Sejurus lamanya masing-masing dalam diam. Masing-masing dalam buah pikiran masing-masing. Masing-masing dalam penjelmaannya sendiri. Masing saling menahan kata.
Sesaat kemudian, Wandi berguman. Dia ingat, tapi di mana dan bagaimana dia agak lupa. Seperti...?
"Sebentar-sebentar...aku ingat!
Angkat bicara. Dengan antusian Andi mendesak adakah gerangan bisa diharapkan, pun mencoba. Ada yang putih mewangi yang dapat diharapakan tentang kabar si hitam mungkin, atau setidaknya Ibu dan Masnya.
"Di ujung sana ada Anang!"
"wandi, apa hubungannya dengan Anang?"
Jelas ada, jawab Wandi. Dengan singkat, dengan bergegas pula tanpa terselesaikan Wandi punya cerita, Andi langsung ngluyur meninggalkan Wandi seorang. Wandi berteriak memanggil, tapi Andi tak mau ambil pusing. Yang setengah itu sudah cukup baginya, yang setengah lagi adalah tangan yang bicara, kaki yang bertindak atas nama keadilan...begitu Andi mengilahkannya.
Makin cepat makin baik. Segera tuntas dan beres, segera setelah semuanya diselesaikan dengan pukulan. Gak bisa tidak, Andi dengan emosinya yang terlanjur tinggi.
"Anang tunggu!'
Akhirnya, di ujung desa yang dicarinya diketumukan. Sedang sendiri lagi, cocok karo impen. Satu lawan satu, kita buktikan tanpa ada main kayu dari orang lain. Yaa!
"Berhenti kataku!" dengan nada tinggi Andi meraih kerah baju Anang. Seketika itu bogem mentah mendarat telak di muka Anang, lagi dan lagi hingga tersungkur di tanah. Belum cukup, ditarik dan sekali lagi bogem mentah didaratkan di muka, pula di perut. Tak pelak lagi Anang meringis menahan sakit, menangis mengerang dengan muka yang benggak.