"Ladies and Gentlemen, sebentar lagi kita akan tiba di Bandara Internasional Schipol, Belanda, Waktu setempat menunjukkan pukul sembilan pagi, terdapat 1 jam perbedaan antara Amsterdam dan ....."
Seiring sang pramugari mengucapkan bahwa kami akan mendarat, aku hanya terus melamun menghadap jendela pesawat yang memperlihatkan ku betapa indahnya Amsterdam ini. Tak terbayang aku akan pulang ke kampung halamanku lebih awal dari yang kukira, semua ini mengingatkan ku kembali ke masa-masa kecil ku. Dimana setiap minggu keluarga ku akan ke Amsterdam bersama keluarganya Jansen, kami akan bersenang-senang berkeliling kota, dan diakhiri dengan mengikuti ibadah di katedral St. Nicholas, karena katedral ini merupakan yang terdekat dari Amsterdam Centraal, stasiun kereta utama Amsterdam.
Aku tiba-tiba saja terbawa arus kenangan masa kecilku yang indah, aku masih ingat saat aku dan Jansen membeli es krim sebelum kami menaiki kereta pulang. Jansen merupakan orang yang tergila-gila dengan es krim saat kecil, jadi sekalipun ia mendapat es krim itu. Ohoho.... jangan kira ia tak berani untuk melahapnya dalam sekali suapan, kalau perlupun ia akan melumuri dirinya dengan es krim, dan itulah yang ia benar-benar lakukan sebelum kami semua pulang,
Ia melumuri kurang lebih bagian mulut nya dengan es krim coklat, yang kemudian mengotori dirinya dan lantai stasiun. Ia langsung terkena masalah setelah itu terjadi, bukan hanya ayah dan ibunya yang memarahi dia, tapi ia mendapat teguran dari penjaga stasiun tersebut, dan bahkan mereka sampai di denda dengan biaya yang tak murah juga. Sejak saat itu, setiap kali Jansen ingin membeli es krim, ia hanya boleh beli lewat orang tuanya.
"Hey, nanti kita naik kereta saja" Ucap Jansen setelah ku kembali dari lamunanku yang cukup lama
"Kenapa? Kurasa menyewa mobil sendiri bisa lebih cepat, kita juga tak perlu menuggu hinga jam sebelas malam hanya untuk kereta overnight."
"Kawan, jika kita memiliki waktu di Amsterdam, kenapa kita tidak memaksimalkan hal tersebut?, lagipula..."
"Apakah ini karena kau ingin membeli es krim kesukaanmu?" aku langsung memotong kalimatnya sebelum ia menyelesaikannya
Jansen pun cukup tercengang, ia pun sempat tak berkata-kata selama 10 detik.
"Hey bukan berarti aku ingin naik kereta, hanya membeli es krim yang sangat kucintai sejak kecil." Bantahnya dengan keras
"Kalau begitu, kita sewa mobil saja, lagipula dengan menyewa mobil kita akan lebih leluasa saat sampai rumah"
"Terserah kau lah, tapi kau yang menyetir."
"Tapi dari kita berdua, yang memiliki surat izin mengemudi hanyalah dirimu." ucapku dengan nada sinis.
"Dan itulah letak masalah nya." Jansen sudah mulai menggeram, dan terlihat amarahnya sudah mulai meluap.
"Okelah baby brother, kau menang. Kulakukan apapun yang kau minta hanya untuk mendiamkan mu."
Aku pun hanya tertawa melihat kesalnya Jansen.
***
Perjalanan ini tidak jadi lebih baik lagi setelah aku menang lagi dalam perdebatanku dengan Jansen tentang lagu. Mungkin perjalanan ini ia sibuk memikirkan sesuatu sehingga ia malas berdebat dengan ku, sebab selama hidupku tinggal dengan Jansen, ia bukan lah tipe orang yang mau mengalah terhadap sesuatu. Tapi sekalipun ia sedang fokus akan sesuatu, ia akan mengabaikan dunia luar dan fokus dengan diri sendiri.
"Ada apa denganmu hari ini Jansen? Kau tampak diam saja dari tadi."
Jansen pun tak langsung menjawab, butuh ia sekitar enam sampai delapan detik untuk membuka mulutnya. Hal seperti ini jelas sekali menandakan ia sedang memikirkan sesuatu.
"Tidak apa"
"Hey, kenapa dari kau yang pagi tadi sudah pamer kalau kau bisa memasak, setidaknya sandwhich yang bisa dimakan, kemudian ditambah dengan pencurahan hatimu terhadap Shirley yang kau bicarakan terus selama di London. Tiba-tiba saja jadi murung begini, aku sudah tinggal bersamamu seuruh hidupku, jadi kau tak perlu berpura-pura dan katakan saja apa yang terjadi padamu?"
"Orangtua ku dan aku sempat bertengkar, sudah cukup lama, sekitar 2 bulan yang lalu." Ia menarik napas sembari menunggu lampu lalu lintas yang baru saja berubah menjadi merah.
"Aku ingin menceritakannya kepadamu, tetapi kukira hal yang terbaik adalah membiarkan masalah ini tetap padaku, tak perlu disebarluaskan kepada orang lain."
Aku sangat ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi sepertinya ia membutuhkan keheningan ini lebih dari apapun sekarang.
"Kedua orangtuaku selalu menelpon setiap minggu, tapi aku hanya membiarkannya, aku ingin menelpon balik, tapi aku hanya takut dengan diriku, dengan mereka bahwa aku sudah mengecewakan mereka sebagai anak."
Aku pun sampai tidak berkutik setelah ia mengatakan hal tersebut.
"Aku pun sampai lebih kebinungan setelah mendegar kecelakaan orangtuamu, rasa bersalahku yang ada langsung merajam hatiku dengan keras."
"Hey, mereka tidak akan memarahimu, mungkin saja mereka khawatir kepadamu selama ini, kau tidak menjawab telepon, tidak memberi kabar. Ku yakin mereka yang ingin meminta maaf kepadamu, mereka pasti tahu jika anak mereka satu-satunya, tiba-tiba saja tidak memberikan kabar."
"Tapi ini orangtua ku, mereka..." Ia pun tak melanjutkan, hanya terdiam untuk beberapa saat.
"Aku tahu orangtuamu seperti apa Jansen, tapi aku berjanji dalam nama tuhan, mereka tidak akan membeci mu, mereka tidak akan mengorbankan satu-satu nya putra terbaik yang mereka punya. Kau bisa pegang kata-kata ku."
Tiba-tiba saja Jansen menepikan moi yang kita tumpangi ke pinggir jalan di tengah pedesaan. Ia langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia kemudian langsung menangis di pinggir jalan melihat ladang rumput yang luas. Saar itu merupakan satu-satunya momen dimana aku melihat Jansen menangis untuk pertama kalinya.
Menurutku saat orang berkata bahwa laki-laki yang menangis adalah laki-laki yang lemah, itu merupakan sebuah pemahaman yang salah. Menurutku seorang laki-laki yang menangis, adalah seseorang yang sudah membendung kesakitan hidupnya, ia selalu bertahan, memaksakan dirinya supaya ia terlihat kuat. Sedangkan sebenarnya ia sangat terlukai didalam, dan tangisan ia yang dikeluarkan merupakan pertanda bahwa ia tidak kuat lagi menahan kesakitan itu, semua orang bisa bertahan, tapi setiap orang di dunia ini juga memiliki batas.
Melihat pertama kali Jansen mengalami dimana ia berada di posisi terendah dalam hidupnya, membuatku berpikir sejenak tentang hubunganku dengan almarhum orangtua ku. Dulu nya diriku merupakan seorang yang berusaha memberikan yang terbaik, berubah menjadi seorang yang cukup membantah dan arogan, awalnya kedua orangtuaku mengaggap ku lancang, tapi sebenarnya mereka yang tidak menyadari bahwa apa yang kualami ini diluar itu sangatlah mempengaruhi kondisi mentalku, aku menceritakan semua ini kepada mereka, dan mereka akhirnya mengerti. Aku bukan berusaha membantah atau melawan, aku hanya ingin ketenangan, kebahagiaan yang selalu direnggut oleh pahitnya kehidupan ini.
Aku tidak mendapat apa yang ku inginkan, tapi aku membutuhkannya, untuk kebaikan diriku sendiri, aku tak tahu apa yang kupikirkan saat itu, aku tidak bisa tidur nyenyak untuk waktu yang cukup lama. Tapi walaupun aku bertengger di masa lalu, aku tak akan merubah apa yang sudah terjadi, dan lebih baik menerima, dan menikamti apa yang ada.
P.SÂ
Maaf kalau 2 minggu terakhir jadwal agak berantakan, tapi semoga bisa menikmati cerita
ada kemungkinan cerita akan di re-upload di wattpad dan dilanjutkan disana
dan ini akan jadi chapter terakhir yang di unggah di kompasiana
demikian info sejenak dari saya
selamat membaca
xoxoxoxo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H