Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andi dan Kerbau (Cerita Penuh - Tamat)

15 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 15 Mei 2023   18:06 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ANDI DAN KERBAU

MBAH HAR - WAHYU

SI HITAM (KERBAU)

Hari ini hari Minggu. Hari yang indah, bagi pelajar. Selama seharian mereka akan terlepas dari tugas belajar mengajar di sekolah. Biasanya kesempatan begini dimanfaatkan untuk membantu orang tua atau sekedar bermain menghabiskan waktu, mungkin juga diisi dengan hal lain lebih berguna.

Jam dinding bertalu enam kali, berarti waktu telah menunjuk pukul enam pagi. Suasana tak lagi berkabut, kabut dingin telah kembali ke gunung. Mentari perlahan menyusup menunjukkan sinarnya, burung kenari penghibur hati menyongsong hari.

"Ibu...Ibu!" Kata Andi

Berkali...bukan sekali atau dua kali anak itu memanggil ibunya. Namun tak kunjung jawaban yang menyenangkan hatinya. Andi, itulah namanya. Anak kelas empat, dimana tiap bangun hanya 'ibu dan ibu'.

Andi dan keluarga tinggal di sebuah desa kecil, jauh dari kehidupan kota. Andi tinggal bersama ibu dan Masnya.

"Mas....!" Sekali lagi Andi memanggil, yang dipanggil juga tak nampak batang hidungnya.

"Mas sudah pergi!" Kata Andi mengguman seorang diri.

Andi dengan cekatan bangkit dari kasur bambunya. Andi sadar betul dengan lingkungan di sekelilingnya, tidak ada gunanya berteriak-teriak. Pertama yang dikerjakan adalah ke belakang, membersihkan diri sekaligus menengok keberadaan kerbaunya di kandang.

"Si Hitam" begitulah Andi memanggil. Saben hari kebutuhan Si Hitam dipenuhinya, jangan kata kelaparan, kekenyangan pastilah. Tubuhnya yang gemuk dan subur adalah bukti betapa Andi tak pernah lupa memberi makan tiap waktu.

Pagi, siang dan sore, rutin. Dengan suka cita. Kemudian Andi masuk kembali untuk sarapan. Sarapan seadanya telah disiapkan Ibu tercinta sebelum ke pasar. Apapun adanya, patut disyukuri dan yang lebih berarti adalah ungkapan kasih sayang tulus.

Merasa cukup kenyang, Andi ambil ancang-ancang. Ngacir ke sawah nyusul Masnya, sampai-sampai lupa membersihkan kamarnya yang acak-acakan waktu tidur.

SI Hitam juga telah sarapan seperti tuannya. Si hitam tidak seperti kerbau-kerbau lainya, yang orang mengatakan pemalas, pekerjaannya makan dan tidur. Tidak, Si Hitam menjawabnya dengan lantang, "aku tidak demikian".

"Et...hampir lupa!" Kata Andi

Andi merasa ada yang terlupa, apakah itu? Bergegas ke dalam. Kalung si hitam kemarin dilepasnya belum dipasaangkan kembali. Kemarin dilihatnya ada tanda-tanda talinya akan putus, jadi perlu diganti, daripada hilang.

"Hitam ini kalungmu, mana kupasangkan!" Kata Andi

Si hitam menjawab dengan dengusannya. Hati dan jiwa mereka telah menyatu. Mereka telah saling mengerti, sehati.

Andi meninggalkan rumah dengan santai. Tak ada beban terlintas. Si hitam yang dulunya kerbau liar, berkat sentuhan tangan Andi penuh kasih sayang, si hitam berubah menjadi penurut.

Angin semilir, cerah berkelap-kelip. Derap langkah meniti jalanan, menerkam menusuk batu dan rerumputan. Dengan mata terang, seterang matahari melintasi liku dan jalanan belum beraspal. Berlipat maju menyusuri tanah berlumpur sekiranya di siram hujan tadi malam membawa berkah.

"Ayo...Man!" Kata Andi

"Yaa, aku nanti nyusul!" Kata Parman

Terlalu mudah menghafal. Sungguh indah alam desa. Aktivitas pagi mengisyaratkan kami bukan bangsa pemalas, kami adalah pekerja keras dan ulet. Saling menyapa, karena kami adalah bangsa yang bersahaja. Saling menghormati, karena kami punya budaya luhur.

Ribuan sawah ijo royo-royo membentang, belok kiri dan kita sampai.

"Mas!" Kata Andi

Dekat nian alam pedesaan. Kicau burung bernyanyi, kubuka hatimu alangkah indah alam desa. Aneka di sekelilingmu terasa sejuk di hati. Karunia bagi umat manusia, damailah selamanya.

"Sarapan dulu, Mas!" Kata Andi

"Makasih Adikku!"

***

SAWAH

Sawah menghijau dihiasi sungai berliku-liku. Sinar mentari cerah mempesona. Satwa unggas bernyanyi merdu. Dalam pikiran semua kan musnah bila tiada yang melestarikan. Insan dunia cintailah dan lestarikan ciptaaan Mahakuasa.

Indah sungguh indah, tak terbayangkan semua. Hadir berlumpur ucapan bahagia. Rela berpeluk keringat bergetar tak tahu apa sebabnya.

"Andi, istirahat sana!"

"Belum lelah!"  Mas

berkata masih kuat. Mencangkul tanah baru ditinggal panen kemarin. Ingin cepat menyusul di seberang sungai sana yang lebih dulu menggambar permukaan tanah lewat lukisan hijau.

Dilihat ke belakang ada sedikit ketimpangan. Timbul senyum terwujud belah. Lihat kebekuaan yang dicairkan. Lihat bagaimana semangat kadang lebih berarti daripada sekedar badan yang gede, itulah Andi kecil tunjukkan dengan ayunannya.

"Tu...teman-temanmu memanggil, susul sana!" Kata Mas

"Asyik...aku pergi dulu Mas!"

Langsung tancap, rasanya menyelinap lompat. Terjun bebas terdampar terlempar jatuh tertelungkup. Yang jelas tak mengapa, karena telah terbiasa.

Ngacir, begitulah Andi yang masih anak-anak. Bermain jadi nomer satu, sekali main lupa segalanya. Itulah anak-anak yang belum dewasa, bukan begitu?

Menyusuri jalan sempit, berlari mengejar parit-parit. Lompat ke sana, lompat ke mari diharapkan dapat menyingkat waktu dan jarak. Menelisik mengitari pematang sawah menunjuk pada satu arah.

"Aduh!"

terperosok rupanya, artinya terhambat. Tapi tak begitu berarti, cepat berangkat kembali kejar ketertinggalan. Tidak perlu takut, karena kita berdiri di rumah sendiri, di atas tanah sendiri.

"Aku datang (Je..buurrr)!"

Ngungsep di kali. Mandi bareng bersama teman-teman nikmati. Segernya air mengalir sampai jauh. Alam pedesaan, belum begitu mengenal pencermaran dan gak mau kenal pencemaran.

"Anang!" Kata Andi

Tak terasa panas, begitu redup dan sunyi. Terkirim semerbak payung memayungi, dari langit datangnya. Gerombolan daun melebat dibentangkan. Kokoh tinggi beringin "Mbah Punden". Akar menjulur kuat, dahan dan ranting cocok main ayunan...nyenengkeh!

"Enakkkee...!"

Wajah-wajah yang cerah, sama seperti hari yang cerah. Bacakan seruan sebersih hati. Yang ada hanya bermain melewatkan hari.

He'eh....koor dengan serempak. Menikmati tiupan serulung bamboo, merdu senandungkan rindu. Bertengger di dahan nyanyikan lagu-lagu kenangan, terasa burung berkicau menemani nyanyikan bait demi bait syair lagu.

Sepoi angin berhembus membius sanubari. Sejuk di pemandangan, tersenyum menyimpan. Tanpa terasa sore datangnya hari telah menjemput....

Tanda-tanda kemeriahan ada di sini, ada pula di sana. Masih ada sisa-sisa perjuangan histories melekat, yang telah lalu dalam catatan.

***

LOMBA 17an

Jelas lemas-lekuk kebahagiaan di gerut wajah. Mata berbinar memandang ke langit biru menantikan berkibarnya. Lihat nanti, saksikan haru bercampur bahagia.

Pada akhirnya tiba jua saat yang dinanti. Hari yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Tak ketinggalan segenap lapisan masyarakat larut, kecuali bagi mereka yang tidak merasa memiliki negara ini, tidak mengakui tanah tumbah darahnya.

Pagi yang cerah, secerah mentari di timur sana. Rupanya Andi kecil sedang berbenah. Betapa seragam putih merah, seandainya seorang prajurit kan kelihatan sangat-sangat gagah. Dia lagi bersiul-siul di depan cermin menyisir rambut cepaknya.

"Andi ayo!"

"Tunggu sebentar!"

Ini kan hari libur nasional, lantas ke mana mereka pergi dengan seragam sekolahnya? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, kita semua telah tahu dan mengetahuinya ke mana mereka pergi di hari yang ke-17 pada bulan ke-8.

Berdua menjejakkan Masih di jalanan berbatu, menuruni lereng dan bukit, mendaki jurang-jurang terjal. Bertetes-tetes embun masih memaksakan diri di dedaunan seolah mereka ingin turut serta dan berpartisipasi di hari bersejarah ini. Hari yang tak terlupakan selama hayat masih di kandung badan, tidak pernah dan tidak akan pernah, karena aku anak Indonesia, di sini tanah tumpah darahku.

Hadir di tengah jalanan. Menari di atas pelangi. Indah selalu berjajar rapi dipucuk cemara nanayu. Tiada habis senandungkan rasa rindu berbangsa Indonesia.

Yang tertinggal saat Sang Merah Putih melangit, adalah kitmat. Mengikis akan kelabu, tinggi tunjukkan pada dunia semangatnya merah membara. Kami Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lemah, kami Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang besar. Cucuran keringat adalah saksi. Jutaan tetes darah adalah bukti keberadaan kami "satu".

"Proklamasi....!"

Besuknya, kemeriahan belum juga berlalu. Selalu ada moment istimewa di hari yang istimewa. Inilah dia puncaknya, spektakuler bagi desa Andi yang terpencil dari keramaian dan kebisingan kota. Bukan apa-apa, tapi ini adalah budaya sebagai satu dari sekian juta khasanah kekayaan Indonesia.

"Siap untuk menang?" Kata Anang

"Milikku tidak akan kalah, Anang!" Kata Andi

"Berjuanglah kawan!" Seru Anang

"Terima kasih semua atas dukungannya,friend!" Jawab Andi

Waktupun terus bergulir. Bel berdering panjang tiga kali. Tiba saatnya meninggalkan sekolah. Langsung secepat angin diantara hari yang terus berlalu, Andi menengok ke rumahnya. Genderang ditabuh, bendera dikibarkannya seiring dia menempa diri.

"Mas!"

"Masmu dolan!"

"Ke mana Bu?"

Shalat Dhuhur adalah keharusan. Tunaikan kewajiban dengan tegakkan shalat lima waktu, dhuhur diantaranya. Berdosa meninggalkannya, karena kita adalah muslim. Dan di dalamnya kita dapat memohon dan berdoa.

"Ibu, doakan aku menang!"

Andi memberi makan secukupnya. Dia tahu takaran yang pas, mana itu tidak kurang sehingga tidak kelaparan, mana pula tidak kekenyangan. Tanda saling pengertian diantara persahabatan terjalin sudah, beban di pundak tidak akan dipikul sepihak.

"Hitam kita harus menang....di sini menang, di sanapun menang!"

Puji-puji memotivasi. Ingin persembahan terbaik diberikan. Semaksimal mungkin mendulang prestasi.

"Aku janji hitam, jika memang nanti rumahmu akan kuperbaiki. Dan tentu saja kau takkan terjualkan apalagi di sate...ha...ha...!"

begitu menjanjikan. Memipih hati sayu. Mengusap lembut layangkan hasrat terpendam. Hati naniba tiada tega membiarkan lewat begitu saja.

Dan saatnya tiba...hiruk-pikuk berkumpul jadi satu membaur. Riuh rendah menambah santer suasana. Ajang pentas bergengsi siap digeber habis. Tontonan gratisan tahunan. Puncak dari segala kemegahan dan kemeriahan. Saatnya pula uji kemampuan siapa yang terbaik.

"Berjuanglah adikku!" Teriak Mas

Si Hitam akan memenangkannya untukku, Mas!" Harapan Andi

Kemenangan bukan mimpi, kemenangan ada dalam perjuangan. Kemenangan hasil dari jerih payah dan semangat, bukan sulapan belaka. Faktalah nanti yang akan membuktikan, begitu Andi dengan gelora di dada.

"Aku mendungkungmu!"

"Terima kasih teman-teman!" Sahut Andi

Akhirnya! Akhirnya! Akhirnya telah tiba. Terjaga semua mata memandang. Berkilauan panas tak jadi soal. Di balik itu semua, keyakinan optimisme terpancar dari cahya mata yang tajam.

Saringan penyisihan awal membagi ke dalam dua grup. Dari dua grup diambil dua yang tercepat untuk di adu dalam partai final.

Andi nothing tulus, dia bukan unggulan apalagi segalanya. Dia cuman ditempatkan sebagai underdog. Bersamanya menantang juara bertahan sekaligus unggulan pertama. Belum lagi mantan juara dua tahun yang lalu belum bisa dikatakan usur, dia punya pengalaman dan mental juara yang tak bisa dianggap remeh. Tentu dalam dua tahun segalanya telah berubah.

"Bersedia...siap...yak!"

Start pertama dilepas langsung Pak Lurah. Lima ekor kerbau berlari mengitari lapangan. Dengan panjang lintasan kurang lebih seukurang keliling lapangan bola, mereka cukup mengitari dua putaran. Melelahkan pasti, tapi itulah inti perjuangan dimana proses adalah segalanya.

Sementara itu Andi menonton dari luar lintasan. Dia dan si hitam menunggu giliran kedua. Mengamati dengan jeli, seberapa jeli mereka melaju untuk memungkinkan berebut kesempatan jadi juara.

"Bersedia....siap...yak!"

Akhirnya berpaculah dengan waktu. Berlari bersama angin. Meninggalkan debu-debu beterbangan membuat sesak di nafas. Saling kejar, pula saling menyusul dan saling berusaha meninggalkan untuk jadi yang tercepat dan terbaik.

Si hitam berlari cukup konstan. Perlahan tapi pasti terus merapatkan diri dengan pimpinan lomba yang sedang diperebutkan, dia kerbau terdepan. Harapan selalu ada!

"Hitam, ayo kamu bisa!" teriak Andi di atas pacunya.

Jarak kurang 100m. si hitam coba mendahului. Satu kepala selisih dibuatnya sudah. Mulai sejajar, saat-saat mendebarkan mendekati finis. Siapa yang bakal lolos? Layak kita tunggu kiprahnya lebih lanjut.

"Ayo Hitam, rumah baru menanti!"

Pentas kandidat terus berpacu. Laga demi laga berlanjut. Sorak sorai makin nyaring seiirng partai puncak segera bakal digeber. Penonton yang sekedar ingin menontong, pula menghibur hati, termasuk memberi support terus mengalir. Trek yang kering dan berdebu tidak membuat surut animo terus meluber memenuhi tribun-tribun telah disiapkan.

Dan pada kenyataannya segala sesuatu yang bermula, di dunia ini pastilah akan berakhir. Begitu pula untuk perlombaan tahun ini, di dapati pula sang jawara baru. Menerima dengan sportif adalah ciri sosok berjiwa besar. Kemenangan atau kekalahan bukan hasil mutlak. Kebesaran jiwa adalah yang lebih utama.

Itulah kenapa, tidak nomer wahid bukan berarti berakhir. Tahun depan masih ada kesempatan. Masuk ke babak utama dari puluhan kerbau adalah sudah luar biasa untuk seorang Andi dan Si Hitam. Dan yang lebih mencengangkan lagi, adalah podium ketiga sebagai hasil perjuangan adalah balasan setimbal dengan usaha dan kemampuan yang ada saat itu. Andi dan Si Hitam!

Dan kala kemenangan itu telah bersemi, bak daun tumbuh di musim semi. Kemenangan menghantarkan kepada kebahagian dan kebanggaan. Kala kemengan bukan lagi mimpi, kini saatnya wujudkan janji terucap.

"Andi, tolong gergajinya!"

Janji adalah utang

"Palu!"

Bamboo tinggal potong, semua ada dan tersedia di sini. Si hitam dititipkan untuk sementara di rumah tetangga. Sejenak sambil menunggu terselesaikannya.

"Mas saat makan siang!" Kata Andi

"Sebentar, tanggung!"

Artinya kepala berlalu sudah dari atas kepala. Arti yang lain bedug luhur telah bertalu. Pula yang lebih berarti, Mas Andilah yang mengerjakan semuanya. Andi tinggal duduk-duduk di bawah pohon dengan sesekali melayani kebutuhan Si Mas

Terbayang pula pekerjaan yang berat selalu menyisakan kelelahan, pula kecapekan dengan pegal-pegal menghinggapi badan. Dan karena semua telah terbiasa, tiada yang terasakan walaupun keringat mengucur dan membasahi tubuh ini.

***

SALAH PAHAM

"Aku pulang!"

Sudah jadi rutinitas, cuci tangan dan cuci kaki. Makan siang dan tidak melupakan shalat. Menyembah dan senantiasa mengingat. Menyukuri atas segala anugerah dari-Nya.

"Ibu...Ibu!"

Sepi, nggak ada jawaban memuaskan. Hening, suara-suara gaduh pada ke mana, di telan bumikan? Bosan menunggu ketidakpastian diantara teriakan-teriakan memenuhi atap-atap bamboo yang mereot. Benci, sendiri membaca situasi. Perubahan, itulah yang diinginkan dan diharapkan.

"Mas...Mas!"

Perih di beban yang ada.

"Mungkin Ibu ke sawah, juga Mas!"

Si hitam, ada di belakang tentunya dan seharusnya. Berjalan melontarkan pandang, ke sana tujuan sebelum ke sawah. Menengok sekedar tegur sapa dengan sobat, meregang segala unek-unek yang belakangan membelenggu. Dengusannya adalah sangat berarti.

Makan, barang kali rumputnya perlu ditambah. Makin banyak makan, kata orang makin cepat gede. Cepat gede, berarti tahun depan dapat diharapkan berprestasi lebih baik. Langkah makin panjang, tentu saja jangkauan makin ringan.

"Hitam...Haaaa!"

Terbelalak tidak percaya. Terbukalah mata lebar-lebar menyaksikan lebar-lebar kandang menjadi lebih luas dari biasanya. Tak ada dengusan, tak ada pula si hitam.

"Hitam!"

Apa mungkin di bawa ke sawah? Rasanya tidak mungkin. Bukan saat yang tepat untuk membajak tanah, tetapi saat yang tepat untuk menunggu padi menguning. Dua atau tiga minggu lagi adalah waktunya menuai hasil.

"Siapa tahu, coba ke sana ah!"

Bergegas ambil langkah seribu. Seribu rupa tanya terima dengan suram. Ambil gerak dalam kelam hati. Pikiran melayang diterbangkan bayangan menakutkan, akankah hilang di curi, akankah ada yang tega melakukannya? Ah...!

Detak jantung tak menentu. Perasaan tak enak terus bernyiang. Legam panas diterjang tanpa pandang bulu menembus bebatuan terbakar matahari.

"Mas!"

Jauh nandisana berteriak lantang. Terus dibarengi derap langkah makin mendekat. Tetapi semakin dekat, semakin terasa pula beban mendebarkan hati. Jiwa merapuh saat tak melihat yang dicari nampak di depan mata. Lalu, ke manakah gerangan?

"Mas...Mas!"

Terpatah-patah memperpanjang nafas. Terbata-bata mengulum ludah mengganti kering kerongkongan. Mensejajarkan diri mengembalikan ketenangan yang menipis.

Sejenak, sekali lagi memandang lepas. Menggali lingkungan, membaca situasa. Menerawang menapak tilas tiap jengkal tanah yang terbentuk. Mengusung lusinan burung-burung untuk meminta Tanya di manakah bisa ditemukan, di mana?

Deg-degan. Sinar mata Andi berubah menjadi kelam, sekelam malam. Ingin berteriak sekeras-kerasnya memekik. Ingin menghempaskan diri ke tanah, membaurkan telinga dengan tanah barang kali ada derap empat kakinya terdampar hingga tahu ke mana si hitam gerangan.

"Mas!"

Nihil, jangankan Si Hitam, sang Mas juga gak ada. Sekonyong-konyong bertanya ke sana, di sebelah kiri dimana ada Pak Wardiman. Pula sebelah Kanan, ada pula Pak Wandi yang juga mengisyatkan sama, kosong diperaduan mata memandang.

"Terima kasih, Pak!"

Menangis sendiri. Lagu sedih mengiringi derap kaki. Yang diharapkan adalah, Sang Mas dan Si Hitam, berjalan pada arah yang berbeda, melewati jalan yang lain.

"Lihat...!"

"Tidak!"

Sejurus mengeruk pikiran. Memecah kebekuan, mengotak-atik pikiran yang semerawut.

Andi makin bingung, makin tak tahu harus bagaimana. Kecil sudah perasaan hati ini. Makin menipis asa. Ke mana harus melanjutkan langkah?

Kembali hentakkan kaki dan berlari. Arah yang dituju adalah kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang lain, jalan yang biasa tak dilewati dengan berharap apa yang dicari ada.

Secepat kilat bagai angin. Menerobos tiap jengkal tanahnya. Gontai menggelayuti tak pedulikan, sekeliling adalah angin lalu coba menghambat, tak pedulikan, dan terobos.

"Ibu...Mas!"

Kosong...terima kenyataan. Berjalan letih menahan berat beban. Berselimut keringat, Andi gontai lunglai menahan jalan setapak masih tersisa. Yaa!

"Andi....kamu di rumah ga, ayo main ke sungai?"

"Masuk saja!"

Ragu melantunkan sepatah. Tenang, menahan air mata hendak mengucur. Lemas, sudah melayang sudah tinggallah tersisa kenyataan.

"Kenapa?"

"Anu...anu, si hitam!"

"Si hitam kenapa?"

"Si hitam gak ada...hilang!"

"Hilang...hilang katamu?"

Sejurus lamanya masing-masing dalam diam. Masing-masing dalam buah pikiran masing-masing. Masing-masing dalam penjelmaannya sendiri. Masing saling menahan kata.

Sesaat kemudian, Wandi berguman. Dia ingat, tapi di mana dan bagaimana dia agak lupa. Seperti...?

"Sebentar-sebentar...aku ingat!

Angkat bicara. Dengan antusian Andi mendesak adakah gerangan bisa diharapkan, pun mencoba. Ada yang putih mewangi yang dapat diharapakan tentang kabar si hitam mungkin, atau setidaknya Ibu dan Masnya.

"Di ujung sana ada Anang!"

"wandi, apa hubungannya dengan Anang?"

Jelas ada, jawab Wandi. Dengan singkat, dengan bergegas pula tanpa terselesaikan Wandi punya cerita, Andi langsung ngluyur meninggalkan Wandi seorang. Wandi berteriak memanggil, tapi Andi tak mau ambil pusing. Yang setengah itu sudah cukup baginya, yang setengah lagi adalah tangan yang bicara, kaki yang bertindak atas nama keadilan...begitu Andi mengilahkannya.

Makin cepat makin baik. Segera tuntas dan beres, segera setelah semuanya diselesaikan dengan pukulan. Gak bisa tidak, Andi dengan emosinya yang terlanjur tinggi.

"Anang tunggu!'

Akhirnya, di ujung desa yang dicarinya diketumukan. Sedang sendiri lagi, cocok karo impen. Satu lawan satu, kita buktikan tanpa ada main kayu dari orang lain. Yaa!

"Berhenti kataku!" dengan nada tinggi Andi meraih kerah baju Anang. Seketika itu bogem mentah mendarat telak di muka Anang, lagi dan lagi hingga tersungkur di tanah. Belum cukup, ditarik dan sekali lagi bogem mentah didaratkan di muka, pula di perut. Tak pelak lagi Anang meringis menahan sakit, menangis mengerang dengan muka yang benggak.

"Ayo bangun...terima ini, rasakan akibatnya coba main-main denganku. Mau mengkhianati aku yaa?"

Tidak ada cakap, tidak ada pula perlawanan. Begitu saja ditinggal tubuh Anang yang limbun ke tanah tak berdaya. Dengan tak berdosa menyeret ke ujung pohon dan dengan bergegas melepas pandang tanpa meninggalkan bekas. Lekas berlari, puas melemparkan amarahnya.

Biar kata tangan telah bicara, rasa kecewa masih ada dan menggelayuti. Andi tidak langsung pulang, melainkan sendiri dan menyendiri di sudut desa yang lain. Bermain dengan riak air yang dangkal lagi jernih, mengombang-ambingkan pucuk-pucuk daun di tepinya duduk.

Tidak ada yang lain dikerjakannya. Memandang air yang meninggalkan, berbaring merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Sekedar manjakan diri yang dalam kekalutan.

Jelang Magrib baru pulang. Landai, menciut dagunya dengan sesekali menendang-nendang jalanan yang berbatu. Merangkas daun-daun di sekelilingnya dengan sekali tebas langsung buang. Perasaan kesal!

"Assalamu 'alaikum...aku pulang!"

Tak ada senyum, tak ada raut muka menengadah. Yang ada hanyalah kepala tertunduk, muka merah dan tangan setengah mengepal. Luruh dan runtuh dinding-dinding hatinya, membekas luka bernanah.

"Duduk!"

"Lelah, aku mau tidur, Mas!"

"Duduk kataku!"

Suasana diam yang dipertontonkan. Mulut-mulut terkunci, mata dengan tajam memandang pada Andi yang kusut.

"Kau tau yang telah kau lakukan tadi siang, Andi?"

Diam...ambil pilihan. Tetap dengan sikapnya, menunduk melingkarkan badan. Menutup segala pandang yang tertuju ke padanya, membuang mata ke sudut kering lantai-lantai tanah.

"Dengar, sekarang kamu harus minta maaf pada Anang...sekarang!"

"Tapi?"

"Tidak ada tapi-tapian, minta maaf pada Anang dan berjanji takkan mengulanginya?"

Sekali lagi Andi hendak menyanggah, membela dirinya bahwa dia tak bersalah. Apa yang dilakukannya hanya akibat dari yang dideritanya. Apapun alasannya, Ananglah yang memulai lebih dulu. Dia mengambil si hitam!

"Nyolong katamu?"

"Dengar! Apa yang bisa marah cuman Andi? Si Mas yang biasanya tenang and kalem tiba-tiba meluapkan dirinya. Emosi meluncur karena kekesalannya pada adik yang disayanginya. Bagaimana tidak, sang adik main hakim sendiri asal gontok and pukul tanpa tahu duduk persoalannya.

"Dengar baik-baik, kau pasti akan menyesal mendengarnya!"

Saatnya mengerti. Alkisah dua tahun yang lalu. Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak.

Pertanyaannya, Untuk beli obat, uang dari mana?

Dari mana lagi kalau bukan ngutang. Terpaksa, semua dilakukan karena cinta dan sayang.

"Dengar!"

Dialah keluarga Anang, keluarga yang anaknya barusan dipukuli, dialah yang meminjami. Bahkan bukan sekedar meminjami, mereka tidak menuntut kapan harus mengembalikan dan berapa harus dikembalikan, tetapi jika ada saja dan kapan saja.

"Si Hitam...dengar baik-baik!"

Ketahuilah, sudah sepantasnya mereka memiliki si hitam. Sampai sekarang belum bisa membayar hutang.

"He Andi...mikir dong!"

Si Mas melanjutkan...Tapi saking baiknya mereka, asal tahu aja, mereka tidak pernah berniat mengambil si hitam. Si hitam tidak akan ke mana-mana, mereka hanya meminjam sementara.

"Sementara Mas!"

Yaa...sementara, sementara karena pick up rusak yang seharusnya buat mengangkut batu bata rusak

Sementara...

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun