Mahkamah internasional telah menangani berbagai kasus yang berhubungan mengenai negara-negara dalam ranah internasional untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi salah satu diantaranya ialah nicaragua case terjadi akibat sengketa di antara Amerika Serikat terhadap Nikaragua dalam proses tersebut adanya pengajuan yang diusulkan oleh Nikaragua terhadap Mahkamah Internasional kemudian dari hasil usut disepakati oleh Mahkamah Internasional untuk mengadakan gugatan yang dikabulkan dari permintaan nikaragua selain itu juga mempersiapkan reparasi terhadap nikaragua.
Sengketa yang terjadi diantara Amerika Serikat dan Nikaragu dimulai melalui keberadaan negara Nikaragua dengan permasalahan internal pemerintahan dalam negeri dan menjadi tombak mula munculnya pergejolakan tersebut. Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam melakukan sengketa bukanlah sesuatu yang lumrah termasuk dalam kasus tersebut yang membuat keterlibatan Amerika Serikat berperan aktif. Tetapi tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dianggap terlalu jauh sehingga bukannya berfungsi untuk menyelesaikan persoalan demikian justru memperkeruh suasana, dengan demikian muncullah keinginan Nikaragua agar dapat mengupyakan tindakan terhadap Amerika Serikat sebab hal ini tidak menyesuaikan terhadap kaidah dasar dari hukum internasional.
Sehingga tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada akhirnya tidak dapat dibendung lagi oleh Nikaragua untuk menyelesaikan bentuk sengketa internasional tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dengan tujuan agar dapat memberikan tuntutan serta meminta ganti rugi yang diupayakan oleh Amerika Serikat terhadap Nikaragua akibat tidak terima atas tindakan tersebut serta membutuhkan tanggungjawab yang semestinya dilakukan sebagaimana hal tersebut bahkan sudah ditetapkan melalui Pasal 33 Ayat 1 piagam perserikatan bangsa-bangsa atau yang diusung oleh PBB.
Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional dalam melakukan pemeriksaan dan pengadilan atas segala pengajuan. Sikap Pasif dari Mahkamah Internasional ini menandakan berbagai aspek begitupun dengan persoalan Nikaragua yang sudah diajukan bertepatan pada tanggal 9 April 1984. Namun, dalam suatu negara terhadap keanggotaannya yang dilihat dari PBB ini menandakan bahwa tidak adanya bentuk penundukan masing-masing negara terhadap Yurisdiksi Mahkamah Internasional. Di bawah naungan PBB Mahkamah Internasional tidak memiliki relevansi terhadap yurisdiksi dalam hal mengadakan pengadilan.
Sengketa Nikaragua terhadap Amerika Serikat yang mendasarkan pengakuan terhadap Yurisdiksi Mahkamah dalam Deklarasi pada tanggal 24 September 1929. Dalam Pasal 36 Ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional, adanya tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam pendeklarasian terhadap yurisdiksi yang diakui Mahkamah Internasional pada 14 Agustus 1946, yang terkait deklarasi yang sehingga jam bahkan setelahnya atas pemberhentian dari pernyataan yang sudah ditetapkan deklarasinya.
Konsep Self Defense Dalam Kasus Nikaragua
sengketa dari nikaragua melawan Amerika Serikat yang disebutkan dari Amerika Serikat sendiri terkait dengan adanya tindakan nyata yang dilakukan nikaragua ialah bentuk penyelenggaraan hak inheren yang menjadi bentuk kepemilikan negara dengan kata lain disebut sebagai hak bela diri yaitu self defense bagaimana hal tersebut sudah dijamin dengan penyelarasan pada pasal 51 piagam PBB .Adanya nyak ketetapan yang berlaku melalui pasal 51 piagam PBB menunjukkan ketidakjelasan yang tentunya banyak pihak memiliki interpretasinya masing-masing dan mengalami perbedaan terkait dengan makna dari bela diri sendiri.
Dengan merujuk terhadap keadaan yang terjadi di menunjukkan bahwa adanya ancaman pada negara Amerika atas upaya agresi hal ini begitu signifikan dibandingkan serangan bersenjata, konflik luar dan beberapa bentuk serangan lainnya yang sifatnya membuat terganggunya perdamaian yang terjadi di seluruh tempat, serta dalam proses untuk mendapatkan persetujuan terhadap berbagai langka dalam memberikan bantuan terhadap korban agresi juga akan ditunda.
      Terlepas dari suatu komitmen perjanjian yang telah disepakati masing-masing pihak dengan mengikut terhadap aturan yang diberlakukan, maka dapat dilihat banyaknya contoh tertentu atas eksistensi yang diakui dari segi validitasnya menjadi bentuk hukum kebiasaan internasional atas tindakannya tersendiri. Dengan demikian "Elemen subjektif" Merupakan pengadilan terhadap putusan 1969 terkait dengan berbagai kasus self kontinental feanor yang menunjukkan adanya tahapan evaluasi yang sekiranya dilakukan oleh pengadilan terhadap pelaksanaan yang dianggap mumpuni.
      Tetapi, doktrin tersebut tidaklah sebuah prinsip yang bersifat bebas. Adanya konfirmasi yang dikemukakan dari putusan ICJ terkait aturan hukum kebiasaan internasional telah diakui dengan tingkat kemapanannya sebagai power terhadap pembelaan diri hendaknya bersifat "proporsional terhadap serangan bersenjata serta membutuhkan suatu tanggapan" adanya aturan tersebut memberikan isyarat terkait dengan tinjauan kekuatan yang dimanfaatkan harus lebih kecil dari yang dibutuhkan agar serangan tersebut dapat diselesaikan dan membuat ancaman dapat dihilangkan sebab bagian tersebut termasuk alternatif lain dalam meninjau syarat sesuai kebutuhan. Atas doktrin tersebut yang termasuk ke dalam penetapan lainnya ialah berbagai prinsip yang mengharuskan, adanya penentuan power yang dilakukan negara dan dimanfaatkan dalam merealisasikan tujuan demi mencapai pertahanan diri yang bersifat legal.
Cara Penyelesaian Sengketa Secara Universal Serta Berdasarkan Piagam PBB