"Bukan, Teeeh ...! Jadwal kereta nanti malam. 28 November. Pukul 00.14 itu artinya hari Kamis bukan malam Jum'at." tegas Sekar gemas.
"Astagfirullah!" Kok bisa aku salah lihat tanggal selama ini. Aku segera melihat E-tiket, dan ternyata benar.
"Jadi gimana, Teh?"suara Sekar lagi.
"Terpaksa beli tiket baru, nanti malam suami belum pulang, karena jauh-jauh hari aku kabari jadwal tiket Kamis malam bukan Kamis  dini hari, hehe ...!" Aku nyengir menetralisir rasa bersalah.
"Hemeeh ...!" Sekar menghela nafas kecewa. "Bunda lagi tantrum tuh, aduh susah dibujuknya." keluhnya.
"Yang sabar yaaa ...!" Aku hanya bisa prihatin dari jauh, karena tidak ada yang bisa kuperbuat. Akhirnya, percakapan pun berakhir. Â Â
Ting ... Â ting ... ting!
"Gimana niiih? Bunda, lagi ngambek niiih! Watir minggat doaaang...!"
Berderet pesan masuk pada grup watshapp keluarga, Sekar mengirimkan video bunda yang lagi uring-uringan. Duh makin resah saja jiwaku, namun aku tidak mungkin memaksa pulang ke Banten nanti malam, tidak mungkin aku pergi sendiri di saat suami belum pulang. Â Pada dini hari pula. Hati yang tadi masih tenang, kini semakin gusar dan panik. Sementara suami, dia tidak bisa dihubungi karena memang sedang tidak punya handphone.
Suasana di grup masih ramai, keempat  kakak lelaki kami saling memberikan beberapa solusi. Pepatah memang benar, "Satu ibu bisa mengurusi sepuluh anak, namun sepuluh anak tidak mampu mengurus satu ibu" Iya kami akui itu; kami,  enam bersaudara, empat laki-laki dua perempuan, hidup terpisah bersama keluarga masing-masing dan kami tidak bisa menjaga seorang ibu dengan baik. Terlebih pada saat tantrum begini, yang kami khawatirkan adalah, bunda pergi keluar rumah sendirian.
Pernah tahun lalu, Bunda pergi dari rumah tanpa sepengetahuan kami semua. Aku masih di Jawa bersama suami. Kebetulan saat itu aku melakukan sambungan telefon dengan Sekar,