Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Gambar Hitam, Merah, dan Putih

9 Oktober 2023   17:32 Diperbarui: 10 Oktober 2023   13:33 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Iblis yang dikelilingi kegelapan (Dall-E)

Saya yang sedang PPL sebagai salah satu tugas akhir perkuliahan memutuskan untuk mengajar kelas hari ini disebabkan guru yang mengampu mata pelajaran tersebut tidak masuk. Dan untungnya pelajaran yang akan saya ampu adalah pelajaran SBK, seni budaya dan keterampilan. Yang mana pelajaran ini lebih kerap diisi dengan menggambar dibandingkan dengan keterampilan lainnya, dan karena saya tidak memiliki persiapan, saya jadi berpikir untuk membimbing mereka dalam menggambar.

Tapi menggambar apa? Jika disuruh menggambar maka anak-anak pasti hanya akan melukis sebuah rumah, sawah, gunung, dan matahari yang ada di sela-sela gunung tersebut.

Renungan  itu membuat saya berpikir sejenak, memainkan spidol sehingga menemukan sebuah ide. Aha! Eureka!

"Baiklah anak-anak! Sekarang kita semua akan menggambar!"

"Horeeee! Menggambar!"

"Yaah, menggambar lagi" ucap sebagian anak, lesu.

"Eits! Tapi sekarang kalian tidak hanya menggambar lho!" saya menahan napas dan membiarkan kelas menjadi sunyi, dengan suara yang perlahan tapi berat, saya melanjutkan " Sebab kalian hanya boleh menggambar hal-hal yang paling berkesan dalam kehidupan kalian, itu bisa benda, rumah, momen lucu atau memalukan, atau hal lainnya, setuju?!"

"Setujuuuuuuu!" suara mereka menggetarkan kelas.

Mulailah semua menggambar dan saya siap menunggu. Agar mereka fokus dalam menggambar, saya memberikan mereka waktu selama 20 menit dan sisa 10 menitnya kita gunakan untuk cerita. Dan untungnya mereka nampak antusias, kecuali seorang siswa laki yang nampak urak-urakan di pojok kelas yang hanya diam menatap kertasnya, kemudian mulai menggambar.

"Anak itu sangat nakal, ia tidak bisa diatur" Ucap seorang guru kepada saya beberapa hari yang lalu.

"Tidak ada yang tahu anak itu mau apa! Kadangkala ia pendiam banget, kadangkala nakal banget. Pastikan kamu bisa atasi dia, tapi jika dia nakal, hukum saja!" Ucap guru yang lainnya.

"Terakhir kali dia berantem dengan anak bupati disini, dan itu jujur buat kami khawatir karena anak bupati itu bengkak matanya". Ucapan satpam itu mengingatkan saya kembali.

Saya pada akhirnya memperhatikan anak itu lebih lama, namun ia hanya diam. Beberapa kali ia menghapus bagian yang salah dalam gambarannya dan kemudian kembali menggambar. Saya sendiri tidak tahu gambar apa yang sedang ia buat, hanya saja saya kerapkali melihat ia mengambil krayon hitam dan merah, kemudian menggambar lagi.

Saya juga memutuskan untuk menyambanginya namun karena setiap kali saya mau melihat ia menggambar apa, ia menutup gambarannya. Membuat saya memutuskan untuk menunggu waktu agar peserta didik segera menyelesaikan tugasnya.

"1 Menit lagi" ucap saya dan membuat mereka panik.

"Belum pak guruuuuuuu" ucap mereka bersahutan.

"Nggak apa-apa, fokus gambar yaaa" saya membalas.

Dan kelas kembali kondusif.

Pada akhirnya waktu telah habis sehingga saya kemudian berdiri dari kursi dan menuju ke depan meja mereka semua. Saya memperhatikan mereka satu persatu dan nampak mereka juga memperhatikan saya. 

Saya menebak bahwa mereka takut untuk disuruh bicara terkait gambar yang telah mereka buat, namun bagaimanapun aturan adalah aturan, dan aturan harus ditepati.

"Siapa yang mau maju untuk menceritakan duluan?" saya menggoda dan peserta didik terdiam.

"Saya pak guru!" sahutan antusias berasal dari meja paling kanan, seorang cowok berdiri sembari mengacungkan tangan.

"Oke, Sahrul. Silahkan maju kedepan kelas dan ceritakan"

Sahrul kemudian berjalan dengan bangga sementara kertas gambar yang berada di tangan kanannya berayun-ayun mengipas. Di depan kawan-kawannya ia kemudian menunjukkan sebuah gambar yang tidak asing untuk para penggemar sepakbola.

"Ini adalah Ronaldo, dan dia adalah tokoh favorit saya! SUUUUUUUUUUU!" Ucapnya teriak sembari melompat bak Ronaldo dan membuat saya terkaget. Beberapa temannya yang berada dibelakang juga ikut berteriak; suuuuuu!

"Oke Sahrul, terima kasih atas ceritanya! Ayo semuanya tepuk tangan kepada Sahrul!---nah adik-adik, lihat Sahrul punya seorang idola pesepakbola bernama Ronaldo, pak Guru yakin kalian juga punya idola kalian masing-masing, pastikan idola kalian adalah orang yang layak kalian tiru yaaa!"

"Iyaaaaa!"

"Oke sekarang giliran yang perempuan! Ayo yang cewek, siapa yang mau maju?"

Tidak ada yang menjawab.

"Kalau nggak ada yang mau maju, bapak tunjuk yaaa!"

Masih tidak ada jawaban, beberapa murid membuang pandangan agar tidak terlihat mata saya.

"Baiklah! Biar bapak tunjuk. Hmmmm....siapa yaaa? Nah, Ipania! Kamu sepertinya mau maju!"

"Iiiih pak Guru....maluuuuu!"

"Tidak boleh malu! Ayo semuanya, kita semangati Ipania! Ayo maju-maju, jangan malu-malu!"

Kelas menjadi riang dengan dipenuhi nyanyian dan Ipania dengan wajah kesal beringsut maju kedepan. Didepan kelas ia kemudian memperlihatkan gambarannya.

"Aku gambar sebuah gunung...." Ucapannya menggantung, saya menunggu namun tidak ada balasan. Akhirnya saya memfollow up-nya dengan bertanya.

"Mengapa menggambar sebuah gunung Ipania? Ada apa dengan gunung? Apakah Ipania pernah punya pengalaman berkesan tentang gunung?"

"Nggak pak, tapi aku punya cita-cita untuk bisa mendaki gunung"

"Waaah, gunung apa nih yang mau di daki?"

"Gunung apapun!"

"Keren cita-citanya, tapi pelan-pelan yaa, bisa dimulai dari mendaki bukit terlebih dahulu, dan kalau sudah cukup dewasa dan kuat, kamu boleh coba daki gunung Rinjani"

"Siap pak Guru"

Kelas kembali menjadi seru dan peserta didik bergantian menceritakan tentang gambar yang mereka buat. Ada yang menggambar anjing karena trauma pernah dikejar, ada juga yang menggambar buah sebab suka memakan buah tersebut, beberapa murid dari luar daerah menggambar kampung halaman sebab rindu dengan kampung halaman mereka.

"Tidak usah khawatir, selama masih ada rumah, selama itu juga kita masih punya alasan untuk pulang," ucap saya menyemangati mereka.

Saya memperhatikan jam dan sebentar lagi kelas akan selesai. Akan tetapi rasa penasaran saya tertuju kepada anak lelaki di pojokan kelas yang dikenal bermasalah oleh para guru, dan sedari tadi, saya tidak melihat dirinya memiliki keinginan untuk maju.

"Rahel...." Saya memanggil dan bocah itu mengangkat wajahnya.

"....Giliran kamu" saya menyambung.

Awalnya Rahel diam untuk beberapa lama dan teman-temanya yang lain tidak menggubris, sampai kemudian ia berdiri dari bangkunya dan berjalan ke depan kelas. 

Ia ragu dan memandang teman-teman didepannya, saya memegang pundaknya untuk memberikan semangat dan ketika ia membalikkan kertas gambar, kami semua terdiam. Dengan bibir gemetar, ia kemudian bercerita;

"Ketika aku masih kecil...tepat ketika aku selesai bermain layang-layang, aku melihat ibuku mati tergantung di dapur. Ia gantung diri menggunakan sarung dan wajahnya tepat menghadapku, dan ketika aku melihat wajahnya saat itu, ia melotot dengan lidah yang terjulur keluar..."

"...Seperti gambar ini, aku mencoba menggambar wajah ibuku kala itu, hal yang buat aku takut sama tempat gelap dan nggak mau ikut kemah di hutan kemarin...aku takut sama gelap, karena setiap kali aku lihat tempat yang gelap, aku terkadang bisa lihat wajah ibuku disana dengan kepala bengkok dan lidah yang terjulur..."

"...Kata orang-orang tempat aku tinggal, aku anak haram. Sampai sekarang aku nggak tahu apa maksudnya itu, tapi ibuku pernah cerita kalau aku dilahirkan tanpa ayah, yang artinya, aku yatim...sama seperti di gambar ini, ayah aku gambar sebagai sosok putih yang berdiri disampingku, aku nggak buatkan dia mata, hidung, rambut, juga mulut, karena ia nggak pernah ada, dan aku juga nggak pernah ketemu dia"  tangan kanannya kemudian menunjuk sebuah gambar anak kecil yang digambar dengan warna merah "Sementara ini aku... aku gambar diriku pake crayon merah karena katanya yang haram haruslah bewarna merah, tapi malah lebih terlihat kayak iblis dibandingkan aku...."

"...Oh iyaa, karena kedua orangtuaku nggak ada, akhirnya aku nggak dibesarkan oleh ibuku seperti kalian semua, melainkan tanteku. Tanteku selalu menyuruh aku melakukan apapun, belanja pergi barang ke pasar, menjual kue di terminal, dan menimba air sumur. Itu membuat aku capek, dan kadang aku nggak bisa konsentrasi dalam kelas juga sering nggak bisa kontrol emosi yang buat aku jadi sering berantem, aku minta maaf banget pada Rio yang pernah aku buat bengkak matanya...Di gambar ini, aku gambar tanteku sebagai monster babi yang berada jauh dibelakangku, karena nggak hanya jahat, ia juga galak dan selalu buat aku takut karena aku akan dihukum kalau nggak ikuti kemauannya..."

"...dan lingkaran bewarna gelap ini, adalah kalian...aku buat gelap karena aku nggak pernah nyaman dan selalu takut sama kalian, nggak tahu kenapa, rasanya aku sering ditinggalin dan sering ngerasa sendiri di kelas ini...aku ngerasa nggak pantas untuk siapapun, dan nggak pantas untuk ada dimanapun, jadi aku lebih suka sendiri daripada sama kalian..."

"...begitu pak guru, cerita gambarku" Rahel mengakhiri cerita dengan suara tangisan yang ia tahan. Saya melihat dirinya sedikit gemetar sehingga membuat saya memijat-mijat pundaknya.

Kelas menjadi sepi. Bahkan saya tidak tahu harus berkata apa.

"Uhm...Pak Guru, sebenarnya anak haram itu apa?" pertanyaan melayang gemetaran dari bibirnya, hal yang kemudian membuat saya menengok kepadanya.

Rahel menatap saya yang masih belum bisa berkata-kata dengan tatapan yang memiliki embun pada sudut mata. Sementara detik berlalu dalam kesunyian kelas, saya memutuskan untuk membelai rambutnya.

"Ya pak guru! Anak haram itu apa! Soalnya bapakku juga pernah bilang kalau salah satu temen mainku itu adalah anak haram! Dan aku nggak boleh deket sama dia!" ucap Sahrul antusias sembari berdiri.

"Ya pak guru! Anak haram itu apa?!" Rena, siswa perempuan yang duduk didepan saya juga bertanya.

Kelas kemudian menjadi ribut dan tidak lagi kondusif. Opini siswa dan siswi berseliwaran di dalam kelas dan menjadi gaduh, saya mengangkat jemari ke bibir agar mereka diam. Dan perlahan, kelas menjadi sepi kembali.

 "Anak haram itu...." Saya diam sejenak dan memperhatikan mereka semua sembari mengacak-acak rambut Rahel. 

"...Adalah istilah untuk anak-anak spesial di muka Bumi yang dilahirkan dengan mental dan tubuh yang lebih kuat dibandingkan dengan anak yang lainnya. Anak haram artinya ksatria, karena mereka dilahirkan Tuhan untuk bertarung melawan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Jadi tugas kalian sebagai anak yang tidak haram...adalah untuk membantu mereka ngelawan ketidakadilan itu, paham?!"

"Paham pak guru" ucap mereka serentak.

Saya kemudian mempersilahkan Rahel duduk kembali di bangkunya dan saya segera menutup kelas.

"Oke adek-adek, bapak mau kalian menempel gambar itu di dinding yaa, bapak suka melihat gambarnya!"

"Iya pak guru"

Akhirnya saya bisa keluar kelas dengan perasaan tenang kendati masih panik karena mendapatkan pertanyaan seperti itu; sungguh pertanyaan yang tidak terduga yang dapat dilontarkan anak SD. Saya menggunakan almet hijau dan kembali ke posko, menarik napas dan merebahkan badan. Capek.

"Habis ngajar ya?" Tanya Mia, teman PPL saya.

"Nggak hanya ngajar, tapi dihajar" jawab saya sekenanya dan membuat dia tertawa.

Diluar lonceng kelas berbunyi yang menandakan kelas telah berakhir. Kawan-kawan PPL saya bersiap-siap untuk pulang dan memasukkan barang-barang kedalam tas. Ketika saya menyiapkan barang, saya lupa bahwasanya binder saya tertinggal didalam kelas. Membuat saya bergerak menuju kelas tersebut kembali.

Sembari saya membuka pintu lukisan-lukisan peserta didik telah tertempel di dinding, saya mengamati satu persatu dan mengernyit ketika melihat gambarnya Rahel. Gambar itu sedikit berubah sebab lukisan anak kecil ditengah yang bewarna merah kini telah memiliki dua buah sayap bewarna putih, dan ia kini memegang pedang dan perisai layaknya ksatria. Dan hal yang membuat saya terkejut adalah tepat dibelakangnya sesosok malaikat bewarna putih dengan pakaian hijau berdiri, seolah membuat semua gelap menjadi putih.

Pakaian malaikat itu, sehijau almet saya.

Salah satu gambar peserta didik saat saya PPL (Dok Pribadi)
Salah satu gambar peserta didik saat saya PPL (Dok Pribadi)

Bahan cerita ini terinspirasi ketika saya mengajak mereka menggambar ketika saya PPL di salah satu sekolah di Mataram. Seorang anak menggambar dirinya yang sendirian, namun kemudian memiliki teman dan melakukan banyak hal. Kehidupan ternyata bisa seindah itu!

Baca Juga: Cerpen Kita Semua Hari Ini

Baca Juga: Cerpen Buyung dan Orang-Orang Negeri Bunian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun