“Apa itu?”
“Buah..”
“Buah apa?”
“Buah kecil-kecil.”
Lian suka memanjat. Laki-laki itu sering memanjat pohon kersen yang terletak di dekat tanah lapang di sini, lalu mengambil buahnya yang sekiranya telah matang berwarna merah terang, dan membaginya denganku.
“Enak, kan?”
“Apa nggak takut jatuh?”
“Nggak bakal jatuh!”
Va lebih mengkhawatirkan jika anak lelaki itu kakinya lecet karena terjatuh dari pohon kersen dibanding nafsunya untuk menikmati manisnya buah kersen. Oleh sebab itu, Va suka mengomelinya. Memarahinya setiap ia memanjat pohon. Va selalu berteriak-teriak di bawah sambil memandangi Lian saat ia mengambil buah-buah itu. Namun, bocah itu selalu nekat. Lian sepertinya menikmati omelanku. Bahkan, ia memasang wajah mengejek. Seolah menantangku berkali-kali.
Suatu hari, Lian terjatuh. Kepalanya terbentur batu. Tak henti-hentinya darah mengalir, membasahi tubuh kecilnya. Aku melolong-lolong.
Hampir tiga puluh hari, Lian tak pernah keluar dari rumahnya. Orang tuanya tak mau menerima kunjunganku. Aku hanya bisa mengintipnya di balik kaca jendela kamarnya. Lalu ia tersenyum kepadaku dan berkata,
“Aku tahu, kau pasti akan datang.”