Mohon tunggu...
Maya Andita
Maya Andita Mohon Tunggu... Penulis - freelance writer

Bertempat tinggal di antara Karawang-Bekasi. Lahir di sebuah kota di penghujung pulau Sumatra pada tahun dimana Shawsank Redemption pertamakali diputar di bioskop. Cucu petani kopi yang gemar menyeduh kopi robusta tanpa gula.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tentang Roti Tawar Meses yang Legendaris

17 Desember 2024   18:15 Diperbarui: 18 Desember 2024   04:16 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalian pasti bisa membayangkan bagaimana kesalnya saya, jika ibu saya tidak membelikan roti itu padahal saya sudah menunggu selama seminggu sampai tukang roti itu datang. Saya bisa ngamuk sengamuk-ngamuknya atau bahasa kerennya sekarang itu ya tantrum.

Cara terampuh membuat ibu saya luluh ya ialah dengan menangis dan menyangkutkan satu kaki saya ke mobil tukang roti. Meski nampak memalukan, cara itu selalu ampuh membuat ibu saya luluh dan segera membelikan saya sebungkus roti tawar lengkap dengan meses dan juga mentega-nya. Mengingatnya sekarang membuat saya malu hati sendiri, ternyata saya pernah "segila" itu dengan roti tawar.

Sekarang umur saya sudah 30 tahun, roti tawar ber-topping meses bukan lagi hal mewah saat ini. Saya bisa memakannya kapan saja saya mau. Anak-anak saya juga bisa memakannya hampir tiap hari tanpa perlu menunggu tukang roti seminggu sekali.

Setiap kali membuat roti tawar bertopping meses itu, saya selalu merasa melankoli. Betapa hidup yang dulu saya anggap mudah dan enteng, ternyata begitu sulit bagi orang tua saya. Bahkan permintaan sederhana saya untuk memakan roti tawar ber-topping meses pun tidak bisa mereka penuhi setiap waktu.

Saya bisa membayangkan betapa berisiknya isi kepala mereka saat melihat saya merengek minta roti. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan lain yang harus mereka penuhi. Krisis moneter tahun 98 adalah masa-masa terburuk yang pernah Indonesia alami. Tak hanya di 98, tahun-tahun berikutnya juga semakin sulit.

Sama seperti halnya saat ini. Meski tak sesulit orang tua saya dulu, saya sebagai orang tua juga memiliki tantangan tersendiri. Misalnya sibuk mencari uang tambahan untuk menyekolahkan anak saya ke sekolah IT, perebutan kuota murid baru yang sudah dimulai satu tahun sebelum ajaran baru dimulai, drama kotak bekal smi**gl* dan menu bekal makanan yang harus memenuhi standar empat sehat lima estetik.

Seseorang pernah berkata, bahwa kehidupan manusia itu memang selalu berulang. Kita yang hidup di bumi sebenarnya hanya saling bertukar peran.  Dulu kita masih anak-anak dan bergantung dengan orang tua. Sekarang, kita lah orang tua itu. Meski beda permasalahannya, tapi esensinya selalu sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun