Mohon tunggu...
Mayra Natalia 41220110009
Mayra Natalia 41220110009 Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mayra Natalia_41220110009_Fakultas Teknik_Jurusan Arsitektur Pendidikan Anti Korupsi & Etik UMB (Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Diskursus Sigmund Freud dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

24 November 2024   01:01 Diperbarui: 24 November 2024   01:02 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A. Pendahuluan

Korupsi merupakan salah satu bentuk patologi sosial yang telah menjadi masalah kronis di Indonesia, berkontribusi pada kerusakan moralitas, tatanan ekonomi, serta nilai-nilai demokrasi. 

Fenomena ini mencerminkan gangguan dalam harmoni sosial, di mana kepentingan pribadi lebih sering diutamakan daripada kepentingan publik. Sebagai bentuk kejahatan terorganisir, korupsi tidak hanya merugikan negara secara ekonomi tetapi juga menimbulkan ketidakadilan sosial yang meluas.

Dalam perspektif psikoanalitis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh konflik yang terus-menerus antara tiga komponen utama kepribadian, yaitu id, ego, dan superego. 

Id, sebagai pusat dari dorongan primal dan naluri, mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan tanpa memperhatikan konsekuensi moral. Superego, di sisi lain, bertindak sebagai pengendali moralitas yang berakar pada nilai-nilai sosial. 

Di antara keduanya, ego berperan sebagai mediator, berusaha menyeimbangkan tuntutan id dan superego sambil mempertimbangkan realitas eksternal. Konflik ini sering kali menjadi dasar bagi perilaku koruptif, terutama ketika ego gagal mengontrol impuls destruktif dari id, atau ketika superego melemah karena lingkungan sosial yang permisif terhadap penyimpangan.

Diagram ini menggambarkan hubungan antara id, ego, dan superego dalam perilaku manusia, dengan elemen-elemen utama dijelaskan:

  • Id berada di bagian bawah laut (unconscious mind), mewakili dorongan primal dan naluri.
  • Ego di antara bagian bawah dan atas (conscious mind), bertindak sebagai mediator.
  • Superego berada di puncak (conscious mind), berfungsi sebagai kompas moral.

B. Alasan Fenomena Korupsi

Korupsi sering kali muncul sebagai akibat dari lemahnya nilai-nilai moral individu serta pengaruh tekanan sosial yang signifikan. Secara mendasar, nilai moral yang seharusnya menjadi pengendali perilaku cenderung tergeser oleh kepentingan pribadi yang didorong oleh hasrat egoistik. 

Dalam perspektif teori psikoanalisis Sigmund Freud, perilaku korup dapat dipahami sebagai hasil dari konflik yang tidak seimbang antara dorongan primal (id), yang bertujuan untuk mencapai kepuasan tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral, dan kendali moral (superego), yang mewakili norma-norma sosial dan moralitas.

 Ketika ego, yang berfungsi sebagai mediator, gagal menyeimbangkan kedua komponen ini, perilaku manipulatif dan tidak etis seperti korupsi cenderung muncul.

Selain itu, lingkungan yang permisif terhadap pelanggaran, seperti sistem hukum yang tidak konsisten atau budaya kerja yang mendukung penyimpangan, memberikan ruang bagi individu untuk melegitimasi tindakan korupsi mereka. 

Lingkungan semacam ini tidak hanya mengurangi efek pengendalian superego tetapi juga memperkuat impuls destruktif dari id, sehingga perilaku koruptif semakin mengakar. 

Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah moral individu, melainkan juga hasil dari interaksi kompleks antara psikologis dan lingkungan sosial yang mendukung penyimpangan.

pribadi
pribadi

Penjelasan:

  • Ego berada di tengah, mencoba menyeimbangkan pengaruh Id (dorongan primal) dan Superego (moralitas).
  • Lingkungan yang permisif terhadap pelanggaran serta budaya korupsi yang melemahkan moral memberikan tekanan besar pada Ego, membuatnya sulit mengendalikan dorongan Id.
  • Akibatnya, Ego gagal mempertahankan keseimbangan, mendorong perilaku koruptif.

C.Analisis Solusi

ini mendalami bagaimana pendekatan psikoanalitis Sigmund Freud dapat diterapkan untuk menangani fenomena korupsi melalui tiga langkah utama, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan rehabilitasi sistemik. Setiap langkah ini dirancang untuk memahami dan memengaruhi dinamika kepribadian individu serta lingkungan sosial yang mendukung perilaku koruptif.

1. Pencegahan: Menggunakan Pendidikan Moral untuk Memperkuat Superego

Pendekatan pencegahan menekankan pentingnya pembentukan superego sejak usia dini. Superego, yang berperan sebagai panduan moral dalam teori Freud, berkembang melalui internalisasi nilai-nilai dan norma-norma sosial. Pendidikan moral sejak masa kanak-kanak berfungsi untuk memperkuat superego sehingga individu lebih mampu menahan dorongan impulsif dari id, seperti keinginan akan kekuasaan atau kekayaan tanpa batas.

Freud percaya bahwa pengalaman masa kecil memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Orang tua, pendidik, dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan rasa tanggung jawab kepada anak-anak. Ketika superego individu kuat, peluang untuk terlibat dalam perilaku koruptif di masa depan dapat diminimalkan

2. Pemberantasan: Mengidentifikasi Dorongan Bawah Sadar melalui Terapi Psikoanalitik

Dalam tahap pemberantasan, pendekatan psikoanalitis dapat digunakan untuk membantu individu mengidentifikasi dan memahami dorongan bawah sadar yang mendorong perilaku koruptif. Dorongan ini sering kali berasal dari trauma masa kecil, ketakutan akan kegagalan, atau kebutuhan kompulsif untuk memperoleh kekuasaan dan pengakuan.

Melalui terapi psikoanalitik, individu dapat menggali konflik psikologis yang tersembunyi di alam bawah sadar mereka. Misalnya, seorang individu yang terlibat dalam korupsi mungkin memiliki pengalaman masa lalu yang menanamkan rasa ketidakamanan atau keinginan untuk melampaui batas moral demi memenuhi ekspektasi. Dengan mengidentifikasi penyebab utama ini, terapi psikoanalitik membantu individu untuk mengubah pola pikir dan perilaku yang merugikan.

3. Rehabilitasi Sistemik: Merancang Lingkungan Kerja yang Bebas dari Insentif Korupsi

Selain menangani individu, pendekatan psikoanalitis juga dapat diterapkan pada tingkat kelompok atau organisasi. Psikoanalisis membantu memahami dinamika kelompok yang dapat memengaruhi perilaku anggota. Dalam konteks korupsi, dinamika seperti budaya permisif, tekanan sosial, atau ketidakjelasan peraturan dapat menciptakan insentif untuk melakukan pelanggaran.

Melalui pendekatan ini, organisasi atau pemerintah dapat merancang lingkungan kerja yang lebih sehat, di mana norma-norma yang mendukung integritas ditegakkan, dan mekanisme pengawasan diperkuat. Program pelatihan psikologi kelompok, seperti refleksi atas nilai-nilai kerja, penguatan kepemimpinan moral, dan pemberdayaan kolektif, dapat membantu menciptakan budaya kerja yang mengurangi risiko korupsi.

D.Kesimpulan

Pendekatan Freudian menawarkan perspektif unik dalam memahami akar psikologis dari korupsi. Melalui pendidikan, pengawasan moral, dan intervensi berbasis psikoanalisis, masalah korupsi bisa ditangani secara lebih mendalam.

E.Daftar Pustaka

  1. Freud, S. The Ego and the Id. (1923)
  2. Erikson, E. Childhood and Society. (1950)
  3. Artikel: Fenomena Korupsi Sebagai Patologi Sosial di Indonesia, Neliti.
  4. Universitas Psikologi. Teori Psikoanalisa Freud.
  5. Laporan BPS tentang Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun