Aku tergugu, menunggu kelanjutan kisah ini. Akankah dengan mudahnya kamu meninggalkan aku...
"Setelah ini, kamu janji ya, nduk... Kamu harus menjadi Nina yang seperti dulu ku kenal. Nina yang kuat, yang ngga gampang galau. Kamu harus janji sama aku, kamu akan berusaha melupakan semua kisah kita..."
Aku diam. Airmata mulai menetes jatuh membasahi pahamu.
Kamu terus membelai-belai lembut. Seperti seorang ayah yang sedang menasehati putrinya. Kata-katamu meluncur lancar tanpa kesan sedang menanggung beban berat. Kondisi ini berbanding terbalik denganku. Aku rapuh.
"Aku tahu pasti ini tidak akan mudah. Tidak mungkin kita bisa melupakan semuanya. Tetapi paling tidak, sedikit demi sedikit kamu bisa kembali seperti dulu. Kamu harus melanjutkan hidupmu, tanpa aku. Karena kita memang tidak mungkin bisa bersama."Â
Aku tetap diam. Memandang kabut yang menari-nari diantara pepohonan.
"janji ya sama aku?" Kamu membungkuk, mendekat ke wajahku yang masih tidak ingin lepas dari pangkuanmu. "Iya?" pintamu.
"Aku ngga akan bisa" bisikku, serak.
Kamu menarik napas dalam, mungkin geram. Mungkin kamu ingin menghempaskan tubuhku menjauh. Mungkin kamu ingin mencaci maki aku. Entah karena hutang budi apa, kamu tetap berperilaku santun, kala itu.
"Jangan bilang ngga bisa, nduk. Aku yakin kamu bisa. Aku yakin kamu kuat. Kamu kuat mengendalikan dirimu saat aku tidak kuat menahannya. Jadi aku yakin, kamu pasti kuat melewati masa-masa sulit ini. Janji ya? Kamu akan berusaha menghilangkan perasaanmu padaku, perasaan cinta itu, kalau memang itu cinta..."
"Tapi..." aku menelan ludah, "kamu juga janji ngga akan meninggalkan aku? Tanpa kamu minta, aku pasti akan berusaha tegar, berusaha mengembalikan diriku yang dulu sebelum mengenalmu, kak... Aku pasti berusaha melupakan semua kenangan bersamamu... tapi ku mohon berjanjilah, jangan tinggalkan aku... Biarkan kita terpisah pelan-pelan, menjauh dengan sendirinya" pintaku.