Mohon tunggu...
maya nurrinkhamidah
maya nurrinkhamidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

analis pasar keuangan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kenaikan Pajak 12%: Solusi Tepat atau Beban Baru Bagi Masyarakat?

12 Desember 2024   21:00 Diperbarui: 12 Desember 2024   20:51 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak menjadi 12% tengah menjadi topik hangat di tengah masyarakat Indonesia. Langkah ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung pembangunan, dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, di sisi lain, kebijakan ini memicu kekhawatiran bahwa kenaikan pajak justru akan membebani masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah. Dalam artikel ini, mari kita bahas lebih mendalam mengenai dampak positif dan negatif dari kebijakan ini serta apakah langkah ini menjadi solusi yang tepat atau hanya menambah beban baru bagi masyarakat.

Mengapa Pemerintah Menaikkan Pajak?

 

Pemerintah memiliki sejumlah alasan kuat di balik keputusan untuk menaikkan pajak. Salah satu alasan utamanya adalah kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara. Dalam beberapa tahun terakhir, anggaran untuk proyek infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor vital lainnya terus meningkat. Pajak menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ini.

Pelaksanaan tarif baru PPN tersebut akan merujuk pada UU HPP yang telah disahkan pada Oktober 2021. Berdasarkan UU HPP Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. (CNBC Indonesia)

Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri. Dengan penerimaan pajak yang lebih tinggi, pemerintah bisa mendanai program-program pembangunan tanpa harus bergantung pada pinjaman dari luar negeri. Langkah ini dianggap strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di masa depan.

Namun, banyak pihak yang mempertanyakan apakah waktu pelaksanaan kebijakan ini sudah tepat. Ekonomi masyarakat baru saja mulai pulih dari dampak pandemi COVID-19. Kenaikan pajak dikhawatirkan akan mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok berpenghasilan rendah serta pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM).

Perlu digaris bawahi, kenaikan PPN 12% yang berlaku pada awal 2025 hanya berlaku pada barang barang mewah.  Sri Mulyani selaku menteri keuangan menerangkan bahwa kenaikan PPn 12% tidak berlaku pada barang barang kebutuhan pokok seperti beras, dagng, ikan, susu, gula onsumsi, telur, sayur, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, buku, pemakaian listrik, pemakaian air, vaksinasi, dan jasa asuransi.

Kementerian keuangan sendiri tengah menyusun barang barang apa saja yang akan dikenakan PPN 12% seperti pada salah satu wawancara

"Jika diperkirakan, nilai barang dan jasa yang dipungut PPN untuk tahun ini mencapai Rp231 triliun. Meskipun undang undang menyebutkan PPN 11 persen, banyak barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN. Hal yang sama juga akan diterapkan jika PPN naik menjadi 12 persen. Kami memperkirakan pembebasan PPN pada tahun depan akan mencapai Rp265,6 triliun" (CNN Indonesia)

Dampak Positif Kenaikan Pajak

Salah satu dampak positif yang diharapkan dari kenaikan pajak adalah bertambahnya penerimaan negara. Dengan tarif pajak baru sebesar 12%, pemerintah memiliki peluang untuk mengumpulkan lebih banyak dana. Dana ini dapat dialokasikan untuk proyek-proyek strategis yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur jalan, fasilitas kesehatan, dan program pendidikan.

Selain itu, kebijakan ini dapat membantu pemerintah memperkuat stabilitas fiskal. Dengan meningkatnya penerimaan pajak, defisit anggaran dapat ditekan, dan ketergantungan pada utang bisa dikurangi. Dalam jangka panjang, stabilitas fiskal ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional, karena negara memiliki cadangan keuangan yang lebih baik untuk menghadapi tantangan global.

Kenaikan pajak juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pajak. Jika lebih banyak orang memahami peran pajak dalam pembangunan, kepatuhan pajak masyarakat diharapkan akan meningkat. Pada akhirnya, ini dapat menciptakan budaya taat pajak yang lebih kuat di Indonesia.

Dampak Negatif Kenaikan Pajak

Namun, kebijakan ini tidak lepas dari potensi dampak negatif yang perlu menjadi perhatian. Salah satu kekhawatiran utama adalah berkurangnya daya beli masyarakat. Dengan kenaikan pajak, harga barang dan jasa berpotensi meningkat, yang tentunya akan lebih memberatkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, kenaikan pajak bisa menjadi pukulan berat. Biaya operasional mereka berpotensi meningkat, sehingga margin keuntungan menjadi lebih kecil. Dalam kondisi ekonomi yang masih rentan, hal ini bisa membuat banyak pelaku usaha kecil kesulitan bertahan. Bahkan, ada kemungkinan beberapa usaha harus mengurangi tenaga kerja atau menghentikan operasionalnya.

Dampak lain yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan penurunan minat investasi. Investor, baik lokal maupun asing, biasanya sangat mempertimbangkan kebijakan perpajakan dalam mengambil keputusan. Jika tarif pajak dianggap terlalu tinggi, ada risiko mereka memilih berinvestasi di negara lain yang lebih ramah pajak. Hal ini dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas

Agar kebijakan ini dapat diterima masyarakat, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak sangatlah penting. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa pajak yang mereka bayarkan benar-benar digunakan untuk kepentingan mereka. Jika masyarakat dapat melihat bahwa dana pajak dikelola dengan baik dan efisien, dukungan terhadap kebijakan ini kemungkinan besar akan meningkat.

Sebaliknya, jika terjadi penyalahgunaan atau ketidakefisienan dalam pengelolaan pajak, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa menurun drastis. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan laporan penggunaan pajak yang transparan dan rutin. Langkah ini tidak hanya membangun kepercayaan, tetapi juga menunjukkan komitmen pemerintah untuk menggunakan pajak secara bertanggung jawab.

Apakah Ada Solusi Lain?

Kenaikan pajak bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan penerimaan negara. Ada beberapa alternatif solusi yang bisa dipertimbangkan pemerintah. Salah satunya adalah memperluas basis pajak. Saat ini, masih banyak individu dan pelaku usaha yang belum masuk dalam sistem perpajakan. Dengan memperluas basis pajak, penerimaan negara dapat meningkat tanpa harus menaikkan tarif pajak.

Selain itu, pemerintah dapat mengoptimalkan pengumpulan pajak. Mengurangi kebocoran dan meningkatkan kepatuhan pajak akan memberikan dampak signifikan pada penerimaan negara. Pemanfaatan teknologi digital dalam sistem administrasi perpajakan dapat mempermudah masyarakat dalam membayar pajak serta mengurangi potensi kebocoran.

Efisiensi dalam pengelolaan anggaran juga menjadi kunci. Dengan menggunakan dana yang ada secara lebih bijaksana, pemerintah dapat mencapai tujuan pembangunan tanpa harus terlalu mengandalkan kenaikan pajak. Reformasi birokrasi dan pengawasan ketat terhadap penggunaan anggaran dapat menjadi langkah efektif dalam mewujudkan hal ini.

Opini Penulis

Kenaikan pajak menjadi 12% adalah kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat penerimaan negara dan mendukung pembangunan. Namun, dampak kebijakan ini tidak bisa dianggap ringan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pelaku usaha kecil, dan investor. Untuk itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini diimplementasikan dengan hati-hati.

Menurut penulis, masyarakat tidak perlu terlalu ceamas terhadap kenaikan PPN 12 persen yang akan berlaku pada awal 2025 tersebut karena kenaikan PPN hanya dikenakan pada barang barang tertentu saja, kenaikan PPn 12 persen tidak dikenakan pada barang barang pokok seperti beras, telur, susu, ikan, listrik, air, dan barang pokok lainnya.

Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak menjadi syarat mutlak agar kebijakan ini dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu, pemerintah harus tetap membuka peluang untuk mengkaji alternatif solusi seperti memperluas basis pajak, meningkatkan efisiensi pengelolaan anggaran, dan memanfaatkan teknologi dalam sistem perpajakan.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada cara pemerintah mengelolanya. Dengan perencanaan yang matang dan pengelolaan yang baik, kenaikan pajak dapat menjadi langkah positif yang mendukung pembangunan. Namun, jika kebijakan ini dilaksanakan tanpa perencanaan yang jelas, risiko menjadi beban baru bagi masyarakat sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah harus bijak dalam mengambil langkah-langkah untuk memastikan manfaat kebijakan ini benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun