Mohon tunggu...
Maximilian Bima
Maximilian Bima Mohon Tunggu... Penulis - 7-8-2002, Born and Raised in semarang

Hanya seorang yang suka berkreasi dalam imajiansinya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Am I? Issues... (10)

5 Juni 2019   08:00 Diperbarui: 5 Juni 2019   08:10 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Orangtua ku dan aku sempat bertengkar, sudah cukup lama, sekitar 2 bulan yang lalu." Ia menarik napas sembari menunggu lampu lalu lintas yang baru saja berubah menjadi merah.

"Aku ingin menceritakannya kepadamu, tetapi kukira hal yang terbaik adalah membiarkan masalah ini tetap padaku, tak perlu disebarluaskan kepada orang lain."

Aku sangat ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi sepertinya ia membutuhkan keheningan ini lebih dari apapun sekarang.

"Kedua orangtuaku selalu menelpon setiap minggu, tapi aku hanya membiarkannya, aku ingin menelpon balik, tapi aku hanya takut dengan diriku, dengan mereka bahwa aku sudah mengecewakan mereka sebagai anak."

Aku pun sampai tidak berkutik setelah ia mengatakan hal tersebut.

"Aku pun sampai lebih kebinungan setelah mendegar kecelakaan orangtuamu, rasa bersalahku yang ada langsung merajam hatiku dengan keras."

"Hey, mereka tidak akan memarahimu, mungkin saja mereka khawatir kepadamu selama ini, kau tidak menjawab telepon, tidak memberi kabar. Ku yakin mereka yang ingin meminta maaf kepadamu, mereka pasti tahu jika anak mereka satu-satunya, tiba-tiba saja tidak memberikan kabar."

"Tapi ini orangtua ku, mereka..." Ia pun tak melanjutkan, hanya terdiam untuk beberapa saat.

"Aku tahu orangtuamu seperti apa Jansen, tapi aku berjanji dalam nama tuhan, mereka tidak akan membeci mu, mereka tidak akan mengorbankan satu-satu nya putra terbaik yang mereka punya. Kau bisa pegang kata-kata ku."

Tiba-tiba saja Jansen menepikan moi yang kita tumpangi ke pinggir jalan di tengah pedesaan. Ia langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia kemudian langsung menangis di pinggir jalan melihat ladang rumput yang luas. Saar itu merupakan satu-satunya momen dimana aku melihat Jansen menangis untuk pertama kalinya.

Menurutku saat orang berkata bahwa laki-laki yang menangis adalah laki-laki yang lemah, itu merupakan sebuah pemahaman yang salah. Menurutku seorang laki-laki yang menangis, adalah seseorang yang sudah membendung kesakitan hidupnya, ia selalu bertahan, memaksakan dirinya supaya ia terlihat kuat. Sedangkan sebenarnya ia sangat terlukai didalam, dan tangisan ia yang dikeluarkan merupakan pertanda bahwa ia tidak kuat lagi menahan kesakitan itu, semua orang bisa bertahan, tapi setiap orang di dunia ini juga memiliki batas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun