Jauh sebelum trend bekal cantik dan unik ala bento di mulai, anak-anak tahun 90-an juga pernah merasakan trend tersendiri dalam dunia perbekalan. Isinya mungkin tak beragam atau tak secantik bekal-bekal anak gen alpha saat ini, tapi kami para anak milenial tentu saja menyimpan banyak memori tentang bekal kami waktu di jaman taman kanak-kanak dulu.
Tidak jauh berbeda dari sekarang, saat TK dulu saya juga suka membawa bekal makanan ke sekolah. Menu yang paling populer adalah Indom*e goreng berbentuk kotak kaku. Biasanya ibu saya juga menambahkan telur dan sedikit nasi---katanya sih biar kenyang, karbo plus karbo, mantap!
Sebenarnya bentuknya tak hanya kotak, bisa bulat, oval atau persegi panjang pokoknya sesuai dengan bentuk kotak makanannya. Saat masih TK, ibu saya dulu adalah seorang pedagang sayur. Oleh sebab itu, dia tidak punya waktu yang banyak untuk membuat bekal makanan. Cara praktisnya ya, membuat mie goreng tadi. Bisa sat-set dan langsung masuk kotak.
Ibu saya biasanya memasaknya setelah adzan subuh sebelum dia berangkat ke pasar. Bisa dibayangkan ya bentuknya seperti apa saat saya membukanya di jam 9 saat istirahat tiba. Kotak sempurna. Meski bentuknya kotak dan kaku, rasanya masih enak.
Dalam lima hari waktu sekolah, menu sekolah saya ya itu-itu saja. Kalau tidak mie goreng mungkin nasi uduk. Pokoknya yang mudah dibeli di jalan. Jarang berganti dengan menu yang aneh-aneh, selain murah tentu saja mengenyangkan. Tapi tahukah kamu, menu bekal apa yang dulu sangat saya inginkan untuk dibawa ke sekolah? Ya, jawabannya adalah roti tawar meses cer*s.
Di jaman saya dulu, tepatnya di tahun 1998-1999, saat krisis moneter sedang melanda Indonesia. Roti tawar bagi kami adalah sesuatu hal yang mahal dan susah untuk dijangkau. Dulu belum ada yang nama Indom*ret atau Alpam*rt yang menjamur seperti sekarang, sehingga dengan mudahnya membeli roti tawar merek apapun di minimarket.
Jika ingin membeli roti tawar, saya harus menunggu tukang roti yang biasanya berjualan menggunakan mobil dari ibu kota kabupaten. Saat kecil saya tinggal di sebuah kota kecil bernama Bukit Kemuning, Lampung Utara. Jika ingin membelinya saya harus menunggu tukang roti dari Kotabumi.
Datangnya pun tidak tiap hari, biasanya dia datang ke kota saya setiap hari Rabu atau Jumat, membuat roti tawar adalah makanan idaman yang sangat saya inginkan waktu kecil.
Mungkin bagi teman-teman saya yang berasal dari keluarga berada, bisa saja pergi ke luar kota untuk membelinya. Tapi sayangnya saya tidak bisa. Jika tukang roti itu tidak datang, maka saya tidak bisa membeli roti itu.
Film dan sinetron yang saya tonton juga banyak memberi pengaruh kenapa saya bisa tergila-gila dengan roti tawar. Di setiap adegan di rumah orang kaya, mereka selalu menyajikan menu roti tawar meses setiap paginya. Seakan memberi gambaran bahwa roti adalah makanan eksklusif dan trendy.
Kalian pasti bisa membayangkan bagaimana kesalnya saya, jika ibu saya tidak membelikan roti itu padahal saya sudah menunggu selama seminggu sampai tukang roti itu datang. Saya bisa ngamuk sengamuk-ngamuknya atau bahasa kerennya sekarang itu ya tantrum.
Cara terampuh membuat ibu saya luluh ya ialah dengan menangis dan menyangkutkan satu kaki saya ke mobil tukang roti. Meski nampak memalukan, cara itu selalu ampuh membuat ibu saya luluh dan segera membelikan saya sebungkus roti tawar lengkap dengan meses dan juga mentega-nya. Mengingatnya sekarang membuat saya malu hati sendiri, ternyata saya pernah "segila" itu dengan roti tawar.
Sekarang umur saya sudah 30 tahun, roti tawar ber-topping meses bukan lagi hal mewah saat ini. Saya bisa memakannya kapan saja saya mau. Anak-anak saya juga bisa memakannya hampir tiap hari tanpa perlu menunggu tukang roti seminggu sekali.
Setiap kali membuat roti tawar bertopping meses itu, saya selalu merasa melankoli. Betapa hidup yang dulu saya anggap mudah dan enteng, ternyata begitu sulit bagi orang tua saya. Bahkan permintaan sederhana saya untuk memakan roti tawar ber-topping meses pun tidak bisa mereka penuhi setiap waktu.
Saya bisa membayangkan betapa berisiknya isi kepala mereka saat melihat saya merengek minta roti. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan lain yang harus mereka penuhi. Krisis moneter tahun 98 adalah masa-masa terburuk yang pernah Indonesia alami. Tak hanya di 98, tahun-tahun berikutnya juga semakin sulit.
Sama seperti halnya saat ini. Meski tak sesulit orang tua saya dulu, saya sebagai orang tua juga memiliki tantangan tersendiri. Misalnya sibuk mencari uang tambahan untuk menyekolahkan anak saya ke sekolah IT, perebutan kuota murid baru yang sudah dimulai satu tahun sebelum ajaran baru dimulai, drama kotak bekal smi**gl* dan menu bekal makanan yang harus memenuhi standar empat sehat lima estetik.
Seseorang pernah berkata, bahwa kehidupan manusia itu memang selalu berulang. Kita yang hidup di bumi sebenarnya hanya saling bertukar peran. Â Dulu kita masih anak-anak dan bergantung dengan orang tua. Sekarang, kita lah orang tua itu. Meski beda permasalahannya, tapi esensinya selalu sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H