Kita simak pengalaman Sari dari wawancara di bawah ini.
“... orang lain dan teman-teman punya pendapat pro & kontra dengan pekerjaan meramal ini. Apalagi jika dikaitkan dengan ajaran agama yang saya anut. Namun, life must go on. Buat saya ini keahlian yang baik dengan niat yang baik. Mengapa harus memusingkan omongan orang atau anggota keluarga yang tidak paham? Dan seperti pekerjaan lainnya, jasa saya dibayar dan dihargai.” Sari yang berdomisili di kota Samarinda ini berkomentar.
“Saya bersyukur karena waktu mulai meramal, mama saya masih hidup. Beliau sangat mendukung dan bahkan sempat menjadi klien tarot saya. Jadi saya tambah semangat, dong.”
Apa betul peramal harus terkesan misterius seperti di film-film?
Haha! Ya, nggaklah. Contohnya saya. Penampilan biasa saja, dari belum berhijab sampai sekarang berhijab. Biasa saja. Kecuali, kalau untuk keperluan majalah baru disuruh dandan heboh. Menurut saya mayoritas tarot readers malah tidak menjadikan penampilan sebagai nilai jual atau ciri khas.
Pada usia berapa Sari mengenal kartu tarot?
Mungkin sekitar awal umur 30-an.
Kapan memutuskan untuk mempelajari kartu tarot dan akhirnya mencoba meramal?
Tepatnya kapan saya lupa, yang pasti gara-gara saat itu mendapat bonus kartu tarot arkana mayor dari satu majalah wanita. Lalu saya iseng belajar sendiri. Itu sepertinya sekitar pertengahan tahun 2000-an. Pada awal belajar tarot, saya coba tanpa bantuan buku panduan, dan entah kenapa, saya langsung bisa tune-in. Apa karena jumlah kartu arkana mayor hanya 22 kartu, ya. Saya kurang jelas juga waktu itu.
Bisa ceritakan sedikit tentang latihan meramal?
Saya usahakan latihan setiap hari. Mulai dari meramal memakai satu kartu, hingga tiga kartu. Setelah puas latihan dengan menjadikan diri sendiri kelinci percobaan, kemudian saya beranjak meramal orang-orang di sekitar. Dari saudara di rumah sampai sahabat.