Aku diam dan tidak bisa berpikir apa-apa. What a paradox! Bagaimana mungkin seseorang menangkap ikan yang semestinya untuk dimakan digunakan untuk memancing ikan lainnya? Suara deburan pantai memenuhi otakku, dan aku masih belum bisa menjawabnya.
Pria itu seperti tidak menunggu diriku untuk bertanya dan lebih fokus kepada bagaimana kailnya yang ia lemparkan ke laut. Benda mungil itu mengambang dihempas ombak; maju mundur, maju mundur, maju mundur. Berkali kali, namun tidak ada ikan yang berani.
Pagi itu aku ada kelas, dan segera aku pamit kepada bapak tersebut. Meninggalkan pantai Ampenan dengan melodi alam yang ia miliki.
Percakapanku berikutnya kulakukan saat sore hari sembari membawa kacang dan jagung yang aku beli dari pedagang keliling. Aku duduk diatas batu, disamping para pemancing yang memandang ke samudera luas yang terbentang. Pada pesisir pantainya terdapat pipa yang masuk kedalam pasir, pipanya dimasukkan pancing sehingga berdiri dan benang pancing itu menuju ke laut. Terombang ambing menunggu ikan.
"Kacang pak?" tawarku menunjukkan sebungkus kacang dan jagung
"Nggak dek, ini udah kami siapkan" ucapnya sembari menunjukkan sekeranjang kacang yang membuatku terdiam malu.
"Udah dapat ikan pak?"
"Belum dek, belum dapat rezeki"
"kalau boleh nanya pak, orang-orang disini biasanya mancing dari jam berapa?"
"Tergantung, kadang ada yang dari sore sampai malam, ada juga yang sampe pagi. Beda-beda orang dek"
"Emang bapak kalau mancing selalu dapat ya?"