Membaca sebuah berita di Kompas online agak menggelitik di kepala. Pastinya, soal pilkada DKI yang selalu semrawut, ruwet, dan banyak lagi kata yang bisa mewakili kondisi saat ini soal coblosan. Sengaja tulisan ini dibuat setelah kampanye dan pencoblosan agar tidak merusak pikiran para pencoblos.
Berita itu mengabarkan soal warga yang bernama Abdullah Syafii. Ia bertanya arti slogan calon gubernur DKI Jakarta nomor urut tiga, Anies Baswedan "Maju Kotanya, Bahagia Warganya" saat dia berkunjung ke Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (18/11/2016).
"Pak Anies, maju kotanya bahagia warganya, maksudnya apa?" tanya Abdullah seperti ditulis media itu.
Dengan lantang, Anies lalu menjelaskan mulai dari frasa "maju kotanya". Makna maju yang dimaksud adalah kondisi sebuah kota yang dapat tumbuh, berkembang, dan memiliki infrastruktur yang baik.
Anies lalu mengambil contoh, saluran airnya bersih, jembatan buat warga menyeberang terbangun.
Sementara menurutnya, makna sebuah kota yang maju tidak lepas dari warga kotanya itu sendiri. Menurut Anies, jika sebuah kota sudah dapat dikatakan maju, warganya harus bahagia.
Lagi-lagi Anies mencontohkan, yakni pendidikan yang berkualitas dan kesehatan yang terjamin.
“Kemiskinan dikurangi, ketimpangan dikurangi sehingga dengan begitu bukan hanya kotanya yang tampak maju tapi warganya juga jadi merasa bahagia," kata Anies.
Soal kata “maju” mungkin tidak menjadi persoalan, namun untuk kata “bahagia” menurut saya bermasalah.
Menjauh dari substansi masa kini, pikiran saya kemudian salto ke belakang, ratusan tahun sebelum masehi. Saya hendak menjemput seorang bapak filusuf Aristoteles.
Kenapa ia harus saya jemput? Karena cocok kiranya Aristoteles mengajarkan seorang calon gubernur Anies Baswedan, tentang konsep ‘keapaan’ (kuiditas) kebahagiaan. Selain itu, kebahagiaan juga adalah sesuatu yang universal, abstrak, dan hanya sebuah konsepsi. Kebahagiaan itu sendiri sebagai sebuah konsep harus bersandar pada misdaq (ekstensi) agar menjadi jelas oleh indrawi.
Bagi Aristoteles, hanya orang yang menguasai hawa nafsu yang bisa mencapai kebahagiaan. Hawa nasfu bisa diidentikan dengan keinginan yang semu, jasmaniah dan sifatnya duniawi.
Bisa digambarkan begini, ketika seseorang merasa bahagia memiliki ponsel pintar yang canggih, terbaru, bisa dipastikan itu bukan kebahagiaan. Karena jika itu kebahagiaan, niscaya akan sirna seiring ponsel itu menjadi usang, dan teknologinya tidak lagi mendukung pada konteks yang aktual. Kemudian, begitu ia kembali mendapat ponsel pintar yang baru lagi, canggih lagi dan begitu seterusnya, akan muncul kebahagiaan baru lagi.
Masih menurut Aristoteles, kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan, melainkan dengan tindakan-tindakan yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan itu sendiri.
Kalau boleh dikatikan dengan Alquran cocok kiranya Surat At Takatsur untuk menggambarkanya.
Alhaakumut takatsur hatta zurtumul maqabir. Dalam terjemahan bebas bisa diartikan, lagi dan lagi begitu seterusnya, bisa melalaikan kamu, sampai kamu masuk kuburan.
Seseorang yang ingin mencapai kebahagiaan dengan mengejar kenikmatan jasmani identik dengan binatang ternak. Sementara definisi esensial manusia adalah hewan yang berakal. Manusia sejatinya bukanlah ternak. Akal memberikan sekat yang sangat jauh antara hewan dan manusia, meskipun manusia adalah satu dari spesies hewan.
Artinya, sebelum mengenal apa itu kebahagiaan, harus lebih dulu realitas atau hakikat. Patut dipertanyakan, apakah pandangan indrawi atau duniawi ini adalah realitas? atau justru semu?
Cara Mendapat Kebahagiaan Kenali Dulu Realitasnya
Filusuf kontemporer Taqi Misbah Yazdi dalam buku Biyayah Al-Hikmah mengungkap beberapa problem memahami realitas. Menurutnya, filsafat adalah batin dari pemikiran, ia dibelakang layar, ia membimbing bagaimana melihat sesuatu.
Tugas filsafat hanya membedakan mana yang riil mana yang bukan riil. Masyarakat terkadang menganggap yang tidak riil menjadi yang riil atau sebaliknya, Ini karena sejak awal kita tidak dapat membedakan mana yang hakiki (riil) dan mana yang tidak hakiki.
Kalau kita ke bank, bank hanya tahu uang masuk, uang keluar. Tapi memang di situlah tugas bank. Tapi kalau di tangan filsuf, ia bertanya uang itu apa? Apakah uang itu nominalnya, kertasnya, atau yang ada di ATM? Jadi seperti inlah kerja filsuf. Sebagian mengatakan bahwa filsuf itu akrab dengan pembahasan-pembahasan yang abstrak. Ia membahas yang tidak real, abstrak, membingungkan, sehingga kata Plato kalau anda tidak cinta filsafat, anda akan susah untuk memahaminya. Karena syarat filsafat adalah cinta.
Secara material tidak kita saksikan secara langsung. Sehingga jika anda memang tidak menyukai filsafat, jangan sekali-kali anda masuk filsafat, lebih baik anda tinggalkan, karena itu hanya membuang-buang waktu anda. Filsafat memang beda dengan fakultas lain. Anda harus berfilsafat dan merasakan derita pengetahuan.
Kembali ke slogan Anies-Sandi 'Maju Kotanya, Bahagia Warganya' kita patut mempertanyakan apakah hanya slogan? atawa beneran?
Di sisi lain Ibn Sina punya pendapat lain. Menurutnya setiap potensi mempunyai aktual, dan itu adalah kesempurnaanya. Sementara pencampaian pada kesempurnaan adalah kebahagiaan itu sendiri.
Bahagia yang hakiki bagi manusia adalah, kata Ibnu Sina, pencapaian atau aktualisasi akal teoritis dan akal praktis, dimana akal teoritis sampai pada akal mustafad (sempurna), dan akal praktis mampu memiliki karakter keadilan.
Kebahagiaan jiwa adalah kebahagiaan yang terus menerus, bukan hanya dirasakan di dunia tetapi juga setelah berpisah dengan badan.
Untuk mencapai kesempurnaan akal teoritis dengan ilmu, dan kesempurnaan akal praktis adalah dengan kebajikan (fadhail).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H