Dari Mei menuju Juni
Kupahami yang berlalu memang mesti berlalu
Dan kupahami apa yang tidak terjadi memang sebaiknya tidak terjadi
Pada jalan-jalan yang sunyi-senyap, rinduku terlahir untukmu
Dan kisah cinta yang kukira kita, biarlah semua berlalu
Jangan ceritakan kepada senja betapa jauh jarak kita
Sebab ia akan terisak lalu mengutuk janji yang pernah kita bina
Jangan sampaikan kepada awan, betapa redupnya harapan kita
Sebab ia akan murka dan hujannya akan membanjiri aurora
Dari Mei menuju Juni
Kupahami pahitnya hidup hanyalah setetes kopi
Dan manisnya hidup hanya secangkir ilusi
Kemudian masalah-masalah yang membuat kita retak
Dan kejadian-kejadian yang membuat kita sesak
Lalu takdir yang membuat kita doyong berderak-derak
Hanya alinea puisi di bulan Mei
Sebab kini kubuat puisi baru di bulan Juni
Dari Mei menuju Juni
Yang lalu janganlah di ungkit lagi
Sebab hari ini, esok, lusa, atau nanti
Kau dan aku pasti menjadi puisi
Menjadi bait, menjadi alinea, menjadi sajak,
Menjadi kasih, menjadi melodi, menjadi karsa
Kau dan aku menjadi karya
Kau dan aku menjadi kita.
Kau dan aku menjadi cinta.
Maka dari Mei menuju Juni
Kutitipkan salam kepada Mei
Kulebarkan dada kepada Juni
Akan kupeluk ia dan kujaga
Tak akan kulepas sampai Tuhan meminta
Puisi yang saya buat untuk bulan Mei, perihal doyong berderak-derak saya ambil dari sajak Taufiq Ismail pada puisinya, Ketika Burung Merpati Sore Melayang. Pun kalau anda mau membaca puisi saya yang lainnya, silahkan berkunjung pada Lambaian Januari di Antara Akhir Tahun Yang Menanti, Rumah Bersamamu, atau Kau Bukan Istana Kaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H