Bagi Aristoteles, hanya orang yang menguasai hawa nafsu yang bisa mencapai kebahagiaan. Hawa nasfu bisa diidentikan dengan keinginan yang semu, jasmaniah dan sifatnya duniawi.
Bisa digambarkan begini, ketika seseorang merasa bahagia memiliki ponsel pintar yang canggih, terbaru, bisa dipastikan itu bukan kebahagiaan. Karena jika itu kebahagiaan, niscaya akan sirna seiring ponsel itu menjadi usang, dan teknologinya tidak lagi mendukung pada konteks yang aktual. Kemudian, begitu ia kembali mendapat ponsel pintar yang baru lagi, canggih lagi dan begitu seterusnya, akan muncul kebahagiaan baru lagi.
Masih menurut Aristoteles, kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan, melainkan dengan tindakan-tindakan yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan itu sendiri.
Kalau boleh dikatikan dengan Alquran cocok kiranya Surat At Takatsur untuk menggambarkanya.
Alhaakumut takatsur hatta zurtumul maqabir. Dalam terjemahan bebas bisa diartikan, lagi dan lagi begitu seterusnya, bisa melalaikan kamu, sampai kamu masuk kuburan.
Seseorang yang ingin mencapai kebahagiaan dengan mengejar kenikmatan jasmani identik dengan binatang ternak. Sementara definisi esensial manusia adalah hewan yang berakal. Manusia sejatinya bukanlah ternak. Akal memberikan sekat yang sangat jauh antara hewan dan manusia, meskipun manusia adalah satu dari spesies hewan.
Artinya, sebelum mengenal apa itu kebahagiaan, harus lebih dulu realitas atau hakikat. Patut dipertanyakan, apakah pandangan indrawi atau duniawi ini adalah realitas? atau justru semu?
Cara Mendapat Kebahagiaan Kenali Dulu Realitasnya
Filusuf kontemporer Taqi Misbah Yazdi dalam buku Biyayah Al-Hikmah mengungkap beberapa problem memahami realitas. Menurutnya, filsafat adalah batin dari pemikiran, ia dibelakang layar, ia membimbing bagaimana melihat sesuatu.
Tugas filsafat hanya membedakan mana yang riil mana yang bukan riil. Masyarakat terkadang menganggap yang tidak riil menjadi yang riil atau sebaliknya, Ini karena sejak awal kita tidak dapat membedakan mana yang hakiki (riil) dan mana yang tidak hakiki.
Kalau kita ke bank, bank  hanya tahu uang masuk, uang keluar. Tapi memang di situlah tugas bank. Tapi kalau di tangan filsuf, ia bertanya uang itu apa? Apakah uang itu nominalnya, kertasnya, atau yang ada di ATM? Jadi seperti inlah kerja filsuf. Sebagian mengatakan bahwa filsuf itu akrab dengan pembahasan-pembahasan yang abstrak. Ia membahas yang tidak real, abstrak, membingungkan, sehingga  kata Plato kalau anda tidak cinta filsafat, anda akan susah untuk memahaminya. Karena syarat filsafat adalah cinta.