Mohon tunggu...
Maygiva Ayu Prasadani
Maygiva Ayu Prasadani Mohon Tunggu... wiraswasta -

23| Koki| Pecinta Fiksi Kota Budaya \Ay/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Lian

22 Januari 2017   18:59 Diperbarui: 22 Januari 2017   19:04 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Belum sempat kurapatkan selimut, sebuah suara tertangkap gendang telinga. Kupaksakan tubuhku meninggalkan tempat tidur, kemudian berdiri di samping jendela. Sengaja aku berjongkok agar tatapanku sejajar kaca jendela, lalu mengintip sesuatu. 

 Sebuah mobil Avanza putih baru saja melewati rumahku, dan berhenti tepat di depan warung Mbok Giyem. Kedatangannya disambut oleh para tetangga. Mereka telah memadati ruangan. Sontak, seperti ada yang menuntun langkahku ke tempat kerumunan itu. Mataku tak mau melepas pandangannya dari seseorang. Ternyata, apa yang Va cari selama ini, ada di sini. Dia benar-benar telah kembali. Jujur saja, Va, ingin sekali mengajak Lian berkeliling. Menuju suatu tempat yang dulu menjadi tempat mereka bermain, ngobrol panjang, dan berdebat. Sekaligus Va ingin memberitahukan kepadanya, jika tempat itu sudah tidak ada. Sudah hilang, terjamah oleh pembangunan. 

 “Lian!”

 Lian menoleh ke arahku. Tapi, sepertinya ia  tak mengenaliku. Apakah sekarang aku adalah sosok asing baginya? 

 Lian mematung. Laki-laki itu menatapku, lama sekali. Sebelum akhirnya ia terhenyak lantaran cubitan dari seseorang. Di samping kanannya, ada seorang perempuan cantik seumuranku, berkulit putih, bermata belok, mencubit lengan Lian. Tatapan Lian beralih ke perempuan itu. Lalu, sekilas, ia memandangku lagi. Kemudian, memandang wanita cantik itu lagi. 

 Aku membalikkan punggung. Dengan tergesa-gesa kulangkahkan kaki menapak trotoar kelabu yang basah, menjauhi keramaian, menghilang dari pandangan mereka  setelah mengetahui jika saat ini kehadiranku tak lagi diharapkan.    

 Aku tak tahu, perasaan apa yang sedang melandaku. Cemburu, benarkah? Bahkan, aku ragu, jika selama ini aku mencintainya. Inikah ujung penantian itu? Hanya membuahkan kekecewaan. Seperti ada duri menusuk-nusuk dada kiriku. Sebuah luka tercipta di sana. Luka yang tak mengalirkan darah, tetapi begitu dalam.
 ***
 

Aku menatap jalanan ini sendirian. Masih lengang. Sebentar lagi, pasti akan banyak pengendara motor yang lewat. Akan ada suara klakson, asap knalpot. Pandanganku menuju pusat perbelanjaan itu. Masih tutup.  

 Dalam kurun waktu sepuluh tahun, aku baru menyadari bahwa memang banyak yang berubah. Tidak hanya tempat, tapi juga seseorang.

 Mengapa aku masih saja mengenang tempat ini? Apakah karena rinduku yang menggebu pada tempat bermainku dulu, atau pada seorang anak lelaki yang pernah mengubahku menjadi gadis penurut, bocah yang suka memanjat dan berdebat, yang tak mau kalah dengan anak perempuan? 

Aku jadi ingat seseorang pernah berkata, "Rawatlah kenangan, sebab dari sana celah rindu bermuasal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun