Mohon tunggu...
Maya Madu
Maya Madu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah Hitam

26 September 2016   10:00 Diperbarui: 27 Desember 2016   17:30 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setengah tubuhnya berwarna membiru dan setengahnya lagi daging merah selayaknya warna daging kambing. Daging yang membiru dikubur dan daging yang masih bagus disedekahkan, juga boleh dimakan oleh pasien. Setelah seminggu ritual mahar kambing si pasien tak lagi kembali, dengar-dengar sudah bisa berjalan kembali. Gimana, sampeyan berdua masih belum percaya apa? Saya hanya menyarankan jika mau monggo jika tidak juga ndak papa," setelah cerita panjang lebar pada kami, Aqil berpamitan pulang. Aku dan istriku seakan tersirep dengan cerita Aqil, sedang istriku seperti mempunyai semangat baru untuk kembali mencari obat buat Amelia.

Keesokan harinya istriku ngotot ngajak ke sana-ke padepokan Semar Mendem.

Aku telah menghitung-hitung sisa harta yang kumiliki, jika kelak pengobatan anakku satu-satunya itu harus dimintai mahar, sehingga telah siap dengan segala resikonya.

"Ayo, Pak, cepet berangkat, aku sudah mendaftarkan dan menceritakan kisah anak kita, kata Aa' harus melihat kondisi yang sakit," istriku tergopoh dengan perlengkapan yang telah dipersiapkan.

Aku membopong Amelia yang sangat pucat seperti tak memiliki darah saja, wajahnya semacam pualam tak bersinar, tubuhnya lemas bagai tak ada lagi semangat kehidupan. Ia bahkan tak pernah bicara atau pun menangis. Serupa mayat hidup yang kami pelihara.

Sesampainya di padepokan Semar Mendem, kami dibawa ke suatu kamar dengan wewangian dupa. Rumah khas bangunan Jawa, ada empat gendok besar dengan tanah liat bercampur pasir bata merah. Tiap masing-masing gendok tertancap keris berpegangan tulisan Arab tanpa harakat, entah apa maksudnya. Istriku melotot tajam memberi isyarat untuk tidak melihat secara menyelidik. Mungkin tingkahku terlalu kentara sehingga ia merasa tak nyaman padaku.

Lelaki dengan udeng batik di kepalanya telah duduk bersila, kretek yang diapit disumpali gading, terlihat seperti buatan tangan, namun aku tak peduli. Yang perting saat ini ikhtiar pengobatan untuk anakku. Lelaki itu lebih banyak diam dan mendengarkan cerita istriku.

"Jika kalian bersedia, anak kalian biar dirawat di sini. Sebab pengobatan bukan hanya hitungan jam namun berkala tanpa henti. Kalian tak perlu menungguinya sebab anak buahku telah siap untuk merawatnya," asal kelabu tipis keluar dari rongga hidung lelaki berudeng tersebut. Aa' Semar pembawaannya memang angkuh, mungkin dengan gaya seperti ini dapat meyakinkan orang lain untuk mewibawainya.

"Bagaimana ini, Pak, apa kita bisa berpisah dengan Amel? Meskipun ia sakit tapi rasa sayangku tak berubah," istriku mempererat genggaman tangannya untuk meyakinkanku.

Aku mengangguk sedikit meyakinkan, "Aa' Semar lebih mengerti sakitnya anak saya, jika itu yang terbaik silahkan saja. Permisi ... berapa biaya yang harus saya persiapkan?" sembari menunduk dan mendengar berapa uang yang ia minta.

"Pak, Bu, jangan kuatir soal biaya, biarlah anakmu ini sembuh dulu, setelah itu baru siapkan biayanya," Aa' Semar membakar kretek yang kedua, tangannya tak berhenti memutar-mutar ujung kreteknya. Lagi-lagi bukan urusanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun