Oleh. Â Mbah Dharmodumadi
Tulisan ini tentu mengundang kita untuk merenung lebih dalam tentang konsep kesadaran dan bagaimana kita bisa lebih memahami dan merasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Aristoteles pernah mengatakan, "Kesadaran adalah jiwa yang berpikir,"Â sebuah pernyataan yang menunjukkan pentingnya kesadaran dalam proses berpikir dan memahami diri kita sendiri. Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan perjalanan dalam menyadari kesadaran kita melalui langkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan setiap hari.
Pertama, kita dapat memulai dengan mengamati pikiran dan emosi yang datang dan pergi seperti yang dijelaskan dalam latihan pertama. Ketika kita mengamati tanpa menghakimi, kita menciptakan ruang bagi kesadaran murni untuk muncul. Hal ini sejalan dengan pemikiran Descartes, "Cogito, ergo sum" -- Aku berpikir, maka aku ada. Namun, dalam proses meditasi, kita melangkah lebih jauh dengan melepaskan identifikasi dari pikiran tersebut.
Kedua, dengan mengamati jeda antar pikiran, kita belajar untuk menghargai momen-momen kesadaran murni. Epictetus, seorang filsuf Stoik, pernah berkata, "Hanya waktu saja yang dapat menunjukkan kepada kita apa yang tersembunyi dalam pikiran." Dalam jeda tersebut, kita menemukan inti sejati dari diri kita---keberadaan yang tak ternodai oleh kebisingan sehari-hari.
Langkah ketiga mengajak kita untuk berperan sebagai langit yang luas dan biru, di mana awan-awan pikiran dan emosi hanyut begitu saja. Menyadari bahwa kita adalah langit, dan bukan awan, adalah wujud pemahaman akan ketenangan batin. Ini mengingatkan kita pada ajaran Laozi tentang Dao, bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dan selalu berubah.
Latihan keempat, seperti dalam tradisi Zen, memimpikan kita untuk bertanya, "Apa ini? What is this?" Rasa ingin tahu yang murni ini membangkitkan kesadaran langsung dan membebaskan kita dari asumsi dan prasangka. Simak apa yang dikatakan oleh Rumi, "Jangan puas dengan cerita, bagaimana orang lain hidup. Wujudmu sendiri adalah 'apa ini' yang terungkap."
Dalam latihan kelima, kita diajak untuk mendengarkan keheningan di balik semua suara. Ini adalah usaha untuk menyelam lebih dalam ke dalam diri kita dan menemukan harmoni dalam keheningan. Alan Watts pernah mengatakan bahwa "Mungkin semua musik adalah upaya untuk merefleksikan kesunyian yang abadi." Kita menemukan kenyamanan dalam kebisingan hanya dengan memahami kesunyian yang ada di baliknya.
Melalui latihan keenam, tubuh menjadi alat kesadaran. Hanya dengan merasakan tubuh kita, kita dapat terhubung dengan saat ini. Tubuh adalah tempat di mana kesadaran dapat diwujudkan, sebuah pengingat bahwa keberadaan kita bersifat nyata dan tidak terpisahkan dari alam semesta.
Jeda setelah napas keluar, sebagaimana dikatakan dalam latihan ketujuh, memberikan kita ruang untuk menyadari diri yang sejati. Dalam kesunyian ini, kita kembali ke inti diri kita yang murni, sebagaimana Buddha ajarkan, "Dalam kesunyian pikiran, kita menemukan diriku sendiri yang tidak terganggu oleh ilusi dunia."
Latihan kedelapan memberi kita cara untuk melepaskan beban emosi: dengan napas dalam dan hentakan kecil ke paha sambil berteriak. Ini menandai pelepasan dari kekhawatiran sehari-hari yang sering kali membebani mental kita. Konsep ini serupa dengan ungkapan Nietzsche, bahwa kita perlu menari seolah tidak ada yang melihat kita---melepaskan diri dari belenggu sosial.