"Kenapa berhenti bermainnya? Sudah tidak asik lagi ya? Atau kalian sudah tahu?"
Mereka mengenal suara itu, namun kini suara itu tidak lagi tenang dan hangat, melainkan begitu berat seolah lelaki itu hidup untuk merokok dan berteriak. Ketika mereka menghadap pada lelaki tersebut, mereka berdua berteriak sampai membuat jangkrik dan kodok bingung bukan main.
Bukan karena apa, melainkan kini wajah pangeran itu menjelma buruk rupa; wajahnnya yang kuning langsat dan mulus ternyata penuh keriput. Dirinya pun kurus kering sampai matanya hampir keluar. Mereka tidak pernah menemukan manusia sekurus dan seburuk itu dalam kehidupan mereka, dan jikapun ada, mereka jamin bahwa makhluk itu bukan manusia.
Rasa takut yang memeluk erat membuat mereka tidak bisa bergerak sementara langkah orang-orang Bunian semakin dekat dan bersahutan. Mereka semua sama, mereka tersenyum kepada Buyung dan Udin, sayangnya dengan wajah seperti itu, sangat sulit untuk membedakan mana senyuman dan seringaian.
Buyung yang lebih dahulu sadar mengambil tindakan dengan mengambil tanah dan melemparkannya kepada mereka dengan panik. Ia kemudian menarik Udin sembari mengambil lampu pijar yang mereka tinggalkan.
Mereka berdua lari terbirit-birit diiringi suara tawa orang Bunian yang dalam dan berat. Pijakan mereka menginjak apapun yang ada didepan mereka. Bahkan sesekali mereka tersandung sebab akar-akar kayu yang mencuat pada permukaan tanah.
Tawa orang Bunian tetap ada, namun semakin pudar selagi mereka berlari. Buyung yang didepan terus berlari sampai tidak sengaja merasa sendalnya terputus. Namun ia tidak peduli. Bersama Udin, ia menerobos belantara hutan yang diisi kunang-kunang dan serangga yang bernyanyi, meninggalkan orang-orang Bunian dan tidak pernah menoleh lagi.
Mereka mengingat betul kejadian tersebut, dan realitas mereka semakin membuat mereka mengingat bahwasanya gulali-gulali tersebut adalah kumpulan belatung yang saling menyatu, coklat tersebut adalah tanah busuk serta lumerannnya adalah lumpur yang tidak kalah busuknya juga, permen tersebut adalah kumbang dan kecoak yang mereka jilat, sementara wahana itu adalah sekumpulan batu nisan dan kayu-kayu rapuh.
Mereka mengingat betul wajah orang Bunian tersebut namun mereka tidak pernah tahu darimana makhluk-makhluk itu berasal. Wajah mereka yang nampak tak berdaging dengan gigi yang mencuat dari bibir mereka serta mata yang terlihat hampir keluar dari rongganya selalu membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Orang-orang mungkin akan menyebut mereka jin atau setan seperti yang diajarkan guru ngaji mereka, namun seperti kisah turun temurun dari para leluhur, mereka semua sepakat menyebut makhluk tersebut dengan satu nama; Suku Bunian.