Kalian pasti bisa membayangkan bagaimana kesalnya saya, jika ibu saya tidak membelikan roti itu padahal saya sudah menunggu selama seminggu sampai tukang roti itu datang. Saya bisa ngamuk sengamuk-ngamuknya atau bahasa kerennya sekarang itu ya tantrum.
Cara terampuh membuat ibu saya luluh ya ialah dengan menangis dan menyangkutkan satu kaki saya ke mobil tukang roti. Meski nampak memalukan, cara itu selalu ampuh membuat ibu saya luluh dan segera membelikan saya sebungkus roti tawar lengkap dengan meses dan juga mentega-nya. Mengingatnya sekarang membuat saya malu hati sendiri, ternyata saya pernah "segila" itu dengan roti tawar.
Sekarang umur saya sudah 30 tahun, roti tawar ber-topping meses bukan lagi hal mewah saat ini. Saya bisa memakannya kapan saja saya mau. Anak-anak saya juga bisa memakannya hampir tiap hari tanpa perlu menunggu tukang roti seminggu sekali.
Setiap kali membuat roti tawar bertopping meses itu, saya selalu merasa melankoli. Betapa hidup yang dulu saya anggap mudah dan enteng, ternyata begitu sulit bagi orang tua saya. Bahkan permintaan sederhana saya untuk memakan roti tawar ber-topping meses pun tidak bisa mereka penuhi setiap waktu.
Saya bisa membayangkan betapa berisiknya isi kepala mereka saat melihat saya merengek minta roti. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan lain yang harus mereka penuhi. Krisis moneter tahun 98 adalah masa-masa terburuk yang pernah Indonesia alami. Tak hanya di 98, tahun-tahun berikutnya juga semakin sulit.
Sama seperti halnya saat ini. Meski tak sesulit orang tua saya dulu, saya sebagai orang tua juga memiliki tantangan tersendiri. Misalnya sibuk mencari uang tambahan untuk menyekolahkan anak saya ke sekolah IT, perebutan kuota murid baru yang sudah dimulai satu tahun sebelum ajaran baru dimulai, drama kotak bekal smi**gl* dan menu bekal makanan yang harus memenuhi standar empat sehat lima estetik.
Seseorang pernah berkata, bahwa kehidupan manusia itu memang selalu berulang. Kita yang hidup di bumi sebenarnya hanya saling bertukar peran. Â Dulu kita masih anak-anak dan bergantung dengan orang tua. Sekarang, kita lah orang tua itu. Meski beda permasalahannya, tapi esensinya selalu sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H