Saat ditanya tentang program magang yang dijalaninya, Yogi menjawab, “Saya pergi ke Jepang pertama kali pada tahun 1999 karena lulus seleksi program pemagangan yang diadakan Kemnaker (dulu Depnaker) selama 3 tahun. Setelah itu saya balik ke Indonesia dan bekerja di HPPM (Honda Precision Parts Manufacture) yang ada di kawasan industri Bukit Indah City (BIC) Purwakarta.”
Saat bekerja di Purwakarta inilah Yogi menikah dengan istrinya yang asal Jepang. Mereka bertemu ketika Yogi mengikuti program magang.
Yogi dan istri tinggal di Indonesia tidak sampai tiga tahun, lalu mereka memutuskan untuk pindah/kembali lagi ke Jepang. Dikaruniai dua anak laki-laki, sekarang Yogi dan keluarga berdomisili di daerah Iizuka, Fukuoka.
Wawancara kami tentang budaya kerja di Jepang memunculkan bayangan situasi bekerja di sana. Salah satu poin yang menonjol adalah tentang ketepatan waktu dan konsekuensinya.
“Saya belum pernah terlambat kerja karena kesiangan. Kalau karena alasan pribadi kita terpaksa datang telat; misalnya kalau terlambat 2 jam, gaji tidak dipotong. Tetapi 2 jam tersebut kita bayar dengan mengurangi jatah cuti selama 2 jam,” jelasnya.
Terasa mendetail sekali aturannya.
Lebih lanjut dia memberikan gambaran tentang jam kerja. “Di perusahaan saya bekerja dari jam 8.00–17.10. Istirahat dari jam 12.10–13.00. Ada waktu istirahat 10 menit dari jam 15.00– 15.10.” Kami lalu bertanya apakah ada kerja lembur, dan dijawab, “Ya, ada. Karyawan bisa memilih dari dua sistem lembur.”
Yogi kemudian menjelaskan lebih jauh. “Dalam 1 tahun kami bisa pilih bekerja lembur maksimum 42 jam dalam jangka waktu 6 bulan atau kerja lembur maksimum 80 jam dalam waktu 6 bulan. Terserah kita kapan/harinya mau lembur. Kapan saja bisa. Tapi intinya, pada saat dihitung totalnya di akhir tahun, jam lembur kita tidak melebihi 42 jam atau 80 jam. Biasanya ada pengumuman kalau perusahaan sedang sibuk, kita boleh lembur lebih dari 42 jam.”
Di perusahaannya ini jam lembur dihitung per menit. Pulang lebih dari jam 17.10 sudah terhitung jam lembur. “Pada dasarnya tidak ada pemaksaan, kerja lembur bukan kewajiban. Tapi sukarela atau kesadaran masing-masing. Kita pengertianlah…, ketika perusahaan sibuk, enggak enaklah kalau kita enggak lembur,” komentar Yogi.
Dalam wawancara, disinggung tentang hubungan hirarki senior dan junior di perusahaan Jepang yang kami dengar lumayan strict. Kami lalu bertanya apakah posisi senior-junior itu dilihat dari posisi/jabatan kerja atau berdasarkan usia.
“Sistem senpai-kouhai (senior-junior) masih ada. Berdasarkan jabatan pastinya ada hirarki. Tapi, walaupun senior usianya lebih muda, kita panggil nama dia dengan akhiran `san`. Sebaliknya, meskipun junior kita lebih tua, kita panggil nama dia dengan akhiran `san` juga.”