Mohon tunggu...
Cerpen

Teh yang Tak Lagi Hangat

19 Maret 2017   17:57 Diperbarui: 8 Oktober 2017   08:42 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Gula di dapur masih tersisa banyak, ambillah jika kamu mau.” Suara wanita paruh baya yang sedang menjahit itu terdengar hingga ke beranda rumah.

“Tidak Bu, ini sudah terasa manis. Percuma saja aku mengambilnya, gula itu tidak akan bisa mengalahkan senyum manisku.” Yang sedang menjahit hanya tersenyum mendengar perkataan putrinya.

Begitulah sore Risma. Ia yang baru pulang dari Inggris dua hari lalu itu masih beradaptasi dengan suasana rumah yang sudah tiga tahun tidak terlihat itu. Risma duduk di kursi beranda rumah seorang diri sambil menikmati teh hangat buatan ibunya. Sore itu Risma tidak ingin melakukan aktivitas berat, ia hanya ingin menikmati senja di desa masa kecilnya. Sesaat ia tidak sengaja melihat adik-adik tetangga berjalan bersama-sama menggunakan seragam merah putih yang membuatnya ingin mengenang kembali masa kecilnya, sepertinya mereka pulang dari sekolah.Teh yang tersisa setengah cangkir itu menemani kenangan Risma yang masih abstrak tentang masa merah putihnya. Namun gambaran meja, kursi, papan tulis, dan semua perabot kelas tiba-tiba hadir dalam lamunannya. Ia tidak sengaja tersenyum kala mengingat bangku sekolah. Lalu ia teringat betapa jahilnya Nizar, teman sekelas Risma yang selalu menuliskan nama teman-teman lelaki yang katanya menyukai Risma itu. Betapa lucunya masa kecil yang sudah dihiasi dengan kenangan berbau romansa jadul. Senyuman Risma itu lantas berubah menjadi tawa kecil yang berkepanjangan. Ia mencoba untuk fokus kembali pada kenangannya.

Bel tanda masuk SDN 1 Pulo terdengar khas dua puluh menit yang lalu, namun tidak ada satu pun guru yang masuk ke kelas Risma. Bergerombol dan berbincang sudah menjadi ciri khas para perempuan kecil ketika jam kosong, sedangkan beberapa lelaki bermain sepak bola di depan kelas, sungguh mereka asik dengan dunia mereka sendiri. Namun tidak dengan Tasya, ia terlihat menyendiri di bangku pojok miliknya dan ia sepertinya tampak tertidur. Tidak, dia tidak tidur. Dia terlihat banyak bergerak dan terdengar seperti isakan.

Risma yang menyadari hal itu langsung beranjak ke bangku Tasya. “Sya, kamu kenapa? Kamu masih sakit, kah?” yang ditanya terdiam.

“Aku antar ke UKS, yuk?” Tasya tidak menjawab. Akhirnya Risma memilih mengusap kepala Tasya sebelum akhirnya ia kembali ke gerombolannya.

Pagi yang cerah itu menyambut hari Risma yang semangat berangkat ke sekolah. Semangat Risma tidak seperti biasanya, bekal nasi goreng khas buatan ibunya itulah sebab dari semua ini. Ia berjalan menyusuri gang dan jalanan bersama dua teman sebayanya, Windy dan Amel.

Di tengah perjalanan Risma menoleh ke Amel. “Mel, kamu tahu Tasya kenapa?”

Windy yang berjalan di samping kiri Risma ikut dalam perbincangan, “bukankah dia kemarin tertidur di kelas?”

“Astaga, dia tidak tidur. Dia menangis dan tidak mau menjawab pertanyaanku.”

Amel yang tadinya ditanya akhirnya menjawab, “Tasya kemarin sakit tiga hari, bukan? Barangkali dia masih lemas, atau mungkin saja penyakitnya kambuh lagi.”

Perbincangan mereka akhirnya menggantung sampai disitu dan mereka bertiga sampai di kelas masih dengan wajah ceria.

“Ris, Tasya absen lagi. Nanti kamu tulis A saja ya di buku absen, karena tidak ada satu pun surat di meja guru.” Mita teman sekelasnya menahan Risma yang ingin duduk di bangku.

“Kenapa ya dia tidak masuk lagi?” Risma bertanya pada dirinya sendiri.

“Ah, mungkin hanya alasan dia saja agar bisa tidur di rumah.” Mita meninggalkan Risma yang masih memikirkan Tasya.

Tasya sedang tidak baik-baik saja. Begitulah pikiran Risma yang masih berdiri di samping bangkunya. Sepanjang pelajaran Risma terlihat tidak tenang, ia memikirkan keadaan Tasya yang absen tanpa alasan. Dia sudah beberapa kali berpikir hal yang aneh tertimpa pada Tasya. Semua pikiran itu membuat Risma tidak memperhatikan pelajaran dengan baik.

Bel istirahat akan berbunyi sepuluh menit lagi, namun Bu Esti guru matematika Risma itu sudah mengakhiri pelajarannya. Bersamaan dengan perginya Bu Esti dari kelas, beberapa siswa di kelas itu terlihat mengeluarkan bekal dari tas mereka. Begitu juga Risma, ia terlihat mengeluarkan kotak makan berwarna pink dari dalam tasnya.

“Daripada memikirkan Tasya, lebih baik aku makan nasi goreng buatan ibuku. Hari ini membuatku sangat lapar.” Risma dan teman-temannya terlihat menikmati makan siang mereka.

Brak! Mereka melihat ke arah datangnya suara itu. Terlihat dua wanita berdiri di depan pintu kelas, seorang wanita remaja yang wajahnya siap menerkam penghuni kelas dan yang satu lagi wanita dewasa yang matanya menyiratkan peperangan.

“Ada apa ini? Siapa kalian?” Mita memecah ketegangan dan membuat teman-temannya saling bertanya.

“Diam! Kalian semua ikut kami ke belakang kelas.” Ujar wanita itu.

Dua wanita yang tidak diketahui asalnya itu sudah berdiri di depan barisan acak penghuni kelas tiga SD, dan ini pertama kalinya bagi mereka berkumpul di belakang gedung kelas.

“Kalian teman yang kurang ajar, ya. Tidak punya sopan santun, tidak punya harga diri, tidak saling menyayangi. Mau jadi apa kalian, hah?” Gerombolan anak kecil itu kebingungan dengan makian tersebut.

“Maksud kalian apa? Datang hanya untuk mengganggu makan siang kami.” Jawab salah satu dari mereka. Wanita remaja yang berdiri di depan mereka itu maju satu langkah dan berusaha melihat name tag di baju seragam perempuan kecil yang baru berbicara tadi, namun ia gagal membacanya.

“Wah, anak kecil ini berani ternyata.”

Risma tidak terima dirinya disebut anak kecil. “Lebih kecil mana, yang terlihat dewasa tapi bersikap tidak sopan dan memaki anak kecil tanpa sebab?”

Wanita itu kembali maju satu langkah, “siapa namamu? Berani membantah orang dewasa. Jangan-jangan kamu yang bernama Risma?” 

Risma kini sudah berdiri paling depan. “Iya, aku Risma. Ada yang salah dengan namaku?”

“Kamu yang kemarin memukul kepala Tasya saat dia menangis, kan?Salah Tasya ke kalian apa sehingga kalian membencinya? Kalian menulis kata-kata makian di bangku Tasya selama dia sakit tiga hari, kan? Sedangkan kalian tidak merasa bersalah ketika Tasya menangis di kelas kemarin. Kamu juga Risma, sudah tahu Tasya menangis kamu malah memukul kepalanya.”

Anak-anak kecil itu kini mengerti bahwa dua wanita yang berdiri di hadapan mereka adalah ibu dan kakak Tasya. Mereka ketakutan dengan makian ibu Tasya dan tidak berani menjawabnya. Namun tidak dengan Risma, ia merasa bahwa apa yang terjadi ini sudah keterlaluan.

“Saya tidak terima atas kalimat yang kalian katakan pada kami. Pertama, tulisan di bangku Tasya itu sudah ada sejak kami masuk ke kelas tiga. Kedua, saya tahu kemarin Tasya menangis dan sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, saya menghampiri Tasya dan menanyakan kondisinya, namun ia tidak menjawab pertanyaan saya. Bahkan saya sempat mengajaknya pergi ke UKS, namun ia tetap diam. Lalu saya mengusap kepalanya tanda bahwa saya peduli padanya baru setelah itu saya kembali ke bangku. Jadi, semua yang ibu katakan pada kami itu hanya omong kosong Tasya.” Risma menjelaskan semuanya.

“Bisa saja itu hanyalah alasan Tasya untuk tidak masuk sekolah agar bisa tidur di rumah.” Mita yang memang terllihat tidak suka pada Tasya itu kini menyuarakan isi hatinya.

“Enak saja kamu menuduh adikku seperti itu.” Kakak Tasya membela.

“Seharusnya kami yang berbicara seperti itu, Kak. Enak saja kalian menuduh kami tanpa bukti dan hanya mengandalkan penjelasan dari Tasya. Kalian tidak malu sudah berbuat sejauh ini?” Risma kembali bertutur.

Ibu Tasya sudah geram melihat tingkah Risma, ia akhirnya mengeluarkan sumpah serapahnya. “Awas saja jika aku mendengar kenakalan kalian lagi, aku akan datang kembali untuk memotong tangan dan telinga kalian semua. Untuk kamu Risma, kamu sudah melakukan kesalahan besar yaitu membantah kami dengan omong kosong kamu itu. Dasar anak tidak tahu sopan santun, lihat saja mau jadi apa kamu nanti. Aku pastikan kamu yang akan menyesal, bisa saja nanti kamu mengantar undangan pernikahanmu ke rumah Tasya lalu kamu melihat Tasya di rumah sedang libur dari kuliah luar negerinya.” Kalimat itu mengakhiri semuanya sebelum dua wanita tidak jelas itu pergi dari SDN 1 Pulo.

Risma dan teman-temannya hanya bergeming mendengarkan kalimat yang terdengar seperti kutukan berlebihan itu. 

Seorang remaja dan wanita paruh baya datang ke rumah Risma dan membuatnya tersadar dari lamunan. Risma menatap perempuan itu ketika dia memberikan sebuah kertas. “Ris, ini ada undangan dariku. Datang ya ke acaraku minggu depan.”

Risma masih memandangi remaja itu, “aku Tasya teman SD kamu.” Risma baru menyadarinya, “oh Tasya, iya Sya akan aku usahakan datang ke acaramu minggu depan.”

Wanita paruh baya yang berdiri di dekat Tasya itu mendekat dan melihat stiker di jendela rumah Risma yang bertuliskan “University of Oxford” sebelum kemudian mereka meninggalkan rumah Risma.

Risma yang menyadari bahwa kertas itu adalah undangan pernikahan Tasya akhirnya tersenyum kembali. Dia berpikir betapa menariknya skenario yang dibuat Tuhan dalam hidupnya. Semua memiliki hubungan unik yang suatu saat akan membuat tokohnya tersenyum kala mengingatnya. Seperti Risma saat ini, ia tersenyum sambil menghabiskan teh yang sudah tidak hangat lagi itu. Risma tidak menyangka bahwa dia memiliki kenangan konyol semacam itu.

Ia masuk ke dalam rumah meletakkan kertas tadi di meja jahit dan memeluk ibunya sambil berkata, “terimakasih atas semua doa yang engkau panjatkan untuk anak kecilmu ini, Bu.” Sang ibu tersenyum lalu mencium anak sulungnya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun