Akhirnya aku bisa membuka mata.
Butuh waktu beberapa detik sampai aku menyadari dimana aku terbaring pagi ini. Hawa dingin menyeruak ke dalam tenda berwarna kuning menyala. Ah, dimanakah fajar yang katanya indah itu?
"Sudah bangun, ya?" Katamu, retoris. Tatapanmu lembut seolah bertanya, "kamu ingat apa yang terjadi tadi malam, nduk?"
Aku hanya tersenyum, masih mengantuk. "Sini, kak," aku memintamu duduk mendekat.
Kamu menggeser mundur. Menjauhi pintu tenda yang terbuka untuk memamerkan pucuk-pucuk daun yang terguyur hujan semalaman. "Ada apa?" katamu, lirih.
Aku meletakkan kepala di pangkuanmu. Kau menarik nafas panjang, entah apa maksudnya. Lalu jemarimu mulai membelai rambutku. Kicau burung sayup bersahutan di luar.Â
"Aku bahagiaaaa sekali," kataku. Ya, aku seperti merasakan de javu. Seperti inilah mimpi-mimpiku selama ini. Pagi hari, yang walaupun mendung, memandang panorama memukau pegunungan dari dalam tenda bersamamu. Hanya berdua denganmu. Bermanja-manja dalam pangkuanmu, dan jemarimu tak henti membelaiku, rasanya seperti ada aliran cinta yang berloncatan keluar dari ujung jarimu. Kita bercengkerama dari hati ke hati, seolah tidak ada hati lain yang tersakiti dari kebersamaan ini.
"Syukurlah, kalau kamu sudah bahagia. Berarti sudah ya?" Kamu bertanya hati-hati.
"Sudah apa?" aku terbata, perasaanku mulai tidak enak. Sepertinya kamu akan menyampaikan salam perpisahan. Pelupuk mataku mulai menghangat.
Tangan kekarmu mengusap kepalaku lembut. Mencoba menenangkan. Kamu berpikir sejenak, bagaimana merangkai kata agar aku tidak tersakiti. Ah, peduli setan! Lihat saja, seberapa pandai kamu bisa menenangkanku? "Apanya yg sudah?" tanyaku.
Kamu tersenyum getir. "Kamu sudah dapat yang kamu mau kan? Camping di puncak Rinjani berdua aku..." kalimatmu menggantung. Kicau burung sudah tidak terdengar lagi. Kabut semakin pekat. Kamu menarik napas dalam, menyuplai hawa dingin ke paru-parumu yang bergemuruh.