Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andi dan Kerbau (Part#4 Salah Paham - Tamat)

12 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 12 Mei 2023   17:58 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SALAH PAHAM (TAMAT)

Mbah Har - Wahyu

"Aku pulang!"

Sudah jadi rutinitas, cuci tangan dan cuci kaki. Makan siang dan tidak melupakan shalat. Menyembah dan senantiasa mengingat. Menyukuri atas segala anugerah dari-Nya.

"Ibu...Ibu!"

Sepi, nggak ada jawaban memuaskan. Hening, suara-suara gaduh pada ke mana, di telan bumikan? Bosan menunggu ketidakpastian diantara teriakan-teriakan memenuhi atap-atap bamboo yang mereot. Benci, sendiri membaca situasi. Perubahan, itulah yang diinginkan dan diharapkan.

"Mas...Mas!"

Perih di beban yang ada.

"Mungkin Ibu ke sawah, juga Mas!"

Si hitam, ada di belakang tentunya dan seharusnya. Berjalan melontarkan pandang, ke sana tujuan sebelum ke sawah. Menengok sekedar tegur sapa dengan sobat, meregang segala unek-unek yang belakangan membelenggu. Dengusannya adalah sangat berarti.

Makan, barang kali rumputnya perlu ditambah. Makin banyak makan, kata orang makin cepat gede. Cepat gede, berarti tahun depan dapat diharapkan berprestasi lebih baik. Langkah makin panjang, tentu saja jangkauan makin ringan.

"Hitam...Haaaa!"

Terbelalak tidak percaya. Terbukalah mata lebar-lebar menyaksikan lebar-lebar kandang menjadi lebih luas dari biasanya. Tak ada dengusan, tak ada pula si hitam.

"Hitam!"

Apa mungkin di bawa ke sawah? Rasanya tidak mungkin. Bukan saat yang tepat untuk membajak tanah, tetapi saat yang tepat untuk menunggu padi menguning. Dua atau tiga minggu lagi adalah waktunya menuai hasil.

"Siapa tahu, coba ke sana ah!"

Bergegas ambil langkah seribu. Seribu rupa tanya terima dengan suram. Ambil gerak dalam kelam hati. Pikiran melayang diterbangkan bayangan menakutkan, akankah hilang di curi, akankah ada yang tega melakukannya? Ah...!

Detak jantung tak menentu. Perasaan tak enak terus bernyiang. Legam panas diterjang tanpa pandang bulu menembus bebatuan terbakar matahari.

"Mas!"

Jauh nandisana berteriak lantang. Terus dibarengi derap langkah makin mendekat. Tetapi semakin dekat, semakin terasa pula beban mendebarkan hati. Jiwa merapuh saat tak melihat yang dicari nampak di depan mata. Lalu, ke manakah gerangan?

"Mas...Mas!"

Terpatah-patah memperpanjang nafas. Terbata-bata mengulum ludah mengganti kering kerongkongan. Mensejajarkan diri mengembalikan ketenangan yang menipis.

Sejenak, sekali lagi memandang lepas. Menggali lingkungan, membaca situasa. Menerawang menapak tilas tiap jengkal tanah yang terbentuk. Mengusung lusinan burung-burung untuk meminta Tanya di manakah bisa ditemukan, di mana?

Deg-degan. Sinar mata Andi berubah menjadi kelam, sekelam malam. Ingin berteriak sekeras-kerasnya memekik. Ingin menghempaskan diri ke tanah, membaurkan telinga dengan tanah barang kali ada derap empat kakinya terdampar hingga tahu ke mana si hitam gerangan.

"Mas!"

Nihil, jangankan Si Hitam, sang Mas juga gak ada. Sekonyong-konyong bertanya ke sana, di sebelah kiri dimana ada Pak Wardiman. Pula sebelah Kanan, ada pula Pak Wandi yang juga mengisyatkan sama, kosong diperaduan mata memandang.

"Terima kasih, Pak!"

Menangis sendiri. Lagu sedih mengiringi derap kaki. Yang diharapkan adalah, Sang Mas dan Si Hitam, berjalan pada arah yang berbeda, melewati jalan yang lain.

"Lihat...!"

"Tidak!"

Sejurus mengeruk pikiran. Memecah kebekuan, mengotak-atik pikiran yang semerawut.

Andi makin bingung, makin tak tahu harus bagaimana. Kecil sudah perasaan hati ini. Makin menipis asa. Ke mana harus melanjutkan langkah?

Kembali hentakkan kaki dan berlari. Arah yang dituju adalah kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang lain, jalan yang biasa tak dilewati dengan berharap apa yang dicari ada.

Secepat kilat bagai angin. Menerobos tiap jengkal tanahnya. Gontai menggelayuti tak pedulikan, sekeliling adalah angin lalu coba menghambat, tak pedulikan, dan terobos.

"Ibu...Mas!"

Kosong...terima kenyataan. Berjalan letih menahan berat beban. Berselimut keringat, Andi gontai lunglai menahan jalan setapak masih tersisa. Yaa!

"Andi....kamu di rumah ga, ayo main ke sungai?"

"Masuk saja!"

Ragu melantunkan sepatah. Tenang, menahan air mata hendak mengucur. Lemas, sudah melayang sudah tinggallah tersisa kenyataan.

"Kenapa?"

"Anu...anu, si hitam!"

"Si hitam kenapa?"

"Si hitam gak ada...hilang!"

"Hilang...hilang katamu?"

Sejurus lamanya masing-masing dalam diam. Masing-masing dalam buah pikiran masing-masing. Masing-masing dalam penjelmaannya sendiri. Masing saling menahan kata.

Sesaat kemudian, Wandi berguman. Dia ingat, tapi di mana dan bagaimana dia agak lupa. Seperti...?

"Sebentar-sebentar...aku ingat!

Angkat bicara. Dengan antusian Andi mendesak adakah gerangan bisa diharapkan, pun mencoba. Ada yang putih mewangi yang dapat diharapakan tentang kabar si hitam mungkin, atau setidaknya Ibu dan Masnya.

"Di ujung sana ada Anang!"

"wandi, apa hubungannya dengan Anang?"

Jelas ada, jawab Wandi. Dengan singkat, dengan bergegas pula tanpa terselesaikan Wandi punya cerita, Andi langsung ngluyur meninggalkan Wandi seorang. Wandi berteriak memanggil, tapi Andi tak mau ambil pusing. Yang setengah itu sudah cukup baginya, yang setengah lagi adalah tangan yang bicara, kaki yang bertindak atas nama keadilan...begitu Andi mengilahkannya.

Makin cepat makin baik. Segera tuntas dan beres, segera setelah semuanya diselesaikan dengan pukulan. Gak bisa tidak, Andi dengan emosinya yang terlanjur tinggi.

"Anang tunggu!'

Akhirnya, di ujung desa yang dicarinya diketumukan. Sedang sendiri lagi, cocok karo impen. Satu lawan satu, kita buktikan tanpa ada main kayu dari orang lain. Yaa!

"Berhenti kataku!" dengan nada tinggi Andi meraih kerah baju Anang. Seketika itu bogem mentah mendarat telak di muka Anang, lagi dan lagi hingga tersungkur di tanah. Belum cukup, ditarik dan sekali lagi bogem mentah didaratkan di muka, pula di perut. Tak pelak lagi Anang meringis menahan sakit, menangis mengerang dengan muka yang benggak.

"Ayo bangun...terima ini, rasakan akibatnya coba main-main denganku. Mau mengkhianati aku yaa?"

Tidak ada cakap, tidak ada pula perlawanan. Begitu saja ditinggal tubuh Anang yang limbun ke tanah tak berdaya. Dengan tak berdosa menyeret ke ujung pohon dan dengan bergegas melepas pandang tanpa meninggalkan bekas. Lekas berlari, puas melemparkan amarahnya.

Biar kata tangan telah bicara, rasa kecewa masih ada dan menggelayuti. Andi tidak langsung pulang, melainkan sendiri dan menyendiri di sudut desa yang lain. Bermain dengan riak air yang dangkal lagi jernih, mengombang-ambingkan pucuk-pucuk daun di tepinya duduk.

Tidak ada yang lain dikerjakannya. Memandang air yang meninggalkan, berbaring merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Sekedar manjakan diri yang dalam kekalutan.

Jelang Magrib baru pulang. Landai, menciut dagunya dengan sesekali menendang-nendang jalanan yang berbatu. Merangkas daun-daun di sekelilingnya dengan sekali tebas langsung buang. Perasaan kesal!

"Assalamu 'alaikum...aku pulang!"

Tak ada senyum, tak ada raut muka menengadah. Yang ada hanyalah kepala tertunduk, muka merah dan tangan setengah mengepal. Luruh dan runtuh dinding-dinding hatinya, membekas luka bernanah.

"Duduk!"

"Lelah, aku mau tidur, Mas!"

"Duduk kataku!"

Suasana diam yang dipertontonkan. Mulut-mulut terkunci, mata dengan tajam memandang pada Andi yang kusut.

"Kau tau yang telah kau lakukan tadi siang, Andi?"

Diam...ambil pilihan. Tetap dengan sikapnya, menunduk melingkarkan badan. Menutup segala pandang yang tertuju ke padanya, membuang mata ke sudut kering lantai-lantai tanah.

"Dengar, sekarang kamu harus minta maaf pada Anang...sekarang!"

"Tapi?"

"Tidak ada tapi-tapian, minta maaf pada Anang dan berjanji takkan mengulanginya?"

Sekali lagi Andi hendak menyanggah, membela dirinya bahwa dia tak bersalah. Apa yang dilakukannya hanya akibat dari yang dideritanya. Apapun alasannya, Ananglah yang memulai lebih dulu. Dia mengambil si hitam!

"Nyolong katamu?"

"Dengar! Apa yang bisa marah cuman Andi? Si Mas yang biasanya tenang and kalem tiba-tiba meluapkan dirinya. Emosi meluncur karena kekesalannya pada adik yang disayanginya. Bagaimana tidak, sang adik main hakim sendiri asal gontok and pukul tanpa tahu duduk persoalannya.

"Dengar baik-baik, kau pasti akan menyesal mendengarnya!"

Saatnya mengerti. Alkisah dua tahun yang lalu. Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak.

Pertanyaannya, Untuk beli obat, uang dari mana?

Dari mana lagi kalau bukan ngutang. Terpaksa, semua dilakukan karena cinta dan sayang.

"Dengar!"

Dialah keluarga Anang, keluarga yang anaknya barusan dipukuli, dialah yang meminjami. Bahkan bukan sekedar meminjami, mereka tidak menuntut kapan harus mengembalikan dan berapa harus dikembalikan, tetapi jika ada saja dan kapan saja.

"Si Hitam...dengar baik-baik!"

Ketahuilah, sudah sepantasnya mereka memiliki si hitam. Sampai sekarang belum bisa membayar hutang.

"He Andi...mikir dong!"

Si Mas melanjutkan...Tapi saking baiknya mereka, asal tahu aja, mereka tidak pernah berniat mengambil si hitam. Si hitam tidak akan ke mana-mana, mereka hanya meminjam sementara.

"Sementara Mas!"

Yaa...sementara, sementara karena pick up rusak yang seharusnya buat mengangkut batu bata rusak

Sementara...

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun