti dan belum siap untuk itu. Temporari aja dalam benak Nur, entah nanti kemudian.
"Habis...?"
Bapak tersenyum lagi, lalu bisikkan di telinga Nur. Terus mengangguk dan jangan mengeluh, bahwasanya kau akan lakukan tugas dengan baik tanpa mengeluh. Teruslah ke tepi bilamana tak temukan tempat berlabuh, berarti kau tetap telah berjuang dan pernah melakukan usaha.
Singsingkan lengan, apa yang dilihat sekarang adalah batu-batu kerikil menambang di jalanan tak pernah goyah. Kau injak dengan dengan panas ataupun hujan tak pernah berkeming, kecuali jika kau lempar dengan tanganmu jauh-jauh ke sana atau  remuk dengan alat pemukul. Itu sudah merupakan cerita yang lain dalam lain cerita.