Mohon tunggu...
Maygiva Ayu Prasadani
Maygiva Ayu Prasadani Mohon Tunggu... wiraswasta -

23| Koki| Pecinta Fiksi Kota Budaya \Ay/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Lian

22 Januari 2017   18:59 Diperbarui: 22 Januari 2017   19:04 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Jalanan ini sudah berubah. Gaduh. Suara klakson mobil beradu dengan deru kendaraan yang  memadati jalan raya, memekikkan telinga. Jauh lebih bising daripada dulu. Sementara sepuluh tahun yang lalu, ada, tempat di seberang jalan raya, berupa tanah lapang yang cukup luas untuk bermain bola. Dan aku biasanya menunggu sembari tak henti menatap wajah seorang anak laki-laki ketika ia bersama teman-temannya menggiring bola ke gawang yang terbuat dari potongan-potongan bambu.

 Sekarang, jejak kaki telanjangnya di tanah basah tak lagi kutemukan. Aku mulai merindukan percakapan-percakapan sederhana itu. Ah, mengapa memori itu mendadak mengelilingi pikiranku?

 Sepuluh tahun yang lalu, di tempat ini selalu ada aroma lumpur yang tertinggal setiap kali hujan turun dari kaki-kaki langit. Butirannya melesat turun ke atap rumah, ke dedaunan, lalu jatuh meresap tanah—menumbuhkan beberapa kelopak mawar liar. Namun, kini yang nampak di mataku hanya bangunan pusat perbelanjaan dan baliho yang terpampang cukup besar. Pohon kersen itu telah mati. Hampir tak ada tanaman, kecuali beberapa rumput yang tumbuh di samping pagar.
 Beberapa hal memang berubah, tetapi bagian yang tak kumengerti, aku masih saja merindukan mata bening bak sepasang telaga miliknya. Di mana ia sekarang? Aku tak pernah tahu kabarnya  lagi semenjak lelaki itu memutuskan pergi meninggalkanku, meninggalkan tempat ini beserta serentetan kisah yang telah terkemas menjadi sejarah.

 Rasanya baru kemarin kami bermain bersama. Di sini, di tempat ini. Dan, tiba-tiba sudah sepuluh tahun.
 Buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.    

 “Pakai crayon yang biru atau yang hijau?”

 “Biru, pakai yang biru, Va.”

 Va, seorang gadis kecil yang lebih sering bertahan dengan pendiriannya, mendadak menjadi perempuan penurut. Va  menuruti perintah-perintahnya bagai murid kepada gurunya.

 Bagi Va, Lian seperti guru. Ia terlihat hampir sama denganku, juga anak-anak lainnya tentu saja, karena badannya yang tak seberapa tinggi itu. Akan tetapi, aku mengaguminya. Ia terlihat lebih dewasa bagi anak seumurannya. Mungkin itu yang membuat ia selalu terpilih dan tampil menjadi kapten teman-temannya saat bermain bola. 

 Aku berputar-putar di tempat ini sendirian, dengan kaki telanjang. Sekelebat, di mataku seakan menangkap sepasang anak. Seorang laki-laki dan perempuan sedang asyik mengobrol dan berdebat. 

 “Mau ini?”

 “Apa itu?”

 “Buah..”

 “Buah apa?”

 “Buah kecil-kecil.”

 Lian suka memanjat. Laki-laki itu sering memanjat pohon kersen yang terletak di dekat tanah lapang di sini, lalu mengambil buahnya yang sekiranya telah matang berwarna merah terang, dan membaginya denganku. 

 “Enak, kan?”

 “Apa nggak takut jatuh?”

 “Nggak bakal jatuh!” 

 Va lebih mengkhawatirkan jika anak lelaki itu kakinya lecet karena terjatuh dari pohon kersen dibanding nafsunya untuk menikmati manisnya buah kersen. Oleh sebab itu, Va suka mengomelinya. Memarahinya setiap ia memanjat pohon. Va selalu berteriak-teriak di bawah sambil memandangi Lian saat ia mengambil buah-buah itu. Namun, bocah itu selalu nekat. Lian sepertinya menikmati omelanku. Bahkan, ia memasang wajah mengejek. Seolah menantangku berkali-kali. 

 Suatu hari, Lian terjatuh. Kepalanya terbentur batu. Tak henti-hentinya darah mengalir, membasahi tubuh kecilnya. Aku melolong-lolong. 

 Hampir tiga puluh hari, Lian tak pernah keluar dari rumahnya. Orang tuanya tak mau menerima kunjunganku. Aku hanya bisa mengintipnya di balik kaca jendela kamarnya. Lalu ia tersenyum kepadaku dan berkata,
 “Aku tahu, kau pasti akan datang.”

 “Sudah sembuh?” tanyaku setelah perban di kepalanya dibuka.

 “Sudah..”

 “Jangan manjat pohon lagi!”

 “Kenapa?”

 “Nanti jatuh lagi!”

 “Enggak!” jawab Lian sembari menjulurkan lidahnya.

 “Jatuh!”

 “Enggak!” 

 Ah, dia. Aku merindukan perdebatan-perdebatan konyol itu. Perdebatan yang tak pernah berakhir karena kami adalah bocah yang sama-sama tak ingin mengalah. Tak mau kalah. Keributan-keributan kecil yang sering aku lakukan bersamanya, seolah membuatku kembali mengunjungi tempat ini.
 ***
 

28 Juni 2016. Subuh yang gaduh. Hujan sepertinya tak mau beranjak, ia masih menggenangi jalan-jalan setapak. Ada sesuatu di kamarku, seperti angin. Datang menyelinap masuk jendela. Membuat tubuhku menggigil.  

 “Dia pulang!”

 Belum sempat kurapatkan selimut, sebuah suara tertangkap gendang telinga. Kupaksakan tubuhku meninggalkan tempat tidur, kemudian berdiri di samping jendela. Sengaja aku berjongkok agar tatapanku sejajar kaca jendela, lalu mengintip sesuatu. 

 Sebuah mobil Avanza putih baru saja melewati rumahku, dan berhenti tepat di depan warung Mbok Giyem. Kedatangannya disambut oleh para tetangga. Mereka telah memadati ruangan. Sontak, seperti ada yang menuntun langkahku ke tempat kerumunan itu. Mataku tak mau melepas pandangannya dari seseorang. Ternyata, apa yang Va cari selama ini, ada di sini. Dia benar-benar telah kembali. Jujur saja, Va, ingin sekali mengajak Lian berkeliling. Menuju suatu tempat yang dulu menjadi tempat mereka bermain, ngobrol panjang, dan berdebat. Sekaligus Va ingin memberitahukan kepadanya, jika tempat itu sudah tidak ada. Sudah hilang, terjamah oleh pembangunan. 

 “Lian!”

 Lian menoleh ke arahku. Tapi, sepertinya ia  tak mengenaliku. Apakah sekarang aku adalah sosok asing baginya? 

 Lian mematung. Laki-laki itu menatapku, lama sekali. Sebelum akhirnya ia terhenyak lantaran cubitan dari seseorang. Di samping kanannya, ada seorang perempuan cantik seumuranku, berkulit putih, bermata belok, mencubit lengan Lian. Tatapan Lian beralih ke perempuan itu. Lalu, sekilas, ia memandangku lagi. Kemudian, memandang wanita cantik itu lagi. 

 Aku membalikkan punggung. Dengan tergesa-gesa kulangkahkan kaki menapak trotoar kelabu yang basah, menjauhi keramaian, menghilang dari pandangan mereka  setelah mengetahui jika saat ini kehadiranku tak lagi diharapkan.    

 Aku tak tahu, perasaan apa yang sedang melandaku. Cemburu, benarkah? Bahkan, aku ragu, jika selama ini aku mencintainya. Inikah ujung penantian itu? Hanya membuahkan kekecewaan. Seperti ada duri menusuk-nusuk dada kiriku. Sebuah luka tercipta di sana. Luka yang tak mengalirkan darah, tetapi begitu dalam.
 ***
 

Aku menatap jalanan ini sendirian. Masih lengang. Sebentar lagi, pasti akan banyak pengendara motor yang lewat. Akan ada suara klakson, asap knalpot. Pandanganku menuju pusat perbelanjaan itu. Masih tutup.  

 Dalam kurun waktu sepuluh tahun, aku baru menyadari bahwa memang banyak yang berubah. Tidak hanya tempat, tapi juga seseorang.

 Mengapa aku masih saja mengenang tempat ini? Apakah karena rinduku yang menggebu pada tempat bermainku dulu, atau pada seorang anak lelaki yang pernah mengubahku menjadi gadis penurut, bocah yang suka memanjat dan berdebat, yang tak mau kalah dengan anak perempuan? 

Aku jadi ingat seseorang pernah berkata, "Rawatlah kenangan, sebab dari sana celah rindu bermuasal."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun