Setelah meletakkan semua barang belanjaan di konter dapur, Vica meminta ku untuk duduk di sofa ruang keluarga
"Bolehkah aku membantummu memasak?" Tanya diriku
"TIDAK, maksudku ku tidak perlu, aku bisa memasak semuanya sendiri. Kau duduk saja, kau pasti lelah telah membawa semua barang ini."
"Tapi...."
"Duduklah sebelum ku lempar spatula ini ke kepalamu."
Aku kemudian mengangkat kedua tanganku yang berarti aku menyerah melawan dia, lebih baik aku mati kelaparan daripada membantu orang yang memasak, dan berakhir sebuah sendok menancap di mata.
Setelah duduk, aku mengerahkan tanganku untuk meraih remote televisi yang ada di meja sebelah kiri sofa, tanganku berusaha meraih, dan sebelum saja aku bisa menyentuh remote tersebut, terdapat seseorang yang merebut remote itu sebelum aku. Aku mengadah ke arah dia, dan tiba-tiba saja ia menamparku dan berteriak.
"PENCURI!!!"
"Apa?" entah kenapa aku tiba-tiba ikut berteriak.
Tiba-tiba terdapat seorang perempuan lagi yang datang dari belakangnya, dan ia pun menondongkan sebuah benda, aku pun terkaget karena ia menodongkan pisau yang amat besar ke pada ku.
"Hey, kau salah paham, aku..."
"BERISIK, apa yang kau lakukan disini hah?!" Tanya perempuan yang menamparku tadi.
"PERGI!!, sebelum kami memanggil polisi!"
Aku pun kebingungan atas apa yang terjadi, untung saja Vica langsung datang ke ruang keluarga.
"Apa yang terjadi disini?"
"Ada seorang berengsek yang dengan santainya masuk tanpa sepengetahuan kita"
"Entah dia pencuri, ataupun penguntit. Sama saja ia masuk tanpa ijin."
Vica pun hanya bisa tertawa setelah mendengar apa yang mereka katakan
"Kenapa kau tertawa?" tanya perempuan yang membawa pisau.
"Kalian ini...., dia itu temanku, namanya Tanner, dia ku ajak pulang ke apartemen karena aku hari ini kan hari minggu, jadi ini dinner night kita kan, jadi ya ku ajak Tanner sekalian untuk makan bersama kita."
"Tanpa sepengetahuan kita?"
"Aku sengaja tidak memberi tahu karena aku ingin melihat reaksi kalian, tapi aku tidak tahu kalaukalian akan melakukan hal seperti ini." lanjut Vica dengan tawa ringan.
Tiba-tiba hawa canggung menyelimuti kami ber empat, aku pun memutuskan untuk memecah ke kecanggungan tersebut.
"Omong-omong, nama ku Tanner senang bertemu kalian."
"Namaku Shirley" ucap si perempuan yang menamparku
"Dan aku Lory, senang berkenalan denganmu" ucap nya dengan nada yang terdengar imut, walaupun ke imutan itu hilang karena aku baru ingat masih ada pisau yang mengarah padaku.
"Lory, taruh kembali pisau itu, kecuali kau ingin memotong Tanner dan menjadikan dirinya sebagai bahan makanan kita."
"Aku tidak keberatan memakan dirinya"
Entah apa yang dipikirkan si Lory, aku tidak tahu apakah dia berusaha bercanda atau memang sungguh ingin melakukanya, jika saja ia kanibal, aku lebih baik lompat dari apartemen setinggi 17 lantai ini dan mati dengan mengenaskan, daripada harus mati menjadi bahan santapan 3 perempuan kanibal.
"Hentikan Lory, menjijikan..." ucap Shirley "Kita harus menjamu... bukan, 'memperlakukan' tamu kita dengan baik, dan juga manusiawi. Jangan bawa sifat belantara hutan mu disini, apalagi selama ada tamu."
Lory pun mengangguk dan langsung kembali masuk ke kamarnya, aku merasa bahwa mereka berdua seperti kakak adik, mungkin saja itu menjelaskan kenapa dapur mereka sempat terbakar saat salah satu saja dari mereka mencoba untuk memasak.
"Maafkan atas kelakuanku tadi Tanner, aku tidak bermaksud melakukan hal itu, aku hanya mengiramu seorang penguntit atau pencuri." ucap Shirley
"Tidak apa, banyak jugaorang yang mengira kalau diriku merupakan seorang pedofil, jadi penguntit atau pencuri belum terlalu parah" ucapan diriku membuat kamu bertiga tertawa ringan.
"Lebih baik aku kembali memasak, Shirley kau tak keberatan jika kau menemani Tanner selama aku memasak?" tanya Vica
"Consider it done." Jawab Shirley dengan percaya diri.
***
Aku pun kembali fokus memasak, entah kenapa kejadian tadi membuatku sangat bahagia, mengingatkanku dengan keluargaku di Indonesia, aku juga sudah lama sekali tidak pulang, terakhir aku pulang pun sekitar 4 tahun yang lalu, dan itu saja hanya 3 hari 4 malam. Aku rindu kamarku dan kedua saudarku yang lumayan menyebalkan, tapi selalu membuatku tidak kesepian.
"Vica, ada telepon untuk mu." undang Shirley dari ruang keluarga
"Dari siapa?"
"Katanya ini ibumu."
"Oooh, sambungkan saja ke telepon di dapur."
"Okay."
Aku pun senang dan juga sedikit bingung, karena ibuku sudah bilang akan menelponku sebuan sekali, dan terakhir kami bicara saja itu baru kemarin. Kalau bukan hal itu, pasti merupakan keadaan daruat.
"Halo ma, apa kabar?" sapaku "Apa? , David akan menikah?" diriku lumayan terkejut karena kakakku David merupakan orang yang bisa dibilang 'pemilih', tapi sekali saja ia mendapatkan sesuatu yang cocok denganya, ia tak akan melepaskannya.
"Kapan mereka akan menggelar pernikahan mereka?, pertengahan musim panas?, aku pasti akan pulang sebelum pernikahannya dimulai, aku tidak ingin melewatkan hari penting itu."jawabku dengan ceria.
"Sebelum mama tutup, bisakah aku mengajak seseorang kesana? Dia bukan pacarku, dan dia merupakan temanku, dia kehilangan keluarganya kemarin lusa. Aku hanya ingin dia merasakan sedikit kekeluargaan lagi saja." ucapku
Aku sendiri bahkan tidak tahu mengapa aku mengucapkan hal tersebut, tiba-tiba saja diriku tergerak untuk mengatakan hal tersebut. Apa yang kupikirkan, dan lagipula siapa yang akan ku..... tidak mungkin, ini terlalu cepat, bahkan jika ceritaku ini tertulis di sebuah buku, banyak pembaca yang akan berpikir.
"Kenapa sang penulis terburu-buru dalam mendekatkan mereka? Bodoh sekali" Setidaknya itu yang terpikirkan pada kepalaku.
"Oooh maaf ma, aku tiba-tiba memikirikan sesuatu, maafkan aku." aku tiba-tiba tersadar dari pemikiran keras ku yang tiba-tiba saja terjadi, aku pun tidak sadar kalau mama sudah memanggilku berkali-kali.
"Okay ma, hati-hati di jalan, titip salam untuk semua yang ada di disana ya, dah." Kemudian panggilan tersebut terputus.
Aku pun terus memikirkan atas apa yang telah kukatakan pada mama, tapi karena itu aku tidak konsen memasak dan tersadar saat aku mencicipi daging ikan salmon yang kumasak ternyata berasa hambar, dan ternyata aku lupa membumbui keempat ikan, aku pun bingung apakah harus mengganti menu dan memasak dari awal, atau memberi tahu yang lain atas apa yang terjadi dan menyediakan apa adanya.
"Kawan-kawan." panggil ku dengan suara pelan
"Ada apa?" jawab Tanner
"Bisa kita memesan Chinese food saja? Ikan yang ku buat.... sedikit hambar, atau bisa ku bilang berasa seperti kertas."
"Karena?" tanya Tanner dengan menahan tawanya.
"Dapur terbakar?" jawabku dengan tanpa rasa malu.
Tanner pun tertawa dan mengatakan "Tidak apa kok, aku bisa mencicipi hidangan lezatmu kapan-kapan."
Entah kenapa jawabannya yang terdengar menyebalkan itu bisa membuatku.... Bahagia.
P.S.
Rabu ini akan ada double upload
memang khusus walaupun entah kenapa saya memilih minggu ini
tapi ya karena saya ingin saja hehehe
Tapi setidaknya para pembaca sekalian dapat menikmati lanjutan cerita saya
yang sudah berjalan lima minggu ternyata
*clap**clap**clap*
Yang penting, terima kasih telah membaca
selamat jumpa esok rabu :)
xoxoxo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H